Hikmah Hari Ini :

"Kaya yang Sebenarnya Adalah Ketenangan Jiwa"

Rabu, 13 Juni 2012

Menjadi Penulis yang Baik Atau Terbaik?



Menjadi Penulis yang Baik Atau Terbaik?
Oleh : Ahmad Kindi
Syarat utama menjadi penulis adalah menulis. Tanpa menulis Anda tidak akan pernah jadi seorang penulis. Benar?
Tidak benar.
Sekarang, tanpa menulis pun Anda tetap bisa jadi penulis. Syaratnya Anda mesti punya uang. Artinya Anda membayar penulis bayaran untuk menuliskan buku, artikel, cerpen atau apa pun yang diisbatkan atas nama Anda. Beres.
Tidak jadi masalah Anda menulis dengan jasa penulis bayaran, selama isi tulisan Anda memiliki nilai positif bagi pembaca. Karena tulisan sama dengan ucapan. Jika mengandung kebaikan maka akan bermanfaat, baik bagi yang mengucapkan maupun bagi yang mendengar. Anda pasti ingat istilah “lidah tak bertulang” atau “mulutmu harimaumu”. Jika perkataan Anda tidak membawa kebaikan maka bisa membahayakan orang lain dan diri Anda sendiri.
Begitu pun tulisan. Sebuah tulisan bisa membawa perdamaian, juga bisa menimbulkan peperangan. Tulisan bisa mendidik, juga bisa untuk memfitnah. Jika menulis dengan niat yang baik dan ditulis dengan baik maka tulisan Anda akan menjadi kebaikan. Intinya jangan sampai tulisan Anda mencelakakan. Mencelakakan diri Anda sendiri dan orang lain.
Nah, sekarang bagaimana rumus menjadi penulis terbaik?
Allah SWT berfirman di Surat Fushshilat ayat 33 yang artinya
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri (muslim)?”
Ini berarti ada tiga hal yang menjadikan perkataan seseorang menjadi perkataan yang paling baik. Dengan kata lain, tidak ada perkataan yang lebih baik daripada perkataan yang mengandung tiga unsur berikut:
1. Menyeru kepada Allah
2. Mengerjakan amal saleh
3. Mengatakan, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri (muslim)
Ingat, perkataan dan tulisan adalah sama. Hanya saja yang satu disampaikan secara verbal (lisan). Satunya lagi disampaikan secara simbolik (tulisan).
Berdasarkan Surat Fushshilat ayat 33 di atas, maka kita dapati bahwa rumus menjadi penulis terbaik adalah dengan memenuhi tiga kriteria tersebut, yaitu:
1. Tulisan Anda mengandung seruan (dakwah) kepada Allah.
2. Tulisan Anda merupakan hikmah dari amal saleh yang Anda lakukan. Artinya Anda menuliskan apa yang memang telah Anda amalkan. Alias bukan cuma teori.
3. Tulisan Anda menunjukkan identitas Anda sebagai seorang muslim.
Itu dia rumus menjadi penulis terbaik.
Sekarang, apakah Anda tertarik melakukannya?
Oh, Anda tidak ingin menjadi penulis terbaik? Anda hanya ingin menulis, tanpa ada embel-embel “terbaik” atau embel-embel apa pun? Itu sah-sah saja. Anda tidak ingin menjadi penulis terbaik seperti rumus di atas itu terserah Anda. Namun sebelum menutup, ijinkan saya mengajak Anda, paling tidak mari kita menjadi penulis yang baik. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW yang artinya:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR Bukhari, Muslim)
Ingat, menulis sama dengan berbicara. Maka mari kita menulis yang baik-baik sebagaimana kita diajarkan berbicara yang baik-baik. Jika Anda tidak membuat tulisan terbaik maka paling tidak Anda membuat tulisan yang baik. Tulisan yang mengandung kebaikan. Atau jika tidak, lebih baik jangan menulis sama sekali. Itu pun jika Anda beriman kepada Allah dan hari akhirat. Karena tulisan yang tidak baik bisa saja mencelakakan. Begitu banyak tulisan-tulisan berisi dusta. Memfitnah dan sebagainya. Semoga kita tidak lupa bahwa semua perbuatan akan dipertanggungjawabkan kelak. Termasuk tulisan.
Akhirnya, pilihan di tangan Anda. Jika tulisan Anda baik maka hasilnya akan baik untuk Anda. Sebaliknya, jika tidak, maka kecelakaan juga bagi Anda sendiri. Sekali lagi, mari menjadi penulis terbaik, atau paling tidak menjadi penulis yang baik. Jika tidak, lebih baik jangan menulis sama sekali.
Sumber Tulisan :
http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/27/menjadi-penulis-yang-baik-atau-terbaik/

Rabu, 06 Juni 2012

Perempuan-Perempuan Teguh


eramuslim.comRedaksi II | Rabu, 06 Juni 2012 - 14:46:35 WIB | dibaca: 592 pembaca
Perempuan-perempuan Teguh
Eramuslim.com | Media Islam Rujukan,
Kebanyakan kita tidak hidup di suasana perang, seperti pada generasi kakek-nenek kita yang melalui masa-masa perang kemerdekaan, seperti masa-masa perjuangan di Afghanistan, seperti suasana di Palestina hingga saat ini, dan seperti suasana di masa Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup.
Dalam satu buku sirah yang memenangkan satu lomba penulisan Sirah Nabi Muhammad SAW yang diadakan Rabithah 'Alam Islamiy, dipaparkan bahwa dalam kurang lebih 10 tahun masa kehidupan Nabi di Madinah, tidak kurang terjadi 83 kali peperangan dan ekspedisi pasukan. Artinya setiap tahun rata-rata terjadi delapan kali peperangan atau ekspedisi atau setiap satu setengah bulan sekali.
Bayangkan bagaimana kekuatan jiwa para shahabiyyah dalam menghadapi suasana seperti itu. Setiap kali melepaskan suami atau anak laki-laki mereka, para istri dan para ibu itu siap untuk menerima kepergian orang yang dicintainya untuk selamanya. Setidaknya begitulah kesiapan yang mereka miliki dalam dimensi kehidupan dunia. Begitu jiwa-jiwa para perempuan Palestina begitu teguh melepaskan suami dan anak-anak mereka berjuang merebut kemerdekaan negerinya.
Allah swt. telah melebihkan mereka dengan momentum waktu yang membuat jiwa mereka teguh. Cita-cita mendapatkan suami atau anak-anak yang pejuang dan menjadi syuhada, pahlawan yang gugur di jalan Allah adalah cita-cita yang nyata bagi mereka. Cinta mereka kepada suami dan anak-anak tidaklah dibatasi pada sentuhan fisik semata. Mereka telah melambungkan cintanya ke kehidupan yang lain, yang kekal abadi. Mereka telah membingkai cintanya dalam fikrah yang tinggi, ideologi yang menghantarkannya pada puncak kemanusiaan.
Fikrah yang diserap dari taujih Rabbani, pengajaran dan pengarahan dari Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Bijaksana Pada medan perjuangan bangsa Afghan saat mengusir agresor Rusia, seorang istri pejuang pernah ditanya wartawan, "Apakah Ibu tidak takut, jika suami Ibu meninggal. Bagaimana Ibu akan hidup dan menghidupi anak-anak kelak?" Si Ibu hanya tersenyum. Tapi dari sorot matanya terpancar keyakinan yang dalam. Ia menjawab, "Suami saya hanyalah seorang pemakan rizki dan bukan Pemberi Rizki!"
Dalam buku "Ghirah", Buya Hamka pernah berkisah. Salah satu perkampungan di Tanah Minang diserbu Belanda. Pasukan mendapatkan seorang perempuan sedang menumbuk padi di depan sebuah rumah gadang. Seorang tentara Belanda menghardiknya dan menanyakan apakah di rumah ada orang laki-laki. Dengan tegas si perempuan menjawab,"Tidak ada!" Toh pasukan memeriksa rumah itu dan ternyata didapati ada seorang lelaki bersembunyi di dalam rumah. Perempuan itu pun dihardik lagi oleh tentara Belanda, "Kamu sudah berdusta ya... Tadi kamu bilang tidak ada orang laki-laki, ternyata ada!" Perempuan itu tidak menunjukkan wajah gentar sedikitpun. Dia malah menjawab lantang, "Yang kalian temukan itu bukan lelaki, sebab para lelaki adalah mereka yang berjuang di hutan-hutan. Bukan pengecut yang bersembunyi di rumah!"
Bapak saya bercerita, bagaimana kondisi desanya di Kuningan sana saat dikabari akan ada serangan dari Belanda (entah berapa kali Bapak menceritakan kisah ini). Suara letusan dan desing peluru mulai terdengar, pertanda tengah terjadi pertarungan seru antara para pejuang melawan penjajah Belanda tidak jauh dari desa. Tapi kekuatan pasukan pejuang tak mampu menahan serbuan, hingga beberapa utusan pejuang datang ke desa dan memerintahkan para perempuan dan anak-anak untuk meninggalkan desa. Saat itu terlihat bagaimana Enin (panggilan saya untuk nenek yang tak pernah saya jumpai, karena wafat saat Bapak masih remaja) begitu tenang dan teguh mengurus anak-anaknya yang masih kecil-kecil untuk pergi mengungsi. Bapak saya adalah anak terbesar. Usianya baru sekitar 13-14 tahunan. Ia mesti membantu Enin dengan sekuat tenaga. Di mana Engki, kakek saya? Saat itu ia tak ada di tengah keluarga, karena tengah bergerilya di hutan-hutan. Enin telah berusaha mempersiapkan segalanya. Tak ada waktu santai. Semua persiapan mesti dilakukan serba cepat. Serempak bersama anak-anaknya, termasuk Bapak saya, Enin berjalan dan berlari meninggalkan desa. Ketika telah beberapa kilometer meninggalkan desa, Enin tiba-tiba berteriak, "AstagfirulLaah... Ujang, si Otong tertinggal!" Bapak saya, si Ujang yang dipanggil Enin, segera diperintahkan Enin untuk kembali ke desa, mengambil si Otong, yang tak lain adik bungsunya. Paman saya Harits alias si Otong, alhamdulilLah, bisa temukan dan diselamatkan. Meskipun Bapak menceritakan dengan sedih, bahwa seorang bapak di kampung yang menemaninya saat hendak keluar desa lagi, di tengah jalan tertembak peluru Belanda yang meninggal. Bapak melihat langsung kejadian ini.
Saya tidak bisa membayangkan betapa teguhnya perempuan-perempuan segenerasi Enin. Dalam kondisi berat ditinggal suaminya yang lebih banyak bergerilya, ia tak pernah terlihat mengeluh kepada Engki. Gambaran khidmat-nya pada suami digambarkan Bapak saya dalam kalimat, "Engki itu tak pernah makan ikan, kecuali duri-durinya sudah Enin pisahkan..."
Saya membayangkan, jika perempuan-perempuan teguh seperti para shahabiyyah, seperti isteri para pejuang di Palestina atau Afghanistan, seperti perempuan penumbuk padi di Tanah Minang, seperti generasi Enin hadir di masa ini, maka mereka akan menjadi penyejuk dan penyemangat para suami yang tengah berjuang.
Medan perjuangan saat ini memang bukan di tengah desingan peluru. Ada desingan-desingan lain yang tak kalah dashyatnya, yaitu desingan peluru yang meluluhlantahkan moralitas. Peluru dusta dan peluru penghianatan kepada kebenaran dan kepada orang banyak. Peluru yang membuat orang rakus dan lupa kepada mereka yang papa. Tantangan yang dihadapi saat ini, bukanlah medan perang gerilya di hutan-hutan. Medan perjuangan saat ini ada di dunia birokrasi, ada di dunia bisnis dan ada di tengah-tengah masyarakat. Atau bahkan medan perjuangan itu ada dalam diri sendiri; Melawan segala nafsu jahat yang setiap saat terus dihasut syaitan. Pada medan juang yang berbeda ini tetap dibutuhkan perempuan-perempuan teguh. Mereka pandai memaknai medan juang kontemporer, sehingga jiwanya disiapkan untuk berjuang. Mereka tak akan rela suaminya hanya menjadi pecundang peradaban materialisme. Mereka akan dukung perjuangan suaminya, meskipun kehidupan yang dihadapi menjadi berat. Mereka akan besarkan anak-anaknya untuk menghadapi tantangan zaman. Mereka harus cerdas, sekaligus sabar dan memiliki jiwa kasih sayang yang besar. ***
Dipersembahkan secara khusus untuk para istri yang mesti terpisah jauh dari suami mereka yang tengah merantau untuk satu misi mulia, bersabarlah. Semoga Allah mencatat kondisi ini sebagai kondisi perjuangan.
oleh Adi Junjunan Mustafa

Senin, 04 Juni 2012

Nyambi Jadi Penulis?

Oleh: Lufti Avianto

Di negara ini, profesi sebagai penulis belum bisa dihargai. Kalau mau melihat secara jujur, royalti yang diterima belum berpihak bagi kesejahteraan para penulis. Kisaran royalti, hanya sampai 20% saja, tergantung dari nama besar penulis yang bersangkutan. Bila sudah terkenal, bisa nego lebih lanjut dengan pihak penerbit. Tapi kalau newcomer, nilai 20% sudah jauh lebih cukup karena di sebagian besar penerbit, masih ada yang menawarkan royalti di bawah nilai itu.Kalau pun ada yang berhasil meraurup keuntungan sebagai penulis, masih bisa dihitung dengan jari saja. Misalnya, Habiburrahman El-Shirazy yang kabarnya mendapatkan royalti Rp 2 milyar lebih dari hasil karyanya, novel Ayat-Ayat Cinta. Jumlah itu belum termasuk keuntungan novel yang diterbitkan dalam bahasa Inggris dan keuntungan dari pembuatan filmnya.
Itu yang beruntung. Bila tidak, ada penulis yang hanya mendapatkan beberapa ribu saja dalam pembayaran royalti per enam bulannya. Sayangnya, kondisi ini sangat kontradiksi dengan beberapa negara lain yang sudah bisa menghargai profesi sebagai penulis. Seperti JK. Rowling di Inggris yang kaya- raya dari serial penyihir cilik Harry Potter. Bahkan kabarnya, kekayaan Rowling melebih ratu Inggris sekali pun!Atas fakta ini, bukan berarti jumlah penulis di republik ini sedikit. Sederet nama beken dalam jagad kepenulisan pun lahir. Dan rata-rata mereka menjadi penulis sebagai profesi sambilan. Seperti Tere Liye, nama pena dari Darwis seorang wartawan harian sebuah harian nasional,
So, jadi penulis itu bisa dilakukan sebelum kita menjadi apa pun. Bisa jadi dokter, insinyur, guru, konsultan, wartawan, seniman atau apa pun yang kamu mau, tapi tetap bisa menjadi penulis. Gimana caranya?

Pikir ulang ikut pelatihan

Boleh aja kalau sobat sekalian mau ikutan latihan atau workshop kepenulisan. Tapi, itu hanya memicu motivasi kita aja kok. Apalagi, kalau biaya pelatihan itu tak terjangkau alias mahal, mending nggak usah aja. Itu aja kuncinya. Jadi pikir berulang kali kalau mau ikutan pelatihan menulis yang mahal. Lain halnya, kalau biaya tak menjadi sersoalan bagi kamu. Intinya, bijak dalam memilah pelatihan yang kamu butuhkan.Ikut komunitas kepenulisan, lebih baikMemang komunitas semacam ini masih kalah banyak jumlahnya dengan komunitas lainnya. Dengan bergabung di komunitas kepenulisan, kamu bisa menambah teman, ilmu, dan yang paling penting, bisa menjaga semangat dan motivasi kamu dalam menulis. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum, lho, kalau di komunitas juga sering bagi-bagi proyek menulis. Asyik kan?Forum Lingkar Pena (FLP), adalah salah satu komunitas kepenulisan yang sudah memiliki banyak cabang. Kamu bisa mempertimbangkan untuk bergabung. Bagaimana kalau komunitas yang dimaksud terlalu jauh? Atau kita tidak ada waktu untuk ikut bergabung? Tenang sob, kamu bisa ikutan gabung dalam mailing list (milis) kepenulisan. Jumlahnya sudah banyak kok.

Resepnya cuma menulisJurus jitu jadi penulis itu cuman tiga. Ini juga yang jadi ‘barang dagangan’ pelatihan. Semua mengiming-imingi dagangan yang sama, yaitu menulis, menulis dan menulis. Sebenarnya, kamu bisa praktik menulis secara otodidak. Menulis saja. Itu kuncinya.Menurut salah seorang penulis terkenal, pekerjaan menulis atau menuangkan ide sejatinya adalah membua retakan-retakan kecil dalam ‘bendungan’ di otak kita. Terkadang, bagi para penulis pemula, proses ini menjadi tidak mudah karena sulitnyamenuangkan ide dalam sebuah tulisan. Nah, dalam proses menulis yang kontinyu, retakan itu menjadi semakin banyak dan akhirnya jebol bendungan yang menyulitkan kita dalam menuangkan ide itu.Sebagai sarana berlatih, kamu bisa menulis buku harian atau blog secara rutin. Tulislah apa pun yang terlintas dalam pikiranmu. Lupakan soal teknik kepenulisan, lupakan soal diksi, lupakan soal logika tulisan, tugasmu hanyalah menulis dan menuangkan ide, itu saja. Setelah sebuah tulisan selesai, barulah tahap penyuntingan dilakukan. Baca kembali, lalu perbaiki bagian-bagian yang tidak logis atau sunting tulisanmu secara teknis, seperti penggunaan titik-koma, penggunaan huruf capital, atau penggunaan tanda baca lainnya.
EvaluasiDari tulisan yang sudah kamu buat, mintalah komentar dan saran dari temanmu. Atau, perhatikan komentar yang di-posting orang terhadap tulisanmu di blog. Jangan putus asa atau patah arang bila komentar miring yang kamu dapat. Sebaliknya, jangan besar kepala saat pujian kamu dapatkan.
Saatnya Go PublicJangan simpan tulisanmu di komputermu atau membiarkan nge-jogrok di blog saja. Cobalah memberanikan diri menawarkan naskahmu ke penerbit atau kirim artikelmu ke media massa. Pelajarilah media mana saja yang menerima tulisan dari pembacanya. Kenali jenis rubriknya, apakah itu cocok dengan tulisan milik kamu. Atau di penerbit, kamu juga harus mengenali buku apa saja yang bisa diterbitkan di penerbit yang bersangkutan. Jangan sampai salah sasaran.Misalnya, penerbit A menerbitkan buku-buku bergenre fiksi, maka jangan mengirimkan naskah di luar genre yang menjadi pakem penerbit tersebut. Mengenali jenis terbitan sang penerbit sangat penting agar naskah kamu memiliki peluang lebih besar untuk diterbitkan. Hal yang sama juga harus kamu lakukan bila mengirim artikel di media massa.
Jadi Penulis SambilanLiriklah bidang yang kamu minati. Bila kamu menyukai suatu bidang, tulislah naskah atau artikel yang berkaitan dengan bidang itu. Selain untuk menambah dan memperdalam pemahaman kamu, juga ada ‘efek samping’ yang positif, misalnya dapat honor tambahan. Siapa pun kamu, pelajar, mahasiswa atau karyawan, bisa memperdalam bidang yang kamu akan atau sudah geluti dengan menulis. Tetapi perlu diingat, penghargaan, royalti atau honor tambahan yang kamu peroleh, hanyalah sebuah konsekuensi positif dari upaya kamu yang sungguh-sungguh dalam menulis.Hal ini pernah disampaikan Asrori S. Karni, salah seorang pemenang Mochtar Lubis Award, sebuah penghargaan bergengsi dunia jurnalistik pada 2008 lalu. “Yang terpenting adalah menulis dengan kesungguhan dan keikhlasan. Soal penghargaan dan hadiah, adalah dampak dari proses sebelumnya,” kata dia yang berprofesi sebagai wartawan sebuah majalah berita mingguan ini.Jadi, meski kamu menulis sebagai kegiatan di waktu luang kamu, lakukankah dengan niat dan usaha yang sungguh-sungguh. Nisacaya, setiap tulisan yang lahir dengan proses terbaik, pasti punyah ‘jodohnya’ yang terbaik pula.


Cerpen islami - Asma Nadia


Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.


Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.

Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap.Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.

Kamu pasti bercanda!

Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!

Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.

Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?

Nania terkesima.

Kenapa?

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.

Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!

Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur.Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania lontarkan.

Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.

Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.

Tapi kenapa?

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.

Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!

Cukup!

Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak 'luar biasa'. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.

Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.

Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.

Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?

Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.

Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.

Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..

Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!

Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.

Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.

Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.

Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.

Dokter?

Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu?
Bagaimana jika terlambat?

Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.

Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.

Pendarahan hebat!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.

Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.

Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.

Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,

Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.

Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.

Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!

Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.

Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.

Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.

Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..

- Asma Nadia -