Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat
undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin
menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus
sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi
Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas
watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali
beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu.
Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba
bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo
itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia
menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania
yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat
Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania
dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga,
sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut
mereka.
Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang
tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua,
tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius
ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan
keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang
ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak,
apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa
tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling
cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah
pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik
seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi
Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih
seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang
melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania
terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling
cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang
busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca
puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi
kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu
bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi
mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama.
Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang
barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan
airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan
sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang
mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma
laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan
biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga
saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada
dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya
ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di
mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang
dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal
membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu
bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa
membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan
perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan
nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya
menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering
menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa
sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga
menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania
hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni
Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak
ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara
Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang
lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah
mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga
pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini
dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa
lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak
jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga
pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya
lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah
tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung
mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania.
Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk
menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal
adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun
pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah
memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan.
Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak
perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki
itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania
cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak
bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud
baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia
mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti
kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah
hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia
menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi
mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak
penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor
semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak
pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu
berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli
melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga
kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh
beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak
imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih,
tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan
perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh
pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin
besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli
melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi yang dikandung
Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus
segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan
sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat
hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal,
hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli
tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat
di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun
yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam
setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa
sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu.
Belum ada
perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam
kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa
memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru
pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka
terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban
pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli
tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak
sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak
sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya
melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita
operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan
Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika
terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia
senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar
operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan,
Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga
dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan.
Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap
teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak,
sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan
dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan
zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania
mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air
yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi
dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi
kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua
mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu
tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh
darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti
kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah
seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya
sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh
membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut
menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat
perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak
keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak
pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah.
Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin
penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya
sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang
ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili
mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan
bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa
merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu
dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya
yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai
pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke
rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.
Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil
tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam
penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang
lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di
sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania.
Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak
wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering
lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu
di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari
ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis,
menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur
berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua
tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus
kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas
tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat
menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil
memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh
cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia
ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak
perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli
dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania,
membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna
di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak
mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan
Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania
harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu
melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat
merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang
menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda
Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang
yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania
tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari
perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima
dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat
bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka
masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa
dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania
makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah.
Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap
berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah
bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan
anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut
tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan.
Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang
mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya
tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski
karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan
segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk
Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..
- Asma Nadia
-
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia
mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang
dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya,
melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan
teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
Kenapa? Tanya mereka di
hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania
sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu.
Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis
itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar
bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg
barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua
menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas,
mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis
berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik,
kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah
kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga
bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan
keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga
generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta
buntut mereka.
Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat
senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak
nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan:
mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong
hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi
mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil
menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang
lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa
yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa
barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab
setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata
penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya
pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil
inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama
siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya,
toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang
paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai
dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris,
juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah.
Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania
sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania
memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan
terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata
'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya
pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu,
keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli.
Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi
kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan
pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat
biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka
matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia,
Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya
ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di
mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang
dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal
membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu
bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa
membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan
perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan
nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya
menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering
menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa
sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga
menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania
hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa
merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni
Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak
ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara
Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang
lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah
mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga
pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan
sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini
dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa
lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak
jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga
pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya
lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah
tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung
mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania.
Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk
menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal
adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun
pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah
memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan.
Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak
perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki
itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania
cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak
bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab
suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud
baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia
mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti
kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah
hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia
menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa,
berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi
mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak
penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor
semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak
pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu
berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli
melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga
kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh
beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak
imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih,
tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan
perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh
pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin
besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli
melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
Bayi yang dikandung
Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari
waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus
segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan
sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat
hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal,
hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli
tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu
shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat
di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun
yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam
setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa
sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu.
Belum ada
perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam
kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit.
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa
memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru
pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka
terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban
pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli
tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak
sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak
sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya
melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita
operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan
Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika
terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia
senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar
operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan,
Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga
dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan.
Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap
teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak,
sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan
dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan
zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania
mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air
yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi
dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi
kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua
mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu
tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh
darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti
kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah
seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke
rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya
sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh
membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut
menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat
perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak
keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak
pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah.
Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin
penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu
diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya
sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang
ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili
mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan
bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa
merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu
dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya
yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai
pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke
rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.
Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil
tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam
penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang
lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya,
senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di
sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania.
Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak
wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering
lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu
di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari
ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah
yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis,
menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur
berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua
tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus
kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas
tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat
menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil
memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh
cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia
ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak
perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli
dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania,
membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna
di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak
mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan
Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania
harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu
melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat
merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang
menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda
Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang
yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania
tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari
perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima
dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat
bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka
masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa
dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania
makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah.
Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap
berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah
bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan
anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut
tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan.
Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang
mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya
tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski
karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan
segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk
Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..
- Asma Nadia
-