Hikmah Hari Ini :

"Kaya yang Sebenarnya Adalah Ketenangan Jiwa"

Sabtu, 11 Agustus 2012

MENJAGA UKHUWAH ISLAMIYAH


"Sesungguhnya orang-orang mumin adalah bersaudara. Maka damaikanlah antara saudara kamu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat".

Ayat ke sepuluh surat al-Hujurat ini merupakan ayat yang paling populer untuk menganjurkan ukhuwah islamiyah. Setidaknya, ayat ini mengandung empat point di dalamnya. Pertama, penegasan bahwa seluruh umat Islam itu bersaudara dan penegasan adanya kesejajaran antara keimanan dan persaudaraan. Kedua, perintah untuk mendamaikan dua orang yang berselisih. Ketiga, perintah untuk bertakwa kepada Allah, menjaga pesan-pesan agama ketika terjebak dalam perselisihan dan keempat, berita tentang rahmat Allah yang disediakan khusus bagi mereka yang selalu menjaga nilai-nilai persaudaraan.

Nilai persaudaraan dalam Islam
Mantan rektor universitas al-Azhar Mesir, Dr. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya, fiqh al-ukhuwaah fi al-Islam, mengutip pendapat imam Quthubi dan Ibnu Katsir, bahwa ukhuwah dalam ayat sepuluh surat al-Hujurat ini adalah persaudaraan seagama sesuai dengan sabda Nabi: "seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya". (HR. Bukhari)

Ketika Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Medinah, langkah pertama yang dirintis Rasulullah adalah muakhah (mempersaudarakan) antara seorang anggota Muhajirin dengan seorang anggota Anshar. Sejarah mencatat betapa kuatnya persaudaraan yang terjalin di antara kedua golongan Muhajirin dan Anshar ini sampai terjadi tawaruts (saling mewarisi) bila satu di antara dua sahabat tersebut meninggal dunia. Tradisi tawaruts ini kemudian dihapus setelah turun ayat "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin (QS al-Ahzab [33] : 6). Indahnya persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar ini juga diabadikan dalam al-Quran, "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS al-Hasyr [59] : 9).

Ukhuwah dalam Islam menempati posisi yang sangat tinggi. Ia merupakan batu bata bagi tegaknya bangunan perjuangan Islam. Rasulullah selalu menekankan terjaganya nilai-nilai persaudaraan di hati para sahabat. Beliau bersabda: "janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling memusuhi, dan jangan membeli barang yang sedang ditawar orang lain, hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang saling bersaudara", (HR. Muslim)

Ketika ukhuwah Islamiyah tercederai
Minggu, 1 Juni 2008 adalah hari kelabu bagi umat Islam Indonesia. Hari itu –dan hari hari setelahnya-- berita utama di hampir semua media cetak dan media elektronik diisi berita penyerangan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB). Tak penting untuk menunjuk siapa yang benar dan siapa yang salah dalam tragedi ini, yang sangat penting adalah hadirnya perasaan pilu yang mendalam ketika kita menyaksikan saudara-saudara kita saling 'memakan' antara sesama. Lebih pilu lagi ketika setelah hari itu, kita menyaksikan betapa mendalamnya rasa benci, dendam dan permusuhan yang berkecamuk di antara para pemimpin dan pengikut kedua belah pihak.

Dalam segala hal, Indonesia adalah negara mejemuk yang penuh warna warni. Islam di Indonesia pun begitu banyak bingkainya, ada Islam tradisionalis, modernis, liberalis, fundamentalis, puritanis, revivalis, formalis, substantifistis dan lain-lain. Keberagaman ini, bila bersinergi akan menghasilkan hasil seindah hiasan mozaik. Islam juga akan perkasa bilamana setiap keragaman ini bekerja maksimal sesuai dengan jalurnya masing-masing. Namun yang terlihat ke permukaan adalah betapa kuatnya fanatisme golongan dan fanatisme terhadap pendapat dan pola pikir yang sudah tumbuh dan mengakar, yang menutupi rasionalitas al-Quran dan sabda Nabi (hadits) sebagai landasan agama dalam menghadapi perbedaan.

Mendamaikan saudara yang bertikai
Tak nyaman rasanya, bila ada dua saudara kita yang bertikai, dan kita berada di salah satu pihak, lantas kita tergugah atau menggugah orang lain menanam, menyiram memupuk dan menyuburkan benih-benih permusuhan terhadap pihak musuh. Tapi lebih jelek lagi ketika kita ada di luar dua pihak yang bertikai tadi lantas kita bertepuk tangan untuk menyemangati pertikaian itu. Tapi yang terbaik adalah melangkah untuk mendamaikan. Ayat sepuluh dari surat al-Hujurat ini, juga ayat sebelumnya (ayat 9) menegaskan perintah Allah agar kita, dengan cara apapun dan bagaimanapun bekerja untuk mendamaikan pertikaian, terlebih-lebih bila yang bertikai itu saudara-saudara kita sendiri. Minimalnya, kita sendiri tidak terjebak dalam posisi di mana kita membiarkan diri kita larut dalam perasaan membenci sesama.

Kalau dalam ayat ini Allah menjanjikan rahmat-Nya bagi siapapun yang menjaga ukhuwah Islamiyah, mendamaikan dua pihak yang bertikai, dan menjaga nilai-nilai ketakwaan ketika bertikai, maka dalam ayat yang lain Allah menjajikan pahala yang besar, yaitu surga, "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS al-Nisa [4] :114)

Penutup
Cinta dan kasih sayang adalah benih yang ditanamkan Allah di hati sanubari manusia. Sedangkan benci, dendam dan sikap bermusuhan adalah benih yang terus ditanamkan setan di dada setiap manusia, "Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu" (QS al-Maidah [5] : 96). Maka, mari kita terus kobarkan ukhuwah Islamiyah di tengah keragaman yang ada, sehingga Islam senantiasa memperlihatkan keindahannya, seindah-indahnya. Wallahu A'lam.

Filsafat dan Kontroversi



A. PENDAHULUAN

FILSAFAT DAN KONTROVERSI

Kehidupan tak akan pernah lepas dari yang namanya filsafat, karena manusia sebagai makhluk yang berakal senantiasa berpikir. Manusia selalu menggunakan akalnya untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia merupakan kata majemuk dari kata philos (kekasih, sahabat) dan sophia (kebijaksanaan, pengetahuan), sehingga filsafat dapat didefinisikan dengan mencintai kebijaksanaan, sahabat kebijaksanaan, atau mencintai pengetahuan(yang benar). Jadi seorang filosof selalu mencintai kebijaksanaan dan senantiasa cinta pengetahuan. Segala hal yang dihadapinya selalu dipecahkan dengan berfilsafat hingga mendapat jawaban yang sebenar-benarnya. Sedangkan secara terminologi filsafat mempunyai devinisi yang bervariasi. Setiap ilmuwan mendefinisikan dengan definisi berbeda, namun hakikatnya adalah sama. Poedjawijatna mengatakan bahwa filsafat adalah Ilmu yang mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Descartes mendefinisikannya sebagai himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
Dalam arti sederhana, filsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya untuk mencari kebenaran atas suatu hal.
Filsafat berperan sebagai pendobrak, pembebas dan pembimbing. Dikatakan sebagai pendobrak karena mampu mendobrak pintu ke-mitos-an dan membawanya ke arah ke-logis-an. Tradisi mitos yang tadinya sakral dan stagnan menjadi dinamis bersamaan dengan hadirnya filsafat. Ia juga pembebas manusia dari kebodohan, ketidaktahuan, berfikir primitif, dan tidak kritis. Ia menjadikan manusia memfungsikan akal dan hati yang dianugerahkanNya secara optimal. Selain dua peran tersebut, filsafat juga dikenal sebagai pembimbing manusia. Karenanya manusia berpikir maju, dan menghasilkan produk luar biasa yang menjadi pondasi berbagai macam ilmu saat ini.[1]
Selanjutnya, Dr.Syamsuddin Arif. Dosen International Islamic University Malaysia (IIUM) menjelaskan bahwa filsafat itu disiplin ilmu dan bukan teknologi. Menurutnya, manusia tak bisa meletakkan filsafat di atas meja sebab filsafat ada dalam akal manusia itu sendiri. Beliau juga mengkritik sejumlah kalangan yang mengharamkan belajar filsafat dengan berpendapat bahwa kekhawatiran belajar filsafat yang dianggap dapat menyesatkan pikiran itu tidak didukung oleh fakta, sebab Ibnu Taimiyah dan Imam Ghazali adalah ahli filsafat.
 Filsafat Islam adalah sebuah keniscayaan dan termasuk tradisi intelektual Islam. Jika ditelusuri dan diteliti, para ulama telah lama mengembangkan tradisi filsafat islam antara abad ke-5 sampai abad ke-12 H. Berkat jasa para ulama ini, filsafat Islam berkembang pesat dan hingga kini jejaknya masih ada di Iran, India, Asia Tengah, dan Mesir.
Salah seorang ulama yang menggawangi filsafat Islam agar tidak kemasukan ajaran-ajaran sesat adalah Imam Al-Ghazali. Di abad ke-5 Hijriyah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan keras terhadap doktrin-doktrin filsuf dalam karyanya, Tahafut Al-Falasifah, dimana beliau menganggap kufur ajaran para filsuf dalam mengenai tiga hal; pertama, keyakinan mereka bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detail; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari kiamat.[2]
Namun, meskipun pertanyaan ketiga mampu dijawab oleh para filsuf Islam, menurut Dr.Syamsuddin Arif. Dosen International Islamic University Malaysia (IIUM)  ini ada banyak tantangan bagi perkembangan filsafat Islam, yang berasal dari internal maupun eksternal. Tantangan internal filsafat Islam antara lain gambaran keliru bahwa belajar filsafat itu sulit dan rumit, kesan umum bahwa belajar filsafat itu sia-sia karena tidak mendatangkan manfaat konkrit atau imbalan materi. Sedangkan secara eksternal antara lain intervensi dari paradigm orientalis yang menggunakan pendekatan historis-filologis belaka serta adanya stereotip bahwa berbicara filsafat berarti hanya berbicara pemikiran Al-Kindi hingga Ibnu Rusyd saja.[3]
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat –bukan sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, dan liberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama, mendewakan akal, melecehkan Nabi, dan sebagainya.[4]

B.     PERUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Pandangan Ulama  Terhadap Filsafat
2.      Faktor-faktor Historis apa saja yang menjadi pendorong lahirnya pemikiran filsafat islam

C.     PEMBAHASAN
1.    Filsafat dalam Pandangan Ulama
Salah seorang pendahulu yang terjun di bidang filsafat ini adalah Al-Kindi (800-868 Masehi). Al-Kindi adalah orang keturunan Arab asli, yang sayang sekali pemikiran-pemikirannya tidak banyak dikenal. Filsuf lain adalah orang berkebangsaan Persia, Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi (meninggal 923 Masehi/32 Hijrah). Al-Razi menulis bukunya yang berjudul The Spiritual Phisick yang telah diuraikan oleh penterjemah ke dalam bahasa Inggris, sebagai eksplorasi dari sikap 'hedonisme intelektual." Filsuf yang lebih penting lagi adalah Al-Farabi (875-950 Masehi). Al-Farabi ini membela apa yang dianggapnya sebagai standar pandangan Islam atas dasar Neoplatonik.
Posisi filsafatnya lebih lanjut didefinisikan kembali oleh Ibnu Sina atau Avicenna (meninggal 1037 Masehi). Ibnu Sina ini adalah salah seorang filsuf besar dunia. Walaupun karyanya dalam Falasifah-nya mempunyai tempat yang penting dalam sejarah umum filsafat, agaknya pemikiran falsafahnya berpengaruh kecil di dunia Islam pada zaman para filsuf muslim itu masih hidup. Standar para ulama Ahli Kalam di kalangan umat Islam kala itu tidak membahas pandangan para filsuf muslim tersebut, sebaliknya mereka malah sampai ada yang menolak pandangan mereka. Boleh dikatakan, karya-karya para filsuf muslim ini hanya baru-baru ini saja dimiliki di tengah para pengikutnya secara langsung.
Dalam buku berjudul Maqasid al-Falasifah ini Al-Ghazali menyatakan bahwa ada tiga pendapat para filsuf yang menjadikan mereka kafir dan tidak muslim lagi. Tiga pendapat para filsuf ini adalah penolakan mereka terhadap adanya kebangkitan jasmani karena yang ada hanyalah kebangkitan ruhani di akhirat nanti; pandangan bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal besar yang bersifat universal dan tidak mengetahui fenomena kejadian-kejadian alam yang kecil-kecil; dan pendirian bahwa alam ini kekal adanya karena berasal dari yang kekal abadi. Al-Ghazali juga tertarik kepada petunjuk yang luas sampai ke ilmu-ilmu falasifah, seperti Matematika, yang menurutnya para filsuf tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan bahkan dapat diakui kebenaran ilmu matematika ini. Secara khusus dia menuliskan pendahuluan buku-buku teksnya tentang logika Aristotelian, dengan contoh-contoh yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para ulama Kalam dalam Islam.
Salah satu akibat dari karya Al-Ghazali ini adalah adanya beberapa risalah ilmu Kalam pada bagian-bagian yang ekstensif sifatnya berkenaan dengan pendahuluan-pendahuluan filsafi terkemudian. Akibat pandangan ini dapat diilustrasikan pada kontribusi kandungan-kandungan isinya pada salah satu risalah yang paling masyhur dalam bukunya yang berjudul Mawaqif buah pena Al-Iji (meninggal 1355 Masehi). Lalu didapati pula komentarnya yang ditulis oleh Al-Jurjani (meninggal 1413 Masehi) yang terdiri dari 4 jilid besar- besar dari masing-masing jilidnya. Bagian karyanya dibagi sebagai berikut: obyek dan metodologi Ilmu Kalam; wujud dan non-wujud (makhluk dan bukan makhluk), wujud yang mungkin dan wujud yang wajib, sebab dan akibat, dan lain-lain; aksiden, kualitas, kuantitas, hubungan-hubungan, dan lain- lain; substansi, tubuh, jasmani, jiwa, ruh; makhluk, unitas, sifat dan perbuatan mutlak Tuhan; kenabian; alam akhirat dan materi-materi "tradisional" yang lain.
Beberapa risalah yang lain yang hampir mirip adalah yang diuraikan oleh Louis Gardet dan Pere Anawati dalam pengenalannya terhadap teologi Islam. Terhadap contoh-contoh karya tersebut, timbul masalah penting: apakah benar penolakan kepada falasifah itu sebagai penolakan paripurna terhadap pemikiran Yunani oleh para ulama Kalam? Ataukah kita tidak boleh mengatakan bahwa mereka sebenarnya mengakui pemikiran Yunani dan mengadaptasikan dengan kebutuhan-kebutuhannya sendiri?
Di pihak lain, Islam di barat abad kedua puluh ini dapat melahirkan falasifah Arab terbesar, Ibnu Rushd atau Averroes (meninggal 1198 Masehi). Ibnu Rushd ini adalah seorang ahli hukum Islam terpelajar dan sebagian besar hidupnya diabdikannya sebagai seorang hakim. Akan tetapi, Ibnu Rushd juga adalah seorang yang amat mendalami ilmu-ilmu pengetahuan Yunani. Ibnu Rushd terutama mempelajari karya pemikiran Aristotle dan komentar-komentar atas sebagian karya-karya Aristotle. Ibnu Rushd juga mengoreksi beberapa kesalahan interpretasi Neoplatonik di antara para filsuf belakangan. Dia juga menulis penolakannya kepada buku Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah yang ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam bukunya Tahafut al- Tahafut. Selain kemasyhurannya, Ibnu Rushd tidak mempunyai pengganti-penggantinya dalam Islam di barat dan secara tegas sedemikian dikenal di timur. Sekalipun Ibnu Rushd ini adalah seorang hakim, dia mendapat tekanan dari para ulama ahli Hadits pada masa hidupnya. Barangkali prestasi paling besar yang pernah dicapainya adalah pengenalan kembali pemikiran Aristotle yang asli ke bangsa Eropa barat.

2.    Faktor-faktor Historis pendorong lahirnya pemikiran filsafat islam
Lahirnya filsafat sejarah, menurut peneliti modern, karena kecenderungan manusia yang terkenal sebagai “hewan sejarah”. Manusia, sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang ada dan terjadi disekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya- dari segi faktor-faktor yang membangkitkannya dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya. Sebatas pengalaman yang dimiliki. Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia, merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian peristiwa secara filosofis.
Sebagai akibat dari penaklukan-penaklukan awal dalam Islam, terutama penaklukan atas Iraq, umat Islam sejak pertengahan abad ke delapan, adalah adanya kontak dengan tradisi pemikiran Yunani. Di Iraq ada sekolah-sekolah Kristen atau perguruan-perguruan tinggi Kristen. Lembaga-lembaga pendidikan ini menggunakan bahasa Syria sebagai bahasa pengantar belajar, disana dipelajari ilmu kedokteran, filsafat Yunani, dan ilmu-ilmu pengetahuan Yunani yang lain. Para penguasa dan raja Islam, segera tertarik dengan ilmu kedokteran Yunani dan terutama ilmu astronomi, yang berguna untuk menentukan arah kota Mekah yang harus dihadapi ketika mendirikan ibadah salat. Sampai tahun 870 Masehi, ahli fisika pada masa kekhalifahan Bani Abbasiah adalah orang yang beragama Kristen.
Di awal abad ke sembilan, khalifah Al-Ma'mun mendirikan laboratorium dan pusat penterjemahan buku-buku Yunani, dan pada gilirannya buku-buku dari delapan puluh penulis Yunani itu sudah tersedia dalam sajian bahasa Arab. Satu atau dua dekade terdahulu, sebagian kecil ahli teologi Islam tertarik kepada konsep-konsep filsafat Yunani dan konsep-konsep ilmiah Yunani. Para ahli ilmu Kalam ini pada gilirannya mulai menggunakan konsep-konsep filsafat maupun ilmiah Yunani dalam argumennya menentang para pemeluk kepercayaan non-muslim yang lain, dan menentang umat Islam yang tidak setuju dengan pendapat yang mereka kemukakan. Penggunaan konsepsi Yunani ini juga memperlihatkan kegunaannya kepada murid-murid yang sekolah di lembaga-lembaga pendidikan Kristen tadi, yang telah beragama Islam. Dua ahli ilmu Kalam terdahulu yang tertarik kepada konsepi-konsepsi Yunani adalah Hisham Ibn Hakam dan Dirar Ibn Amr, yang keduanya hidup kira-kira dari tahun 780 sampai 800 Masehi.[5]

D.          KESIMPULAN
Menurut al-Ghazali, filsafat itu ada sesatnya namun ada pula benarnya. Selama tidak bertentangan dengan akidah, maka fisika, logika, matematika, geometri yang merupakan bagian dari ilmu filsafat, bisa diterima. Tapi, jika bertentangan dengan akidah, seperti metafisika, dan unsur-unsur dalam fisika maupun psikologi (saat itu psikologi bagian dari ilmu filsafat), maka bagian dari filsafat tersebut harus ditolak. Al-Ghazali telah meletakkan filsafat pada tempatnya.  
Pengaruh Ibnu Rusyd di Barat telah menyebabkan masyarakat Kristen meninggalkan agamanya. Para pengikut Ibnu Rusyd (Averroisme) meraih kemajuan sains dan teknologi dengan mengorbankan ajaran agamanya. Bagi Averroisme, akal berada di atas Wahyu. Padahal dalam struktur epistemologi Islam, Wahyu adalah sumber epistemologi yang utama. Al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah karena filsafat -- ketika itu -- telah menggeser wahyu sebagai sumber epistemologi yang utama.  Al-Ghazali berusaha meletakkan filsafat pada tempatnya .

Daftar pustaka
2.       Perdana Ahmad, www.almanhaj.or.id
3.       Ainu Amri, www.alsofwah.or.id
4.       Syamsuddin Arif, http://www. insistnet.com
5.        Irmayanti Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI. hal. 1
Titik Temu Islam dan Kristen Persepsi dan Salah Persepsi William Pratama Jakarta Percetakan
Radar Jaya Jakarta Cetakan 1, 1996 Filsafat Sejarah dalam ISLAM” Drs. Misri A. Muchsin, MA
Pengantar FILSAFAT /Inu Kencana Syafiie. PT. Refika Aditya. 2004



[2] Perdana Ahmad, www.almanhaj.or.id

[4] Syamsuddin Arif, http://www. insistnet.com
[5] Radar Jaya Jakarta Cetakan 1, 1996 Filsafat Sejarah dalam ISLAM” Drs. Misri A. Muchsin, MA

Jumat, 03 Agustus 2012

Tanpa Kata

Di dasar relung jiwaku Bergema nyanyian tanpa kata;
sebuah lagu yang bernafas di dalam benih hatiku,
Yang tiada dicairkan oleh tinta di atas lembar kulit ;
ia meneguk rasa kasihku dalam jubah yg nipis kainnya,
dan mengalirkan sayang, menyentuh hatiku.

Betapa dapat aku mendesahkannya?

Aku bimbang dia mungkin berbaur dengan kerajaan fana
Kepada siapa aku akan menyanyikannya?
Dia tersimpan dalam relung sukmaku
Kerna aku risau, dia akan terhempas
Di telinga pendengaran yang keras.

Pabila kutatap penglihatan batinku
Nampak di dalamnya bayangan dari bayangannya,
Dan pabila kusentuh hujung jemariku
Terasa getaran kehadirannya.
Perilaku tanganku saksi bisu kehadirannya,

Bagai danau tenang yang memantulkan cahaya bintang-bintang bergemerlapan.
Air mataku menandai sendu
Bagai titik-titik embun syahdu
Yang membongkarkan rahsia mawar layu.

Lagu itu digubah oleh renungan,
Dan dikumandangkan oleh kesunyian,
Dan disingkiri oleh kebisingan,Dan dilipat oleh kebenaran,
Dan diulang-ulang oleh mimpi dan bayangan,
Dan difahami oleh cinta,
Dan disembunyikan oleh kesedaran siang
Dan dinyanyikan oleh sukma malam.

Lagu itu lagu kasih-sayang,

Gerangan ‘Cain’ atau ‘Esau’ manakah Yang mampu membawakannya berkumandang?
Nyanyian itu lebih semerbak wangi daripada melati:
Suara manakah yang dapat menangkapnya?
Kidung itu tersembunyi bagai rahasia malam,
Getar nada mana yang mampu menggoyahnya?
Siapa berani menyatukan debur ombak samudra dengan kicau bening burung malam?
Siapa yang berani membandingkan deru alam, Dengan desah bayi yang nyenyak di buaian?
Siapa berani memecah sunyi
Dan lantang menuturkan bisikan sanubari
Yang hanya terungkap oleh hati?
Insan mana yang berani melagukan kidung suci Tuhan?