Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul, Yogyakarta semalam diguyur hujan. Sampai siang ini pun desa
yang asri dan sejuk ini masih diwarnai mendung dan kabut tebal. Membuat langit
tampak gelap meskipun waktu sudah menunjukan pukul satu siang. Jalanan becek,
udara yang berhembus pun terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin itu pula yang
membuat warung baksoku hari ini tampak sepi. Tumben sekali para pelanggan yang
sebagian besar karyawan dan karyawati pabrik tempe di sebelah warungku itu belum
memunculkan batang hidung mereka. Biasanya, selepas aku bergantian sholat
Dzuhur dengan Pak’e, mereka sudah beramai-ramai menyerbu bakso racikanku yang
cukup terkenal di desa Sriharjo ini. Namun, mengapa hari ini tampak sepi?
Kemana mereka? Jujur saja, suasana seperti ini membuatku tak bersemangat dan
bermalas-malasan. Duduk, berbaring dan melamun. Hanya itu yang bisa kulakukan
saat ini. Kasihan Pak’e harus jadi korban kemalasanku. Dia mengelap meja dan
mencuci peralatan sendirian. Tak tega ku melihatnya.
“Biarkan saja Pak’e. Nanti biar Amar
yang mengerjakan itu..” kataku mencuri perhatian.
“Memangnya pekerjaan ini bisa selesai
hanya dengan duduk dan melamun saja, Mar?” Ah, Pak’e, kata-katanya lembut tapi
ada sindiran kuat disana. Sindiran tepat untuk orang yang malas-malasan sepertiku.
“Ya ndak sih, Pak. Tapi itu kan
bisa dikerjakan nanti. Lagi pula pelanggan kita hari ini sepi..” Jawabku
mencari alasan.
“Terus kalau pelanggan sepi, kita mesti
malas-malasan, begitu? Ya ndak boleh lah..yang namanya semangat itu ndak
kenal keadaan, Mar. Mau sepi mau ramai ya kita harus tetap semangat. Karena
semangat itu bagian dari sabar, sedangkan sabar bagian dari iman..”
“Iya Pak’e, Amar paham..” Kalau
diteruskan Pak’e bisa khotbah panjang lebar. Warung bakso berukuran lima kali
enam meter ini bisa berubah menjadi forum pengajian.
“Oalah, anak jaman sekarang! Dinasehati
orang tua jawabannya paham-paham saja..”
“Hehe...”
“Assalamu’alaikum, Kang Amar. Baksonya
dong dua mangkuk ya, yang satu ndak pake sayur dan sambalnya yang banyak
ya, Kang. Yang satu lagi campur tapi ndak pakai sambal..” Suara Siti,
salah satu karyawati di pabrik tempe itu tiba-tiba menyambar dari pintu
belakang.
“Masya Allah, Siti. Bisa ndak si sampean[1]
lebih kalem sedikit. Kalau jantung saya copot, gimana?
“Hehe, ya maap Kang. Namanya juga
perut udah keroncongan. Ya udah ya, Kang. Ditunggu. Cepetan ndak pake
lama..”
“Dasar gendut ! ngomong pelan-pelan juga
dengar. Ndak perlu teriak-teriak…”
“Huss, Amar. Ndak baik ngrasani[2]
orang seperti itu. Apalagi dia kan pelanggan setia kita yang seharusnya kita
perlakukan istimewa. Sana, cepat kamu siapkan pesanan mereka !”
“Inggih pak, inggih[3]..”
Sembari menyiapkan bakso, sesekali kualihkan
pandanganku ke arah meja makan. Ada dua gadis berjilbab khas karyawati pabrik
tempe disana. Yang satu sudah sangat aku kenal, namanya Siti, gadis berbadan
bongsor, suaranya lantang, dan humoris. Tapi, siapa gadis yang duduk di
sebelahnya itu? Sepertinya baru kali ini aku melihatnya? Pasti dia karyawati
baru di pabrik tempe itu.
“Mar. Sedang apa kamu? Tangannya kemana,
matanya kemana..?!” tiba-tiba Pak’e menjawil tanganku.
“Eh, Pak’e. Bikin kaget saja. Itu lhoh,
Pak. Sepertinya ada karyawati baru…”
“Memangnya kenapa kalau ada karyawati
baru..?”
“Ya, mau Amar ajak kenalan. Hehe..”
“Heh, ndak usah macam-macam kamu,
Mar. Sana antar pesanannya..”
“Sit, teman-teman yang lain mana? Kok ndak
ikut ke warung?” Tanyaku pada Siti, sambil
meletakan dua mangkuk bakso ke meja makan.
“Mereka pada makan di kantin pabrik.
Katanya malas, jalanan becek, dingin lagi. Aku juga sebenarnya malas, Kang.
Tapi karna si Ainun memaksaku kesini, ya akhirnya aku kesini. Katanya dia
penasaran sama bakso favorit buatan kang Amar.. oh iya, Kang. Kenalin
nih karyawati baru, namanya Ainun. Dia baru datang dari Sukabumi seminggu yang
lalu dan disini dia tinggal sama bibinya di Desa Karang Tengah.”
“Oh iya, namaku Amar, dan itu bapakku.” Gadis
itu menelungkupkan tangannya di depan dada. Pak’e menyalami karyawati baru itu,
“Selamat datang di warung bakso kami ya, Nak.!”. Sekilas dia melayangkan
senyum, ada lesung di pipi kanannya. Bulu matanya yang lentik pun ikut
mengerjap-ngerjap. Sayangnya, dia hanya tersenyum dengan Pak’e, tidak dengan aku.
“Mar, sini sebentar, Le..” tiba-tiba
Pak’e memanggilku.
“Yo wis, monggo dinikmati baksonya..!” Kataku
mempersilahkan.
Aku membalikan badanku ke dapur. “Wonten
nopo tho[4],
Pak? Wong Amar pingin ngobrol sebentar sama karyawati baru itu”.
“Ngapain tho ngobrol-ngobrol
segala, memangnya ndak ada kerjaan apa? Tuh, kamu lanjutkan nyuci
piringnya, Pak’e mau ke toko material sebentar…”
“Oh, nggih Pak. Hati-hati..”.
Sambil mencuci piring, kupandangi gadis
itu dari balik sekat kaca yang sudah memburam. Namanya Ainun, nama yang unik,
seunik orangnya. Dia manis tapi tidak murah senyum, dia berjilbab tapi tidak
lembut, aneh. Itu yang membuatku
penasaran ingin tahu bagaimana sifat aslinya yang sebenarnya. Tiba-tiba, Ainun
tersedak dan ingin memuntahkan isi mulutnya. “Kenapa sampean, Nun?”
Tanya Siti panik. Cepat-cepat aku menghampiri mereka.
“Masya Allah, katanya ini teh bakso nu
terkenal, nu favorit. Kok rasana te enak, asin pisan. Kumaha
atuh, Kang?” Melihat tingkah dan ekspresi wajah Ainun, Siti terpingkal-pingkal
menahan tawa. Sepertinya bakso yang kubuatkan terlalu asin, aku pun tak sengaja
ikut menertawakannya.
“Ini teh kumaha, pada ngetawain Ainun. Memangnya ada yang lucu?
Kalau te percaya, Sok atuh cobian baksona? Kumaha menurut
Akang?” Kata Ainun menyodorkan baksonya padaku.
Dengan ragu aku pun mencicipi bakso itu. Astaghfirullah, tak salah lagi.
Aku kebanyakan memasukkan garam. Pasti karena sambil mengobrol dengan Pak’e
tadi. “Maaf, Ainun. Aku benar-benar ndak sengaja. Aku lupa. Maaf ya..”
“Sekali lagi maaf, Ainun. Tapi demi
Allah ndak ada niat sedikitpun buat ngerjain sampean. Ini murni
kelalaian saya..”
“Kalau begini caranya, abdi teu
jadi makan. Ayo, Teh. Kita balik ke pabrik..”
“Aduh, ojo nesu ngono[7],
Ainun. Aku yakin Kang Amar bukan orang kayak gitu, dia pasti ndak sengaja. Kita
mangan maneh[8],
yo!” Bujuk Siti.
“Udah nggak ada selera, Teh. Kalau Teteh
masih mau makan ya mangga. Biar abdi ke pabrik sendiri wae.”
“Aduh, Neng. Jangan pergi dulu ya, biar
Kang Amar buatin lagi baksonya..” Aku berusaha membujuknya tapi dia tetap
melenggang meninggalkan warung, mau tidak mau Siti pun mengikuti langkahnya. “Piye
to, Kang. Kok bisa-bisanya garamnya kebanyakan. Pasti ngelamun yo, sampean?.
Hmm, payah!” kata Siti sambil meninggalkan uang sepuluh ribu di meja makan.
Aku menghela nafas panjang. Malu rasanya
mengingat kejadian tak terduga ini. Padahal Pak’e selalu mengajariku untuk selalu
memberi yang terbaik kepada setiap pelanggan, dan tidak lupa mengutamakan
kualitas. Tapi perbuatanku hari ini justru merusak reputasi baksoku yang selama
ini sudah dikenal orang. Aku sudah mengecewakan Ainun, pelanggan baru yang
membuatku salah tingkah. Mungkin dengan kejadian ini, aku tak bisa lagi
melihatnya singgah diwarung ini untuk yang kedua kali.
Hari telah berganti. Mengganti mendung
dengan hari yang lebih cerah. Alhamdulillah, hari ini pelanggan mulai ramai
seperti biasanya, bahkan dengan jumlah yang lebih banyak. Dan tak seperti
dugaanku, gadis Sukabumi yang aku kecewakan kemarin, ternyata muncul lagi.
Semoga dia sudah memaafkanku. Setidaknya peristiwa kemarin bisa menjadi
pelajaran bagiku. Semua pekerjaan harus dikerjakan dengan fokus dan hati-hati,
tidak dengan mengikuti hawa nafsu sesaat yang ternyata menghancurkan apa yang selalu aku jaga selama
ini. Dan hari ini aku akan meminta maaf lagi pada Ainun, aku ingin
meyakinkannya bahwa aku memang tidak sengaja memasukan garam terlalu banyak ke
baksonya kemarin.
“Ini baksonya, Neng…” kataku sambil
meletakan bakso di depan Ainun.
“Ndak pake ngelamun lagi kan ,
Kang? Awas saja kalau sampai teman baru kita ini kabur gara-gara baksonya
keasinan. Hihihi...” Ujar Siti dengan guyonan khasnya, disambut riuh dan
cekikikan para karyawati lain yang mungkin sudah mendengar cerita yang cukup
memalukan itu. Ainun memasang wajah cemberut. Ia memandangku dengan tatapan
sinis.
“Piye
kabare, Neng? Aku pikir sampean kapok datang kesini..” Tanyaku
pada Ainun, mencoba bersikap biasa padanya.
“Tenanaon[9],
Kang. Namanya juga manusia, yang penting teh Akang janji nggak ngulangin
lagi..” jawab Ainun tanpa ada senyum mendarat
di wajahnya.
“Tapi sampean percaya kan kalau
aku ndak sengaja nglakuin itu..?” Dia hanya mengangkat bahu.
“Nih, Kang, ada martabak tempe bikinin
Ainun. Anggap aja ini teh tanda maaf Ainun karena kemarin langsung pergi gitu
aja.” Ujarnya lagi sambil mengulungkan bungkusan plastik warna merah. Tak
disangka, biarpun wajahnya sinis, tapi nyatanya dia gadis yang baik. Padahal
aku sudah mengecewakannya, tapi dia balas dengan martabak tempe buatannya ini.
Tak henti-hentinya aku berterimakasih.
Aku buka bungkusan itu dan aku nikmati isinya
bersama Pak’e. Martabak tempe yang gurih. Sampai-sampai gurihnya meresap ke
dalam hati.
“Tempe saja iso disulap dadi
martabak, kreatif juga gadis itu ya, Le. Kayak almarhumah Bu’e yang pintar
berkreasi kalau soal makanan.” Komentar Pak’e sambil terus mengunyah martabak. Benar
juga, kehadiran Ainun mengingatkanku pada sosok Bu’e, hanya saja Bu’e lebih
lembut daripada Ainun. Aku jadi tergelitik ingin mengenal Ainun lebih dekat dan
membuatnya lebih lembut. Ya, Allah. Apa aku boleh berharap seperti itu.
“Kenapa, kok malah ngelamun?” Tanya
Pak’e lagi.
“Eh ndak, Pak. Emm anu, ingat Bu’e,
Pak’e..”
“Ayo, ingat Bu’e apa ingat Ainun?”
Hehe, Pak’e bisa saja menebak pikiranku.
Hari-hari terus berlalu, seiring dengan
bertalunya sang waktu yang terasa berjalan singkat. Tanpa terasa, lama sudah ku
kenali sosok Ainun yang kini bisa kutemui setiap hari. Meski belum genap
setahun aku mengenalnya, rasanya sudah cukup membuatku paham, dibalik sikap
dinginnya, ia mempunyai hati yang lembut dan penuh kasih sayang. Sampai-sampai
ia menyarankanku agar model baksoku yang umumnya berbentuk bulat itu diganti
dengan bentuk hati yang bisa mem. Namanya pun ia ubah menjadi Bakso Cinta Kang
Amar. Menurutnya, apa salahnya berinovasi dari sebuah karya seni yang belum
diwujudkan. Jadi, bakso cinta ini tidak hanya ada di sebuah novel, tapi bisa
dinikmati didunia nyata, ya di warung baksoku sekarang ini. Tak hanya itu,
warungku pun ia design sedemikian rupa hingga menguatkan karakter cinta.
Dari warna cat, hiasan dinding, sampai di beberapa sudut warung ia tanami
bunga-bunga yang indah, karena menurutnya, cinta dan bunga hampir selalu
identik dengan kebahagian dan hampir semua orang menyukai keduanya. Idenya memang
cemerlang, tak heran jika kemudian warung baksoku semakin terkenal sampai
pelosok desa di seluruh kecamatan Imogiri ini.
Diam-diam ku memikirkannya. Ada perasaan
kuat yang tertahan disini, walau aku tahu tak semestinya kubiarkan perasaan ini
bersemayam. Apakah ini yang disebut jatuh cinta, ya Allah? Apa aku jatuh cinta
pada Ainun?? Ya. Selama ini, aku memang tak pernah bisa mengutarakan perasaan
ini, aku menunggu saat yang tepat untuk aku bisa mengkhitbahnya. Tapi
tak bisa ku berpungkir, jiwaku resah, pikiranku melayang-layang ketika hati ini
kehilangan bayangan dirinya.
Siti dan karyawan yang lain sudah
memadati warung, tapi mataku tak menemukan Ainun di tengah-tengah mereka.
“Kemana dia?” Tanyaku pada Siti.
“Hari ini dia udah mulai cuti, Kang”
“Cuti? Memangnya mau kemana?”
“Lho, memangnya Kang Amar ndak
dikasih tahu. Dia kan pulang kampung, dia mau walimahan..”
Masya Allah, dia menikah? Apa aku tak
salah dengar? Ini tak mungkin. Kenapa dia tak pernah cerita kalau dia akan
menikah dengan orang lain. Kenapa dia biarkan aku jatuh cinta lalu pergi
meninggalkan rasa ini? Sakit betul rasanya mendengar kenyataan ini.
“Kenapa sampean, Kang?”
“Dia menikah sama siapa, Sit?”
“Emm, katanya sama orang Sukabumi juga,
Kang”
“Dia ndak pesan apa-apa sama
kamu?”
“Ndak sih, Kang. Tapi kemarin dia
sempat nanya gini, menurutmu kalau ada dua orang yang mencintai kamu, tapi yang
satu serius dan berani mengungkapkannya, sedangkan yang satu lagi hanya bisa
memendam di hatinya, kamu akan pilih yang mana? Ya aku jawab saja, jelas aku
akan pilih orang yang serius dan jujur mengungkapkan perasaannya. Apa lagi
orang itu juga siap menikahiku.. Sampean setuju ndak sama jawabanku?”
“Ya, aku setuju…” Itu jawaban bagi orang
yang tidak tahu perasaanku. Jelas saja dia memilih laki-laki itu. Memangnya aku
bisa apa? Jangankan melamarnya, mengutarakan perasaan ini saja aku tak mampu. Aku
melengos meninggalkan Siti. Dia terheran-heran, memanggilku beberapa kali. Aku
tak peduli.
Kupandangi bunga-bunga yang mewarnai
pojok-pojok warungku. Bunga-bunga ini selalu mengingatkanku pada wajah Ainun
yang bercahaya dan menyemangati. Tapi, sekarang justru aku kehilangan semangat
ketika kusadar, tak bisa kumiliki Ainun selamanya. Aku sadar, cinta memang
bukan segalanya, tapi kehilangan cinta seperti kehilangan segalanya. Kini dia
telah memilih jalan hidupnya sendiri tanpa peduli akan perasaan yang dia
tinggalkan disini. Ah, mengingat wajahnya sama saja melukai perasaanku. Mungkin
akan lebih baik jika aku perpaling dan melupakannya, terpaksa ku pindahkan bunga-bunga ini kebelakang agar
bayang-bayangnya bisa hilang dari pandanganku.
“Kenapa sama bunga-bunga itu, Mar. Kok
dipindah ke belakang?”
“Biar Amar bisa lupain Ainun, Pak’e..”
“Wah, Jangan-jangan kamu menyukai Ainun,
ya?”
“Kenapa Pak’e tiba-tiba nanya begitu?”
“Ya, Pak’e tahu dari sikap kamu selama
ini. Kalau memang iya, Pak’e siap melamarnya untuk kamu, Mar”
Ya, Allah. Kenapa baru sekarang Pak’e
berkata seperti itu ketika semua sudah terlambat.
“Belum juga dimulai, perasaan ini sudah
harus diakhiri, Pak’e”
“Lhoh, memangnya kenapa?”
“Ainun sudah dilamar orang…” jawabku
meratapi nasib cintaku.
“Wah, baru jatuh cinta sudah patah hati,
kasihan sekali kamu, Mar. Hehe.. yo wis,
ikhlaskan saja, Mar. Yang namanya jodoh, rizki, dan kematian itu urusan
Allah. Yang penting kita tetap ikhtiar, sabar, dan tawakkal. Ndak perlu
sedih begini, Insya Allah kalau sudah saatnya, kamu pasti ketemu jodoh kamu,
Mar.”
“Tapi Pak, Amar merasa ada sesuatu yang
pergi. Amar ini manusia biasa, Amar juga bisa sedih, Pak’e..”
“Iya, Pak’e bisa mengerti perasaan kamu,
Mar, karena dulu Pak’e juga kan pernah muda. Tapi ndak semestinya kita
terpuruk seperti ini, hanya karena apa
yang kita harapkan ndak sejalan sama kenyataan. Yo wis, begini saja, Minggu
pagi ba’da Shubuh kamu ikut kajian sama Pak’e ya, di masjid Al-Hijrah desa
Karang Tengah, ada Ustad Khoirul Anam yang ceramah-ceramahnya insya Allah bisa
mencerahkan, bagaimana?”
“Inggih, Pak’e. insya Allah nanti Amar
ikut..”
“Nah, begitu. Ndak perlu sedih lagi,
ikhlaskan saja ya..”
Aku mengangguk lemas.
Sabtu malam pun menjelang, aku dan Pak’e
memutuskan untuk bermalam di masjid Al-Hijrah karena jarak antara desa Sriharjo
dengan desa Karang Tengah cukup jauh. Adzan shubuh membangunkanku di Minggu
pagi yang bersemilir. Dengan semangat yang belum sepenuhnya kembali, kudirikan
sholat Shubuh berjama’ah dengan warga Karang Tengah. Usai sholat, semua jama’ah
menempatkan diri untuk mengikuti kajian. Mayoritas jama’ahnya adalah laki-laki, sedangkan jama’ah perempuan hanya
ada tiga shaf, itu pun kebanyakan orang tua. Semalam aku berhayal bisa
menemukan jodohku disini. Bahkan, andai saja
Ainun masih tinggal disini, pasti aku bisa menemuinya. Tapi setelah
melihat keadaan ini, aku malu sendiri. Bukankah kedatanganku ke tempat ini
mencari pencerahan dan ketenangan? Bukan mencari jodoh atau yang lainnya? Ya
Allah, ampuni hamba yang lemah ini…
Pukul enam pagi kajian usai. Apa yang
disampaikan Ustad Khaoirul Anam tadi cukup menyentuh, ketika ia bicara
keikhlasan. Ya, ikhlas kini bukan sekadar menjadi teori, tapi praktik yang harus
aku terapkan dengan sebenar-benarnya. Mengikhlaskan Ainun dan kembali menjalani
hidup seperti dulu tanpa iringan langkah dan raut wajahnya yang tak murah
senyum itu. Pak’e mengajakku keluar masjid, tiba-tiba beliau menarik tanganku
dengan langkah yang lebih cepat. Matanya tertuju pada dua orang gadis berkerudung
yang berjalan dari arah berlawanan. Sayup-sayup terlihat, Siti dan Ainun.
Benarkah itu Ainun?
“Assalamu’alaikum..” salam Ainun.
“Wa’alaikum salam” jawab kami hampir
bersamaan.
“Loh, ngapain sampean-sampean disini?”
tanyaku sambil terus menata hati. Antara percaya dan tidak percaya aku bertemu
Ainun di majlis ini.
“Yo kita ikut pengajian lah, Kang, masa
iya kita shoping..” jawab Siti enteng.
“Eh si Eneng, kapan datang? Bukannya sampean
di Sukabumi? Kamu pergi ndak pamit-pamit sih? Kami juga ndak diundang-undang?
Eh ya, mana suamimu?”
“Oalah Mar, kalau nanya mbok ya
satu-satu, si Ainun kan jadi bingung jawabnya” Ujar Pak’e menjawil tanganku.
“Eh, maaf ya, Neng. Hehe..”
“Ainun teu jadi nikah, Kang..”
lirih Ainun
“Masya Allah, memangnya kenapa?” tanyaku
amat penasaran.
“Ainun tertunduk, matanya seperti
menahan butiran air yang tertahan dikelopak mata. Tampaknya ia tengah bersedih,
mungkin pertanyaanku hanya akan menambah kesedihannya.
“Emm, yo wis, kalau sampean
ada masalah ceritalah sama kami, Insya Allah kami akan jadi pendengar yang
baik. Dan kalau sampean mau, kami tunggu di warung nanti siang.
Bagaimana?”
“Baiklah, insya Allah nanti siang
Ainun ke warung, nyak !” jawab Ainun dengan mata berbinar.
“Aku diajak ndak nih?” Selang Siti tak
mau kalah.
“Iyo, pasti…” Jawabku dengan perasaan bahagia.
Waktu berjalan terasa semakin cepat.
Tanpa ku sadari Allah baru saja menunjukan kekuasaan-Nya padaku, bahwa tak ada
yang mustahil di dunia ini. Semua bisa terjadi atas kehendak-Nya. Bahkan dengan
cara yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Hari ini, Allah menyatukan kami
dalam ikatan suci yang membuat hati kami semakin cinta pada-Nya. Semua orang
turut berbahagia dalam haru. Pak’e dan Siti juga menitikkan air mata, air mata
penuh kebahagiaan. Dan bakso cinta ini, kupersembahkan untuk Ainun seorang.
Duh, aku bahagia ketika dia tersenyum. Terima kasih ya Allah atas anugerah
cinta ini.