Hikmah Hari Ini :

"Kaya yang Sebenarnya Adalah Ketenangan Jiwa"

Minggu, 11 November 2012

Bakso Cinta untuk Ainun


Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta semalam diguyur hujan. Sampai siang ini pun desa yang asri dan sejuk ini masih diwarnai mendung dan kabut tebal. Membuat langit tampak gelap meskipun waktu sudah menunjukan pukul satu siang. Jalanan becek, udara yang berhembus pun terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin itu pula yang membuat warung baksoku hari ini tampak sepi. Tumben sekali para pelanggan yang sebagian besar karyawan dan karyawati pabrik tempe di sebelah warungku itu belum memunculkan batang hidung mereka. Biasanya, selepas aku bergantian sholat Dzuhur dengan Pak’e, mereka sudah beramai-ramai menyerbu bakso racikanku yang cukup terkenal di desa Sriharjo ini. Namun, mengapa hari ini tampak sepi? Kemana mereka? Jujur saja, suasana seperti ini membuatku tak bersemangat dan bermalas-malasan. Duduk, berbaring dan melamun. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Kasihan Pak’e harus jadi korban kemalasanku. Dia mengelap meja dan mencuci peralatan sendirian. Tak tega ku melihatnya.

“Biarkan saja Pak’e. Nanti biar Amar yang mengerjakan itu..” kataku mencuri perhatian.
“Memangnya pekerjaan ini bisa selesai hanya dengan duduk dan melamun saja, Mar?” Ah, Pak’e, kata-katanya lembut tapi ada sindiran kuat disana. Sindiran tepat untuk orang yang malas-malasan sepertiku.
“Ya ndak sih, Pak. Tapi itu kan bisa dikerjakan nanti. Lagi pula pelanggan kita hari ini sepi..” Jawabku mencari alasan.
“Terus kalau pelanggan sepi, kita mesti malas-malasan, begitu? Ya ndak boleh lah..yang namanya semangat itu ndak kenal keadaan, Mar. Mau sepi mau ramai ya kita harus tetap semangat. Karena semangat itu bagian dari sabar, sedangkan sabar bagian dari iman..”
“Iya Pak’e, Amar paham..” Kalau diteruskan Pak’e bisa khotbah panjang lebar. Warung bakso berukuran lima kali enam meter ini bisa berubah menjadi forum pengajian.
“Oalah, anak jaman sekarang! Dinasehati orang tua jawabannya paham-paham saja..”
“Hehe...”

“Assalamu’alaikum, Kang Amar. Baksonya dong dua mangkuk ya, yang satu ndak pake sayur dan sambalnya yang banyak ya, Kang. Yang satu lagi campur tapi ndak pakai sambal..” Suara Siti, salah satu karyawati di pabrik tempe itu tiba-tiba menyambar dari pintu belakang.
“Masya Allah, Siti. Bisa ndak si sampean[1] lebih kalem sedikit. Kalau jantung saya copot, gimana?
“Hehe, ya maap Kang. Namanya juga perut udah keroncongan. Ya udah ya, Kang. Ditunggu. Cepetan ndak pake lama..”
“Dasar gendut ! ngomong pelan-pelan juga dengar. Ndak perlu teriak-teriak…”
“Huss, Amar. Ndak baik ngrasani[2] orang seperti itu. Apalagi dia kan pelanggan setia kita yang seharusnya kita perlakukan istimewa. Sana, cepat kamu siapkan pesanan mereka !”
Inggih pak, inggih[3]..”

Sembari menyiapkan bakso, sesekali kualihkan pandanganku ke arah meja makan. Ada dua gadis berjilbab khas karyawati pabrik tempe disana. Yang satu sudah sangat aku kenal, namanya Siti, gadis berbadan bongsor, suaranya lantang, dan humoris. Tapi, siapa gadis yang duduk di sebelahnya itu? Sepertinya baru kali ini aku melihatnya? Pasti dia karyawati baru di pabrik tempe itu.
“Mar. Sedang apa kamu? Tangannya kemana, matanya kemana..?!” tiba-tiba Pak’e menjawil tanganku.
“Eh, Pak’e. Bikin kaget saja. Itu lhoh, Pak. Sepertinya ada karyawati baru…”
“Memangnya kenapa kalau ada karyawati baru..?”
“Ya, mau Amar ajak kenalan. Hehe..”
“Heh, ndak usah macam-macam kamu, Mar. Sana antar pesanannya..”

“Sit, teman-teman yang lain mana? Kok ndak ikut ke  warung?” Tanyaku pada Siti, sambil meletakan dua mangkuk bakso ke meja makan.
“Mereka pada makan di kantin pabrik. Katanya malas, jalanan becek, dingin lagi. Aku juga sebenarnya malas, Kang. Tapi karna si Ainun memaksaku kesini, ya akhirnya aku kesini. Katanya dia penasaran sama bakso favorit buatan kang Amar.. oh iya, Kang. Kenalin nih karyawati baru, namanya Ainun. Dia baru datang dari Sukabumi seminggu yang lalu dan disini dia tinggal sama bibinya di Desa Karang Tengah.”
“Oh iya, namaku Amar, dan itu bapakku.” Gadis itu menelungkupkan tangannya di depan dada. Pak’e menyalami karyawati baru itu, “Selamat datang di warung bakso kami ya, Nak.!”. Sekilas dia melayangkan senyum, ada lesung di pipi kanannya. Bulu matanya yang lentik pun ikut mengerjap-ngerjap. Sayangnya, dia hanya tersenyum dengan  Pak’e, tidak dengan aku.
“Mar, sini sebentar, Le..” tiba-tiba Pak’e memanggilku.
“Yo wis, monggo dinikmati baksonya..!” Kataku mempersilahkan.

Aku membalikan badanku ke dapur. “Wonten nopo tho[4], Pak? Wong Amar pingin ngobrol sebentar sama karyawati baru itu”.
“Ngapain tho ngobrol-ngobrol segala, memangnya ndak ada kerjaan apa? Tuh, kamu lanjutkan nyuci piringnya, Pak’e mau ke toko material sebentar…”
“Oh, nggih Pak. Hati-hati..”.
Sambil mencuci piring, kupandangi gadis itu dari balik sekat kaca yang sudah memburam. Namanya Ainun, nama yang unik, seunik orangnya. Dia manis tapi tidak murah senyum, dia berjilbab tapi tidak lembut,  aneh. Itu yang membuatku penasaran ingin tahu bagaimana sifat aslinya yang sebenarnya. Tiba-tiba, Ainun tersedak dan ingin memuntahkan isi mulutnya. “Kenapa sampean, Nun?” Tanya Siti panik. Cepat-cepat aku menghampiri mereka.

“Masya Allah, katanya ini teh bakso nu terkenal, nu favorit. Kok rasana te enak, asin pisan. Kumaha atuh, Kang?” Melihat tingkah dan ekspresi wajah Ainun, Siti terpingkal-pingkal menahan tawa. Sepertinya bakso yang kubuatkan terlalu asin, aku pun tak sengaja ikut menertawakannya.
“Ini teh kumaha,  pada ngetawain Ainun. Memangnya ada yang lucu? Kalau te percaya, Sok atuh cobian baksona? Kumaha menurut Akang?” Kata Ainun menyodorkan baksonya padaku.  Dengan ragu aku pun mencicipi bakso itu. Astaghfirullah, tak salah lagi. Aku kebanyakan memasukkan garam. Pasti karena sambil mengobrol dengan Pak’e tadi. “Maaf, Ainun. Aku benar-benar ndak sengaja. Aku lupa. Maaf ya..”
“Ooo.. Mentang-mentang abdi[5] teh orang baru disini, anjeun[6] bisa ngerjain abdi seenaknya??
“Sekali lagi maaf, Ainun. Tapi demi Allah ndak ada niat sedikitpun buat ngerjain sampean. Ini murni kelalaian saya..”
“Kalau begini caranya, abdi teu jadi makan. Ayo, Teh. Kita balik ke pabrik..”
“Aduh, ojo nesu ngono[7], Ainun. Aku yakin Kang Amar bukan orang kayak gitu, dia pasti ndak sengaja. Kita mangan maneh[8], yo!” Bujuk Siti.
“Udah nggak ada selera, Teh. Kalau Teteh masih mau makan ya mangga. Biar abdi ke pabrik sendiri wae.”
“Aduh, Neng. Jangan pergi dulu ya, biar Kang Amar buatin lagi baksonya..” Aku berusaha membujuknya tapi dia tetap melenggang meninggalkan warung, mau tidak mau Siti pun mengikuti langkahnya. “Piye to, Kang. Kok bisa-bisanya garamnya kebanyakan. Pasti ngelamun yo, sampean?. Hmm, payah!” kata Siti sambil meninggalkan uang sepuluh ribu di meja makan.

Aku menghela nafas panjang. Malu rasanya mengingat kejadian tak terduga ini. Padahal Pak’e selalu mengajariku untuk selalu memberi yang terbaik kepada setiap pelanggan, dan tidak lupa mengutamakan kualitas. Tapi perbuatanku hari ini justru merusak reputasi baksoku yang selama ini sudah dikenal orang. Aku sudah mengecewakan Ainun, pelanggan baru yang membuatku salah tingkah. Mungkin dengan kejadian ini, aku tak bisa lagi melihatnya singgah diwarung ini untuk yang kedua kali.

Hari telah berganti. Mengganti mendung dengan hari yang lebih cerah. Alhamdulillah, hari ini pelanggan mulai ramai seperti biasanya, bahkan dengan jumlah yang lebih banyak. Dan tak seperti dugaanku, gadis Sukabumi yang aku kecewakan kemarin, ternyata muncul lagi. Semoga dia sudah memaafkanku. Setidaknya peristiwa kemarin bisa menjadi pelajaran bagiku. Semua pekerjaan harus dikerjakan dengan fokus dan hati-hati, tidak dengan mengikuti hawa nafsu sesaat yang ternyata  menghancurkan apa yang selalu aku jaga selama ini. Dan hari ini aku akan meminta maaf lagi pada Ainun, aku ingin meyakinkannya bahwa aku memang tidak sengaja memasukan garam terlalu banyak ke baksonya kemarin.

“Ini baksonya, Neng…” kataku sambil meletakan bakso di depan Ainun.
Ndak pake ngelamun lagi kan , Kang? Awas saja kalau sampai teman baru kita ini kabur gara-gara baksonya keasinan. Hihihi...” Ujar Siti dengan guyonan khasnya, disambut riuh dan cekikikan para karyawati lain yang mungkin sudah mendengar cerita yang cukup memalukan itu. Ainun memasang wajah cemberut. Ia memandangku dengan tatapan sinis.
 Piye kabare, Neng? Aku pikir sampean kapok datang kesini..” Tanyaku pada Ainun, mencoba bersikap biasa padanya.
Tenanaon[9], Kang. Namanya juga manusia, yang penting teh Akang janji nggak ngulangin lagi..”  jawab Ainun tanpa ada senyum mendarat di wajahnya.
“Tapi sampean percaya kan kalau aku ndak sengaja nglakuin itu..?” Dia hanya mengangkat bahu.
“Nih, Kang, ada martabak tempe bikinin Ainun. Anggap aja ini teh tanda maaf Ainun karena kemarin langsung pergi gitu aja.” Ujarnya lagi sambil mengulungkan bungkusan plastik warna merah. Tak disangka, biarpun wajahnya sinis, tapi nyatanya dia gadis yang baik. Padahal aku sudah mengecewakannya, tapi dia balas dengan martabak tempe buatannya ini. Tak henti-hentinya aku berterimakasih.

Aku buka bungkusan itu dan aku nikmati isinya bersama Pak’e. Martabak tempe yang gurih. Sampai-sampai gurihnya meresap ke dalam hati.
“Tempe saja iso disulap dadi martabak, kreatif juga gadis itu ya, Le. Kayak almarhumah Bu’e yang pintar berkreasi kalau soal makanan.” Komentar Pak’e sambil terus mengunyah martabak. Benar juga, kehadiran Ainun mengingatkanku pada sosok Bu’e, hanya saja Bu’e lebih lembut daripada Ainun. Aku jadi tergelitik ingin mengenal Ainun lebih dekat dan membuatnya lebih lembut. Ya, Allah. Apa aku boleh berharap seperti itu.
“Kenapa, kok malah ngelamun?” Tanya Pak’e lagi.
“Eh ndak, Pak. Emm anu, ingat Bu’e, Pak’e..”
“Ayo, ingat Bu’e apa ingat Ainun?”
Hehe, Pak’e bisa saja menebak pikiranku.

Hari-hari terus berlalu, seiring dengan bertalunya sang waktu yang terasa berjalan singkat. Tanpa terasa, lama sudah ku kenali sosok Ainun yang kini bisa kutemui setiap hari. Meski belum genap setahun aku mengenalnya, rasanya sudah cukup membuatku paham, dibalik sikap dinginnya, ia mempunyai hati yang lembut dan penuh kasih sayang. Sampai-sampai ia menyarankanku agar model baksoku yang umumnya berbentuk bulat itu diganti dengan bentuk hati yang bisa mem. Namanya pun ia ubah menjadi Bakso Cinta Kang Amar. Menurutnya, apa salahnya berinovasi dari sebuah karya seni yang belum diwujudkan. Jadi, bakso cinta ini tidak hanya ada di sebuah novel, tapi bisa dinikmati didunia nyata, ya di warung baksoku sekarang ini. Tak hanya itu, warungku pun ia design sedemikian rupa hingga menguatkan karakter cinta. Dari warna cat, hiasan dinding, sampai di beberapa sudut warung ia tanami bunga-bunga yang indah, karena menurutnya, cinta dan bunga hampir selalu identik dengan kebahagian dan hampir semua orang menyukai keduanya. Idenya memang cemerlang, tak heran jika kemudian warung baksoku semakin terkenal sampai pelosok desa di seluruh kecamatan Imogiri ini.

Diam-diam ku memikirkannya. Ada perasaan kuat yang tertahan disini, walau aku tahu tak semestinya kubiarkan perasaan ini bersemayam. Apakah ini yang disebut jatuh cinta, ya Allah? Apa aku jatuh cinta pada Ainun?? Ya. Selama ini, aku memang tak pernah bisa mengutarakan perasaan ini, aku menunggu saat yang tepat untuk aku bisa mengkhitbahnya. Tapi tak bisa ku berpungkir, jiwaku resah, pikiranku melayang-layang ketika hati ini kehilangan bayangan dirinya.

Siti dan karyawan yang lain sudah memadati warung, tapi mataku tak menemukan Ainun di tengah-tengah mereka. “Kemana dia?” Tanyaku pada Siti.
“Hari ini dia udah mulai cuti, Kang”
“Cuti? Memangnya mau kemana?”
“Lho, memangnya Kang Amar ndak dikasih tahu. Dia kan pulang kampung, dia mau walimahan..”
Masya Allah, dia menikah? Apa aku tak salah dengar? Ini tak mungkin. Kenapa dia tak pernah cerita kalau dia akan menikah dengan orang lain. Kenapa dia biarkan aku jatuh cinta lalu pergi meninggalkan rasa ini? Sakit betul rasanya mendengar kenyataan ini.
“Kenapa sampean, Kang?”
“Dia menikah sama siapa, Sit?”
“Emm, katanya sama orang Sukabumi juga, Kang”
“Dia ndak pesan apa-apa sama kamu?”
Ndak sih, Kang. Tapi kemarin dia sempat nanya gini, menurutmu kalau ada dua orang yang mencintai kamu, tapi yang satu serius dan berani mengungkapkannya, sedangkan yang satu lagi hanya bisa memendam di hatinya, kamu akan pilih yang mana? Ya aku jawab saja, jelas aku akan pilih orang yang serius dan jujur mengungkapkan perasaannya. Apa lagi orang itu juga siap menikahiku.. Sampean setuju ndak sama jawabanku?”
“Ya, aku setuju…” Itu jawaban bagi orang yang tidak tahu perasaanku. Jelas saja dia memilih laki-laki itu. Memangnya aku bisa apa? Jangankan melamarnya, mengutarakan perasaan ini saja aku tak mampu. Aku melengos meninggalkan Siti. Dia terheran-heran, memanggilku beberapa kali. Aku tak peduli.

Kupandangi bunga-bunga yang mewarnai pojok-pojok warungku. Bunga-bunga ini selalu mengingatkanku pada wajah Ainun yang bercahaya dan menyemangati. Tapi, sekarang justru aku kehilangan semangat ketika kusadar, tak bisa kumiliki Ainun selamanya. Aku sadar, cinta memang bukan segalanya, tapi kehilangan cinta seperti kehilangan segalanya. Kini dia telah memilih jalan hidupnya sendiri tanpa peduli akan perasaan yang dia tinggalkan disini. Ah, mengingat wajahnya sama saja melukai perasaanku. Mungkin akan lebih baik jika aku perpaling dan melupakannya, terpaksa ku pindahkan  bunga-bunga ini kebelakang agar bayang-bayangnya bisa hilang dari pandanganku.

“Kenapa sama bunga-bunga itu, Mar. Kok dipindah ke belakang?”
“Biar Amar bisa lupain Ainun, Pak’e..”
“Wah, Jangan-jangan kamu menyukai Ainun, ya?”
“Kenapa Pak’e tiba-tiba nanya begitu?”
“Ya, Pak’e tahu dari sikap kamu selama ini. Kalau memang iya, Pak’e siap melamarnya untuk kamu, Mar”
Ya, Allah. Kenapa baru sekarang Pak’e berkata seperti itu ketika semua sudah terlambat.
“Belum juga dimulai, perasaan ini sudah harus diakhiri, Pak’e”
“Lhoh, memangnya kenapa?”
“Ainun sudah dilamar orang…” jawabku meratapi nasib cintaku.
“Wah, baru jatuh cinta sudah patah hati, kasihan sekali kamu, Mar. Hehe.. yo wis,  ikhlaskan saja, Mar. Yang namanya jodoh, rizki, dan kematian itu urusan Allah. Yang penting kita tetap ikhtiar, sabar, dan tawakkal. Ndak perlu sedih begini, Insya Allah kalau sudah saatnya, kamu pasti ketemu jodoh kamu, Mar.”

“Tapi Pak, Amar merasa ada sesuatu yang pergi. Amar ini manusia biasa, Amar juga bisa sedih, Pak’e..”
“Iya, Pak’e bisa mengerti perasaan kamu, Mar, karena dulu Pak’e juga kan pernah muda. Tapi ndak semestinya kita terpuruk seperti ini,  hanya karena apa yang kita harapkan ndak sejalan sama kenyataan. Yo wis, begini saja, Minggu pagi ba’da Shubuh kamu ikut kajian sama Pak’e ya, di masjid Al-Hijrah desa Karang Tengah, ada Ustad Khoirul Anam yang ceramah-ceramahnya insya Allah bisa mencerahkan, bagaimana?”
“Inggih, Pak’e. insya Allah nanti Amar ikut..”
“Nah, begitu. Ndak perlu sedih lagi, ikhlaskan saja ya..”
Aku mengangguk lemas.

Sabtu malam pun menjelang, aku dan Pak’e memutuskan untuk bermalam di masjid Al-Hijrah karena jarak antara desa Sriharjo dengan desa Karang Tengah cukup jauh. Adzan shubuh membangunkanku di Minggu pagi yang bersemilir. Dengan semangat yang belum sepenuhnya kembali, kudirikan sholat Shubuh berjama’ah dengan warga Karang Tengah. Usai sholat, semua jama’ah menempatkan diri untuk mengikuti kajian. Mayoritas jama’ahnya adalah  laki-laki, sedangkan jama’ah perempuan hanya ada tiga shaf, itu pun kebanyakan orang tua. Semalam aku berhayal bisa menemukan jodohku disini. Bahkan, andai saja  Ainun masih tinggal disini, pasti aku bisa menemuinya. Tapi setelah melihat keadaan ini, aku malu sendiri. Bukankah kedatanganku ke tempat ini mencari pencerahan dan ketenangan? Bukan mencari jodoh atau yang lainnya? Ya Allah, ampuni hamba yang lemah ini…

Pukul enam pagi kajian usai. Apa yang disampaikan Ustad Khaoirul Anam tadi cukup menyentuh, ketika ia bicara keikhlasan. Ya, ikhlas kini bukan sekadar menjadi teori, tapi praktik yang harus aku terapkan dengan sebenar-benarnya. Mengikhlaskan Ainun dan kembali menjalani hidup seperti dulu tanpa iringan langkah dan raut wajahnya yang tak murah senyum itu. Pak’e mengajakku keluar masjid, tiba-tiba beliau menarik tanganku dengan langkah yang lebih cepat. Matanya tertuju pada dua orang gadis berkerudung yang berjalan dari arah berlawanan. Sayup-sayup terlihat, Siti dan Ainun. Benarkah itu Ainun?

“Assalamu’alaikum..” salam Ainun.
“Wa’alaikum salam” jawab kami hampir bersamaan.
“Loh, ngapain sampean-sampean disini?” tanyaku sambil terus menata hati. Antara percaya dan tidak percaya aku bertemu Ainun di majlis ini.
“Yo kita ikut pengajian lah, Kang, masa iya kita shoping..” jawab Siti enteng.
“Eh si Eneng, kapan datang? Bukannya sampean di Sukabumi? Kamu pergi ndak pamit-pamit sih? Kami juga ndak diundang-undang? Eh ya, mana suamimu?”
“Oalah Mar, kalau nanya mbok ya satu-satu, si Ainun kan jadi bingung jawabnya” Ujar Pak’e menjawil tanganku.
“Eh, maaf ya, Neng. Hehe..”

“Ainun teu jadi nikah, Kang..” lirih Ainun
“Masya Allah, memangnya kenapa?” tanyaku amat penasaran.
“Ainun tertunduk, matanya seperti menahan butiran air yang tertahan dikelopak mata. Tampaknya ia tengah bersedih, mungkin pertanyaanku hanya akan menambah kesedihannya.
“Emm, yo wis, kalau sampean ada masalah ceritalah sama kami, Insya Allah kami akan jadi pendengar yang baik. Dan kalau sampean mau, kami tunggu di warung nanti siang. Bagaimana?”
“Baiklah, insya Allah nanti siang Ainun ke warung, nyak !” jawab Ainun dengan mata berbinar.
“Aku diajak ndak nih?” Selang Siti tak mau kalah.
“Iyo, pasti…” Jawabku dengan perasaan bahagia.

Waktu berjalan terasa semakin cepat. Tanpa ku sadari Allah baru saja menunjukan kekuasaan-Nya padaku, bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini. Semua bisa terjadi atas kehendak-Nya. Bahkan dengan cara yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Hari ini, Allah menyatukan kami dalam ikatan suci yang membuat hati kami semakin cinta pada-Nya. Semua orang turut berbahagia dalam haru. Pak’e dan Siti juga menitikkan air mata, air mata penuh kebahagiaan. Dan bakso cinta ini, kupersembahkan untuk Ainun seorang. Duh, aku bahagia ketika dia tersenyum. Terima kasih ya Allah atas anugerah cinta ini.



[1] kamu
[2] Mengolok-olok
[3] iya
[4] Ada apa
[5] Aku
[6] kamu
[7] Jangan marah
[8] Makan lagi
[9] Tidak apa-apa