A. PENDAHULUAN
FILSAFAT DAN
KONTROVERSI
Kehidupan tak
akan pernah lepas dari yang namanya filsafat, karena manusia sebagai makhluk
yang berakal senantiasa berpikir. Manusia selalu menggunakan akalnya untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Filsafat secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia merupakan kata majemuk dari kata
philos (kekasih, sahabat) dan sophia (kebijaksanaan, pengetahuan), sehingga
filsafat dapat didefinisikan dengan mencintai kebijaksanaan, sahabat
kebijaksanaan, atau mencintai pengetahuan(yang benar). Jadi seorang filosof
selalu mencintai kebijaksanaan dan senantiasa cinta pengetahuan. Segala hal
yang dihadapinya selalu dipecahkan dengan berfilsafat hingga mendapat jawaban
yang sebenar-benarnya. Sedangkan secara terminologi filsafat mempunyai devinisi
yang bervariasi. Setiap ilmuwan mendefinisikan dengan definisi berbeda, namun
hakikatnya adalah sama. Poedjawijatna mengatakan bahwa filsafat adalah Ilmu
yang mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin
ada. Descartes mendefinisikannya sebagai himpunan dari segala pengetahuan yang
pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
Dalam arti sederhana, filsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya untuk mencari kebenaran atas suatu hal.
Dalam arti sederhana, filsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya untuk mencari kebenaran atas suatu hal.
Filsafat
berperan sebagai pendobrak, pembebas dan pembimbing. Dikatakan sebagai
pendobrak karena mampu mendobrak pintu ke-mitos-an dan membawanya ke arah
ke-logis-an. Tradisi mitos yang tadinya sakral dan stagnan menjadi dinamis
bersamaan dengan hadirnya filsafat. Ia juga pembebas manusia dari kebodohan,
ketidaktahuan, berfikir primitif, dan tidak kritis. Ia menjadikan manusia
memfungsikan akal dan hati yang dianugerahkanNya secara optimal. Selain dua
peran tersebut, filsafat juga dikenal sebagai pembimbing manusia. Karenanya manusia
berpikir maju, dan menghasilkan produk luar biasa yang menjadi pondasi berbagai
macam ilmu saat ini.[1]
Selanjutnya, Dr.Syamsuddin Arif. Dosen International
Islamic University Malaysia (IIUM) menjelaskan bahwa filsafat itu disiplin
ilmu dan bukan teknologi. Menurutnya, manusia tak bisa meletakkan filsafat di
atas meja sebab filsafat ada dalam akal manusia itu sendiri. Beliau juga
mengkritik sejumlah kalangan yang mengharamkan belajar filsafat dengan
berpendapat bahwa kekhawatiran belajar filsafat yang dianggap dapat menyesatkan
pikiran itu tidak didukung oleh fakta, sebab Ibnu Taimiyah dan Imam Ghazali
adalah ahli filsafat.
Filsafat
Islam adalah sebuah keniscayaan dan termasuk tradisi intelektual Islam. Jika
ditelusuri dan diteliti, para ulama telah lama mengembangkan tradisi filsafat
islam antara abad ke-5 sampai abad ke-12 H. Berkat jasa para ulama ini,
filsafat Islam berkembang pesat dan hingga kini jejaknya masih ada di Iran,
India, Asia Tengah, dan Mesir.
Salah
seorang ulama yang menggawangi filsafat Islam agar tidak kemasukan
ajaran-ajaran sesat adalah Imam Al-Ghazali. Di abad ke-5 Hijriyah, Imam
al-Ghazali melepaskan pukulan keras terhadap doktrin-doktrin filsuf dalam
karyanya, Tahafut Al-Falasifah, dimana beliau menganggap kufur ajaran
para filsuf dalam mengenai tiga hal; pertama, keyakinan mereka bahwa alam ini
kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara
detail; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari
kiamat.[2]
Namun,
meskipun pertanyaan ketiga mampu dijawab oleh para filsuf Islam, menurut
Dr.Syamsuddin Arif. Dosen International Islamic University Malaysia
(IIUM) ini ada banyak tantangan bagi
perkembangan filsafat Islam, yang berasal dari internal maupun eksternal.
Tantangan internal filsafat Islam antara lain gambaran keliru bahwa belajar
filsafat itu sulit dan rumit, kesan umum bahwa belajar filsafat itu sia-sia
karena tidak mendatangkan manfaat konkrit atau imbalan materi. Sedangkan secara
eksternal antara lain intervensi dari paradigm orientalis yang menggunakan
pendekatan historis-filologis belaka serta adanya stereotip bahwa berbicara
filsafat berarti hanya berbicara pemikiran Al-Kindi hingga Ibnu Rusyd saja.[3]
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak
sedikit yang antipati terhadap filsafat –bukan sebagai sikap mental, proses
nalar dan kearifan, melainkan filsafat sebagai ‘barang impor’ yang mengandung
unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, dan liberalisme.
Filsafat dalam pengertian kedua inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim,
yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan
anti-agama, mendewakan akal, melecehkan Nabi, dan sebagainya.[4]
B.
PERUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Pandangan Ulama Terhadap Filsafat
2.
Faktor-faktor Historis apa saja yang menjadi
pendorong lahirnya pemikiran filsafat islam
C.
PEMBAHASAN
1. Filsafat dalam Pandangan
Ulama
Salah seorang
pendahulu yang terjun di bidang filsafat ini adalah Al-Kindi (800-868 Masehi).
Al-Kindi adalah orang keturunan Arab asli, yang sayang sekali
pemikiran-pemikirannya tidak banyak dikenal. Filsuf lain adalah orang
berkebangsaan Persia, Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi (meninggal 923
Masehi/32 Hijrah). Al-Razi menulis bukunya yang berjudul The Spiritual Phisick
yang telah diuraikan oleh penterjemah ke dalam bahasa Inggris, sebagai
eksplorasi dari sikap 'hedonisme intelektual." Filsuf yang lebih penting
lagi adalah Al-Farabi (875-950 Masehi). Al-Farabi ini membela apa yang
dianggapnya sebagai standar pandangan Islam atas dasar Neoplatonik.
Posisi
filsafatnya lebih lanjut didefinisikan kembali oleh Ibnu Sina atau Avicenna
(meninggal 1037 Masehi). Ibnu Sina ini adalah salah seorang filsuf besar dunia.
Walaupun karyanya dalam Falasifah-nya mempunyai tempat yang penting dalam
sejarah umum filsafat, agaknya pemikiran falsafahnya berpengaruh kecil di dunia
Islam pada zaman para filsuf muslim itu masih hidup. Standar para ulama Ahli
Kalam di kalangan umat Islam kala itu tidak membahas pandangan para filsuf
muslim tersebut, sebaliknya mereka malah sampai ada yang menolak pandangan
mereka. Boleh dikatakan, karya-karya para filsuf muslim ini hanya baru-baru ini
saja dimiliki di tengah para pengikutnya secara langsung.
Dalam
buku berjudul Maqasid al-Falasifah ini Al-Ghazali menyatakan bahwa ada tiga
pendapat para filsuf yang menjadikan mereka kafir dan tidak muslim lagi. Tiga
pendapat para filsuf ini adalah penolakan mereka terhadap adanya kebangkitan
jasmani karena yang ada hanyalah kebangkitan ruhani di akhirat nanti; pandangan
bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal besar yang bersifat universal dan tidak
mengetahui fenomena kejadian-kejadian alam yang kecil-kecil; dan pendirian
bahwa alam ini kekal adanya karena berasal dari yang kekal abadi. Al-Ghazali
juga tertarik kepada petunjuk yang luas sampai ke ilmu-ilmu falasifah, seperti
Matematika, yang menurutnya para filsuf tidak bertentangan dengan ajaran Islam
dan bahkan dapat diakui kebenaran ilmu matematika ini. Secara khusus dia
menuliskan pendahuluan buku-buku teksnya tentang logika Aristotelian, dengan
contoh-contoh yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para ulama Kalam dalam
Islam.
Salah
satu akibat dari karya Al-Ghazali ini adalah adanya beberapa risalah ilmu Kalam
pada bagian-bagian yang ekstensif sifatnya berkenaan dengan
pendahuluan-pendahuluan filsafi terkemudian. Akibat pandangan ini dapat
diilustrasikan pada kontribusi kandungan-kandungan isinya pada salah satu
risalah yang paling masyhur dalam bukunya yang berjudul Mawaqif buah pena
Al-Iji (meninggal 1355 Masehi). Lalu didapati pula komentarnya yang ditulis
oleh Al-Jurjani (meninggal 1413 Masehi) yang terdiri dari 4 jilid besar- besar
dari masing-masing jilidnya. Bagian karyanya dibagi sebagai berikut: obyek dan
metodologi Ilmu Kalam; wujud dan non-wujud (makhluk dan bukan makhluk), wujud
yang mungkin dan wujud yang wajib, sebab dan akibat, dan lain-lain; aksiden,
kualitas, kuantitas, hubungan-hubungan, dan lain- lain; substansi, tubuh,
jasmani, jiwa, ruh; makhluk, unitas, sifat dan perbuatan mutlak Tuhan; kenabian;
alam akhirat dan materi-materi "tradisional" yang lain.
Beberapa
risalah yang lain yang hampir mirip adalah yang diuraikan oleh Louis Gardet dan
Pere Anawati dalam pengenalannya terhadap teologi Islam. Terhadap contoh-contoh
karya tersebut, timbul masalah penting: apakah benar penolakan kepada falasifah
itu sebagai penolakan paripurna terhadap pemikiran Yunani oleh para ulama
Kalam? Ataukah kita tidak boleh mengatakan bahwa mereka sebenarnya mengakui
pemikiran Yunani dan mengadaptasikan dengan kebutuhan-kebutuhannya sendiri?
Di
pihak lain, Islam di barat abad kedua puluh ini dapat melahirkan falasifah Arab
terbesar, Ibnu Rushd atau Averroes (meninggal 1198 Masehi). Ibnu Rushd ini
adalah seorang ahli hukum Islam terpelajar dan sebagian besar hidupnya diabdikannya
sebagai seorang hakim. Akan tetapi, Ibnu Rushd juga adalah seorang yang amat
mendalami ilmu-ilmu pengetahuan Yunani. Ibnu Rushd terutama mempelajari karya
pemikiran Aristotle dan komentar-komentar atas sebagian karya-karya Aristotle.
Ibnu Rushd juga mengoreksi beberapa kesalahan interpretasi Neoplatonik di
antara para filsuf belakangan. Dia juga menulis penolakannya kepada buku
Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah yang ditanggapi oleh Ibnu Rushd
dalam bukunya Tahafut al- Tahafut. Selain kemasyhurannya, Ibnu Rushd tidak
mempunyai pengganti-penggantinya dalam Islam di barat dan secara tegas
sedemikian dikenal di timur. Sekalipun Ibnu Rushd ini adalah seorang hakim, dia
mendapat tekanan dari para ulama ahli Hadits pada masa hidupnya. Barangkali
prestasi paling besar yang pernah dicapainya adalah pengenalan kembali
pemikiran Aristotle yang asli ke bangsa Eropa barat.
2.
Faktor-faktor Historis pendorong lahirnya
pemikiran filsafat islam
Lahirnya
filsafat sejarah, menurut peneliti modern, karena kecenderungan manusia yang
terkenal sebagai “hewan sejarah”. Manusia, sejak zaman kuno tidak
henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang ada dan terjadi disekitarnya.
Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang bisa menguraikan
geraknya- dari segi faktor-faktor yang membangkitkannya dan dari akibat-akibat
yang dihasilkannya. Sebatas pengalaman yang dimiliki. Rasa ingin tahu dan
kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia, merupakan musabab lahirnya
filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi,
dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada
pemahaman dan pengkajian peristiwa secara filosofis.
Sebagai akibat dari penaklukan-penaklukan awal dalam Islam,
terutama penaklukan atas Iraq, umat Islam sejak pertengahan abad ke delapan,
adalah adanya kontak dengan tradisi pemikiran Yunani. Di Iraq ada
sekolah-sekolah Kristen atau perguruan-perguruan tinggi Kristen.
Lembaga-lembaga pendidikan ini menggunakan bahasa Syria sebagai bahasa
pengantar belajar, disana dipelajari ilmu kedokteran, filsafat Yunani, dan
ilmu-ilmu pengetahuan Yunani yang lain. Para penguasa dan raja Islam, segera
tertarik dengan ilmu kedokteran Yunani dan terutama ilmu astronomi, yang
berguna untuk menentukan arah kota Mekah yang harus dihadapi ketika mendirikan
ibadah salat. Sampai tahun 870 Masehi, ahli fisika pada masa kekhalifahan Bani
Abbasiah adalah orang yang beragama Kristen.
Di awal abad ke sembilan, khalifah Al-Ma'mun mendirikan
laboratorium dan pusat penterjemahan buku-buku Yunani, dan pada gilirannya
buku-buku dari delapan puluh penulis Yunani itu sudah tersedia dalam sajian
bahasa Arab. Satu atau dua dekade terdahulu, sebagian kecil ahli teologi Islam
tertarik kepada konsep-konsep filsafat Yunani dan konsep-konsep ilmiah Yunani.
Para ahli ilmu Kalam ini pada gilirannya mulai menggunakan konsep-konsep
filsafat maupun ilmiah Yunani dalam argumennya menentang para pemeluk kepercayaan
non-muslim yang lain, dan menentang umat Islam yang tidak setuju dengan
pendapat yang mereka kemukakan. Penggunaan konsepsi Yunani ini juga
memperlihatkan kegunaannya kepada murid-murid yang sekolah di lembaga-lembaga
pendidikan Kristen tadi, yang telah beragama Islam. Dua ahli ilmu Kalam
terdahulu yang tertarik kepada konsepi-konsepsi Yunani adalah Hisham Ibn Hakam
dan Dirar Ibn Amr, yang keduanya hidup kira-kira dari tahun 780 sampai 800
Masehi.[5]
D.
KESIMPULAN
Menurut
al-Ghazali, filsafat itu ada sesatnya namun ada pula benarnya. Selama tidak
bertentangan dengan akidah, maka fisika, logika, matematika, geometri yang
merupakan bagian dari ilmu filsafat, bisa diterima. Tapi, jika bertentangan
dengan akidah, seperti metafisika, dan unsur-unsur dalam fisika maupun
psikologi (saat itu psikologi bagian dari ilmu filsafat), maka bagian dari
filsafat tersebut harus ditolak. Al-Ghazali telah meletakkan filsafat pada
tempatnya.
Pengaruh
Ibnu Rusyd di Barat telah menyebabkan masyarakat Kristen meninggalkan agamanya.
Para pengikut Ibnu Rusyd (Averroisme) meraih kemajuan sains dan teknologi
dengan mengorbankan ajaran agamanya. Bagi Averroisme, akal berada di atas
Wahyu. Padahal dalam struktur epistemologi Islam, Wahyu adalah sumber
epistemologi yang utama. Al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah karena filsafat
-- ketika itu -- telah menggeser wahyu sebagai sumber epistemologi yang
utama. Al-Ghazali berusaha meletakkan filsafat pada tempatnya .
Daftar pustaka
2. Perdana
Ahmad, www.almanhaj.or.id
3. Ainu
Amri, www.alsofwah.or.id
4.
5. Irmayanti
Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI. hal. 1
Titik Temu Islam dan Kristen Persepsi dan Salah Persepsi William Pratama Jakarta
Percetakan
Radar Jaya
Jakarta Cetakan 1, 1996 Filsafat Sejarah dalam ISLAM” Drs. Misri A. Muchsin, MA
Pengantar FILSAFAT /Inu Kencana Syafiie. PT. Refika Aditya. 2004
Pengantar FILSAFAT /Inu Kencana Syafiie. PT. Refika Aditya. 2004
[2] Perdana Ahmad, www.almanhaj.or.id
[3] Ainu Amri, www.alsofwah.or.id
[5] Radar Jaya
Jakarta Cetakan 1, 1996 Filsafat Sejarah dalam ISLAM” Drs. Misri A. Muchsin, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar