Hikmah Hari Ini :

"Kaya yang Sebenarnya Adalah Ketenangan Jiwa"

Minggu, 11 November 2012

Bakso Cinta untuk Ainun


Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta semalam diguyur hujan. Sampai siang ini pun desa yang asri dan sejuk ini masih diwarnai mendung dan kabut tebal. Membuat langit tampak gelap meskipun waktu sudah menunjukan pukul satu siang. Jalanan becek, udara yang berhembus pun terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin itu pula yang membuat warung baksoku hari ini tampak sepi. Tumben sekali para pelanggan yang sebagian besar karyawan dan karyawati pabrik tempe di sebelah warungku itu belum memunculkan batang hidung mereka. Biasanya, selepas aku bergantian sholat Dzuhur dengan Pak’e, mereka sudah beramai-ramai menyerbu bakso racikanku yang cukup terkenal di desa Sriharjo ini. Namun, mengapa hari ini tampak sepi? Kemana mereka? Jujur saja, suasana seperti ini membuatku tak bersemangat dan bermalas-malasan. Duduk, berbaring dan melamun. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Kasihan Pak’e harus jadi korban kemalasanku. Dia mengelap meja dan mencuci peralatan sendirian. Tak tega ku melihatnya.

“Biarkan saja Pak’e. Nanti biar Amar yang mengerjakan itu..” kataku mencuri perhatian.
“Memangnya pekerjaan ini bisa selesai hanya dengan duduk dan melamun saja, Mar?” Ah, Pak’e, kata-katanya lembut tapi ada sindiran kuat disana. Sindiran tepat untuk orang yang malas-malasan sepertiku.
“Ya ndak sih, Pak. Tapi itu kan bisa dikerjakan nanti. Lagi pula pelanggan kita hari ini sepi..” Jawabku mencari alasan.
“Terus kalau pelanggan sepi, kita mesti malas-malasan, begitu? Ya ndak boleh lah..yang namanya semangat itu ndak kenal keadaan, Mar. Mau sepi mau ramai ya kita harus tetap semangat. Karena semangat itu bagian dari sabar, sedangkan sabar bagian dari iman..”
“Iya Pak’e, Amar paham..” Kalau diteruskan Pak’e bisa khotbah panjang lebar. Warung bakso berukuran lima kali enam meter ini bisa berubah menjadi forum pengajian.
“Oalah, anak jaman sekarang! Dinasehati orang tua jawabannya paham-paham saja..”
“Hehe...”

“Assalamu’alaikum, Kang Amar. Baksonya dong dua mangkuk ya, yang satu ndak pake sayur dan sambalnya yang banyak ya, Kang. Yang satu lagi campur tapi ndak pakai sambal..” Suara Siti, salah satu karyawati di pabrik tempe itu tiba-tiba menyambar dari pintu belakang.
“Masya Allah, Siti. Bisa ndak si sampean[1] lebih kalem sedikit. Kalau jantung saya copot, gimana?
“Hehe, ya maap Kang. Namanya juga perut udah keroncongan. Ya udah ya, Kang. Ditunggu. Cepetan ndak pake lama..”
“Dasar gendut ! ngomong pelan-pelan juga dengar. Ndak perlu teriak-teriak…”
“Huss, Amar. Ndak baik ngrasani[2] orang seperti itu. Apalagi dia kan pelanggan setia kita yang seharusnya kita perlakukan istimewa. Sana, cepat kamu siapkan pesanan mereka !”
Inggih pak, inggih[3]..”

Sembari menyiapkan bakso, sesekali kualihkan pandanganku ke arah meja makan. Ada dua gadis berjilbab khas karyawati pabrik tempe disana. Yang satu sudah sangat aku kenal, namanya Siti, gadis berbadan bongsor, suaranya lantang, dan humoris. Tapi, siapa gadis yang duduk di sebelahnya itu? Sepertinya baru kali ini aku melihatnya? Pasti dia karyawati baru di pabrik tempe itu.
“Mar. Sedang apa kamu? Tangannya kemana, matanya kemana..?!” tiba-tiba Pak’e menjawil tanganku.
“Eh, Pak’e. Bikin kaget saja. Itu lhoh, Pak. Sepertinya ada karyawati baru…”
“Memangnya kenapa kalau ada karyawati baru..?”
“Ya, mau Amar ajak kenalan. Hehe..”
“Heh, ndak usah macam-macam kamu, Mar. Sana antar pesanannya..”

“Sit, teman-teman yang lain mana? Kok ndak ikut ke  warung?” Tanyaku pada Siti, sambil meletakan dua mangkuk bakso ke meja makan.
“Mereka pada makan di kantin pabrik. Katanya malas, jalanan becek, dingin lagi. Aku juga sebenarnya malas, Kang. Tapi karna si Ainun memaksaku kesini, ya akhirnya aku kesini. Katanya dia penasaran sama bakso favorit buatan kang Amar.. oh iya, Kang. Kenalin nih karyawati baru, namanya Ainun. Dia baru datang dari Sukabumi seminggu yang lalu dan disini dia tinggal sama bibinya di Desa Karang Tengah.”
“Oh iya, namaku Amar, dan itu bapakku.” Gadis itu menelungkupkan tangannya di depan dada. Pak’e menyalami karyawati baru itu, “Selamat datang di warung bakso kami ya, Nak.!”. Sekilas dia melayangkan senyum, ada lesung di pipi kanannya. Bulu matanya yang lentik pun ikut mengerjap-ngerjap. Sayangnya, dia hanya tersenyum dengan  Pak’e, tidak dengan aku.
“Mar, sini sebentar, Le..” tiba-tiba Pak’e memanggilku.
“Yo wis, monggo dinikmati baksonya..!” Kataku mempersilahkan.

Aku membalikan badanku ke dapur. “Wonten nopo tho[4], Pak? Wong Amar pingin ngobrol sebentar sama karyawati baru itu”.
“Ngapain tho ngobrol-ngobrol segala, memangnya ndak ada kerjaan apa? Tuh, kamu lanjutkan nyuci piringnya, Pak’e mau ke toko material sebentar…”
“Oh, nggih Pak. Hati-hati..”.
Sambil mencuci piring, kupandangi gadis itu dari balik sekat kaca yang sudah memburam. Namanya Ainun, nama yang unik, seunik orangnya. Dia manis tapi tidak murah senyum, dia berjilbab tapi tidak lembut,  aneh. Itu yang membuatku penasaran ingin tahu bagaimana sifat aslinya yang sebenarnya. Tiba-tiba, Ainun tersedak dan ingin memuntahkan isi mulutnya. “Kenapa sampean, Nun?” Tanya Siti panik. Cepat-cepat aku menghampiri mereka.

“Masya Allah, katanya ini teh bakso nu terkenal, nu favorit. Kok rasana te enak, asin pisan. Kumaha atuh, Kang?” Melihat tingkah dan ekspresi wajah Ainun, Siti terpingkal-pingkal menahan tawa. Sepertinya bakso yang kubuatkan terlalu asin, aku pun tak sengaja ikut menertawakannya.
“Ini teh kumaha,  pada ngetawain Ainun. Memangnya ada yang lucu? Kalau te percaya, Sok atuh cobian baksona? Kumaha menurut Akang?” Kata Ainun menyodorkan baksonya padaku.  Dengan ragu aku pun mencicipi bakso itu. Astaghfirullah, tak salah lagi. Aku kebanyakan memasukkan garam. Pasti karena sambil mengobrol dengan Pak’e tadi. “Maaf, Ainun. Aku benar-benar ndak sengaja. Aku lupa. Maaf ya..”
“Ooo.. Mentang-mentang abdi[5] teh orang baru disini, anjeun[6] bisa ngerjain abdi seenaknya??
“Sekali lagi maaf, Ainun. Tapi demi Allah ndak ada niat sedikitpun buat ngerjain sampean. Ini murni kelalaian saya..”
“Kalau begini caranya, abdi teu jadi makan. Ayo, Teh. Kita balik ke pabrik..”
“Aduh, ojo nesu ngono[7], Ainun. Aku yakin Kang Amar bukan orang kayak gitu, dia pasti ndak sengaja. Kita mangan maneh[8], yo!” Bujuk Siti.
“Udah nggak ada selera, Teh. Kalau Teteh masih mau makan ya mangga. Biar abdi ke pabrik sendiri wae.”
“Aduh, Neng. Jangan pergi dulu ya, biar Kang Amar buatin lagi baksonya..” Aku berusaha membujuknya tapi dia tetap melenggang meninggalkan warung, mau tidak mau Siti pun mengikuti langkahnya. “Piye to, Kang. Kok bisa-bisanya garamnya kebanyakan. Pasti ngelamun yo, sampean?. Hmm, payah!” kata Siti sambil meninggalkan uang sepuluh ribu di meja makan.

Aku menghela nafas panjang. Malu rasanya mengingat kejadian tak terduga ini. Padahal Pak’e selalu mengajariku untuk selalu memberi yang terbaik kepada setiap pelanggan, dan tidak lupa mengutamakan kualitas. Tapi perbuatanku hari ini justru merusak reputasi baksoku yang selama ini sudah dikenal orang. Aku sudah mengecewakan Ainun, pelanggan baru yang membuatku salah tingkah. Mungkin dengan kejadian ini, aku tak bisa lagi melihatnya singgah diwarung ini untuk yang kedua kali.

Hari telah berganti. Mengganti mendung dengan hari yang lebih cerah. Alhamdulillah, hari ini pelanggan mulai ramai seperti biasanya, bahkan dengan jumlah yang lebih banyak. Dan tak seperti dugaanku, gadis Sukabumi yang aku kecewakan kemarin, ternyata muncul lagi. Semoga dia sudah memaafkanku. Setidaknya peristiwa kemarin bisa menjadi pelajaran bagiku. Semua pekerjaan harus dikerjakan dengan fokus dan hati-hati, tidak dengan mengikuti hawa nafsu sesaat yang ternyata  menghancurkan apa yang selalu aku jaga selama ini. Dan hari ini aku akan meminta maaf lagi pada Ainun, aku ingin meyakinkannya bahwa aku memang tidak sengaja memasukan garam terlalu banyak ke baksonya kemarin.

“Ini baksonya, Neng…” kataku sambil meletakan bakso di depan Ainun.
Ndak pake ngelamun lagi kan , Kang? Awas saja kalau sampai teman baru kita ini kabur gara-gara baksonya keasinan. Hihihi...” Ujar Siti dengan guyonan khasnya, disambut riuh dan cekikikan para karyawati lain yang mungkin sudah mendengar cerita yang cukup memalukan itu. Ainun memasang wajah cemberut. Ia memandangku dengan tatapan sinis.
 Piye kabare, Neng? Aku pikir sampean kapok datang kesini..” Tanyaku pada Ainun, mencoba bersikap biasa padanya.
Tenanaon[9], Kang. Namanya juga manusia, yang penting teh Akang janji nggak ngulangin lagi..”  jawab Ainun tanpa ada senyum mendarat di wajahnya.
“Tapi sampean percaya kan kalau aku ndak sengaja nglakuin itu..?” Dia hanya mengangkat bahu.
“Nih, Kang, ada martabak tempe bikinin Ainun. Anggap aja ini teh tanda maaf Ainun karena kemarin langsung pergi gitu aja.” Ujarnya lagi sambil mengulungkan bungkusan plastik warna merah. Tak disangka, biarpun wajahnya sinis, tapi nyatanya dia gadis yang baik. Padahal aku sudah mengecewakannya, tapi dia balas dengan martabak tempe buatannya ini. Tak henti-hentinya aku berterimakasih.

Aku buka bungkusan itu dan aku nikmati isinya bersama Pak’e. Martabak tempe yang gurih. Sampai-sampai gurihnya meresap ke dalam hati.
“Tempe saja iso disulap dadi martabak, kreatif juga gadis itu ya, Le. Kayak almarhumah Bu’e yang pintar berkreasi kalau soal makanan.” Komentar Pak’e sambil terus mengunyah martabak. Benar juga, kehadiran Ainun mengingatkanku pada sosok Bu’e, hanya saja Bu’e lebih lembut daripada Ainun. Aku jadi tergelitik ingin mengenal Ainun lebih dekat dan membuatnya lebih lembut. Ya, Allah. Apa aku boleh berharap seperti itu.
“Kenapa, kok malah ngelamun?” Tanya Pak’e lagi.
“Eh ndak, Pak. Emm anu, ingat Bu’e, Pak’e..”
“Ayo, ingat Bu’e apa ingat Ainun?”
Hehe, Pak’e bisa saja menebak pikiranku.

Hari-hari terus berlalu, seiring dengan bertalunya sang waktu yang terasa berjalan singkat. Tanpa terasa, lama sudah ku kenali sosok Ainun yang kini bisa kutemui setiap hari. Meski belum genap setahun aku mengenalnya, rasanya sudah cukup membuatku paham, dibalik sikap dinginnya, ia mempunyai hati yang lembut dan penuh kasih sayang. Sampai-sampai ia menyarankanku agar model baksoku yang umumnya berbentuk bulat itu diganti dengan bentuk hati yang bisa mem. Namanya pun ia ubah menjadi Bakso Cinta Kang Amar. Menurutnya, apa salahnya berinovasi dari sebuah karya seni yang belum diwujudkan. Jadi, bakso cinta ini tidak hanya ada di sebuah novel, tapi bisa dinikmati didunia nyata, ya di warung baksoku sekarang ini. Tak hanya itu, warungku pun ia design sedemikian rupa hingga menguatkan karakter cinta. Dari warna cat, hiasan dinding, sampai di beberapa sudut warung ia tanami bunga-bunga yang indah, karena menurutnya, cinta dan bunga hampir selalu identik dengan kebahagian dan hampir semua orang menyukai keduanya. Idenya memang cemerlang, tak heran jika kemudian warung baksoku semakin terkenal sampai pelosok desa di seluruh kecamatan Imogiri ini.

Diam-diam ku memikirkannya. Ada perasaan kuat yang tertahan disini, walau aku tahu tak semestinya kubiarkan perasaan ini bersemayam. Apakah ini yang disebut jatuh cinta, ya Allah? Apa aku jatuh cinta pada Ainun?? Ya. Selama ini, aku memang tak pernah bisa mengutarakan perasaan ini, aku menunggu saat yang tepat untuk aku bisa mengkhitbahnya. Tapi tak bisa ku berpungkir, jiwaku resah, pikiranku melayang-layang ketika hati ini kehilangan bayangan dirinya.

Siti dan karyawan yang lain sudah memadati warung, tapi mataku tak menemukan Ainun di tengah-tengah mereka. “Kemana dia?” Tanyaku pada Siti.
“Hari ini dia udah mulai cuti, Kang”
“Cuti? Memangnya mau kemana?”
“Lho, memangnya Kang Amar ndak dikasih tahu. Dia kan pulang kampung, dia mau walimahan..”
Masya Allah, dia menikah? Apa aku tak salah dengar? Ini tak mungkin. Kenapa dia tak pernah cerita kalau dia akan menikah dengan orang lain. Kenapa dia biarkan aku jatuh cinta lalu pergi meninggalkan rasa ini? Sakit betul rasanya mendengar kenyataan ini.
“Kenapa sampean, Kang?”
“Dia menikah sama siapa, Sit?”
“Emm, katanya sama orang Sukabumi juga, Kang”
“Dia ndak pesan apa-apa sama kamu?”
Ndak sih, Kang. Tapi kemarin dia sempat nanya gini, menurutmu kalau ada dua orang yang mencintai kamu, tapi yang satu serius dan berani mengungkapkannya, sedangkan yang satu lagi hanya bisa memendam di hatinya, kamu akan pilih yang mana? Ya aku jawab saja, jelas aku akan pilih orang yang serius dan jujur mengungkapkan perasaannya. Apa lagi orang itu juga siap menikahiku.. Sampean setuju ndak sama jawabanku?”
“Ya, aku setuju…” Itu jawaban bagi orang yang tidak tahu perasaanku. Jelas saja dia memilih laki-laki itu. Memangnya aku bisa apa? Jangankan melamarnya, mengutarakan perasaan ini saja aku tak mampu. Aku melengos meninggalkan Siti. Dia terheran-heran, memanggilku beberapa kali. Aku tak peduli.

Kupandangi bunga-bunga yang mewarnai pojok-pojok warungku. Bunga-bunga ini selalu mengingatkanku pada wajah Ainun yang bercahaya dan menyemangati. Tapi, sekarang justru aku kehilangan semangat ketika kusadar, tak bisa kumiliki Ainun selamanya. Aku sadar, cinta memang bukan segalanya, tapi kehilangan cinta seperti kehilangan segalanya. Kini dia telah memilih jalan hidupnya sendiri tanpa peduli akan perasaan yang dia tinggalkan disini. Ah, mengingat wajahnya sama saja melukai perasaanku. Mungkin akan lebih baik jika aku perpaling dan melupakannya, terpaksa ku pindahkan  bunga-bunga ini kebelakang agar bayang-bayangnya bisa hilang dari pandanganku.

“Kenapa sama bunga-bunga itu, Mar. Kok dipindah ke belakang?”
“Biar Amar bisa lupain Ainun, Pak’e..”
“Wah, Jangan-jangan kamu menyukai Ainun, ya?”
“Kenapa Pak’e tiba-tiba nanya begitu?”
“Ya, Pak’e tahu dari sikap kamu selama ini. Kalau memang iya, Pak’e siap melamarnya untuk kamu, Mar”
Ya, Allah. Kenapa baru sekarang Pak’e berkata seperti itu ketika semua sudah terlambat.
“Belum juga dimulai, perasaan ini sudah harus diakhiri, Pak’e”
“Lhoh, memangnya kenapa?”
“Ainun sudah dilamar orang…” jawabku meratapi nasib cintaku.
“Wah, baru jatuh cinta sudah patah hati, kasihan sekali kamu, Mar. Hehe.. yo wis,  ikhlaskan saja, Mar. Yang namanya jodoh, rizki, dan kematian itu urusan Allah. Yang penting kita tetap ikhtiar, sabar, dan tawakkal. Ndak perlu sedih begini, Insya Allah kalau sudah saatnya, kamu pasti ketemu jodoh kamu, Mar.”

“Tapi Pak, Amar merasa ada sesuatu yang pergi. Amar ini manusia biasa, Amar juga bisa sedih, Pak’e..”
“Iya, Pak’e bisa mengerti perasaan kamu, Mar, karena dulu Pak’e juga kan pernah muda. Tapi ndak semestinya kita terpuruk seperti ini,  hanya karena apa yang kita harapkan ndak sejalan sama kenyataan. Yo wis, begini saja, Minggu pagi ba’da Shubuh kamu ikut kajian sama Pak’e ya, di masjid Al-Hijrah desa Karang Tengah, ada Ustad Khoirul Anam yang ceramah-ceramahnya insya Allah bisa mencerahkan, bagaimana?”
“Inggih, Pak’e. insya Allah nanti Amar ikut..”
“Nah, begitu. Ndak perlu sedih lagi, ikhlaskan saja ya..”
Aku mengangguk lemas.

Sabtu malam pun menjelang, aku dan Pak’e memutuskan untuk bermalam di masjid Al-Hijrah karena jarak antara desa Sriharjo dengan desa Karang Tengah cukup jauh. Adzan shubuh membangunkanku di Minggu pagi yang bersemilir. Dengan semangat yang belum sepenuhnya kembali, kudirikan sholat Shubuh berjama’ah dengan warga Karang Tengah. Usai sholat, semua jama’ah menempatkan diri untuk mengikuti kajian. Mayoritas jama’ahnya adalah  laki-laki, sedangkan jama’ah perempuan hanya ada tiga shaf, itu pun kebanyakan orang tua. Semalam aku berhayal bisa menemukan jodohku disini. Bahkan, andai saja  Ainun masih tinggal disini, pasti aku bisa menemuinya. Tapi setelah melihat keadaan ini, aku malu sendiri. Bukankah kedatanganku ke tempat ini mencari pencerahan dan ketenangan? Bukan mencari jodoh atau yang lainnya? Ya Allah, ampuni hamba yang lemah ini…

Pukul enam pagi kajian usai. Apa yang disampaikan Ustad Khaoirul Anam tadi cukup menyentuh, ketika ia bicara keikhlasan. Ya, ikhlas kini bukan sekadar menjadi teori, tapi praktik yang harus aku terapkan dengan sebenar-benarnya. Mengikhlaskan Ainun dan kembali menjalani hidup seperti dulu tanpa iringan langkah dan raut wajahnya yang tak murah senyum itu. Pak’e mengajakku keluar masjid, tiba-tiba beliau menarik tanganku dengan langkah yang lebih cepat. Matanya tertuju pada dua orang gadis berkerudung yang berjalan dari arah berlawanan. Sayup-sayup terlihat, Siti dan Ainun. Benarkah itu Ainun?

“Assalamu’alaikum..” salam Ainun.
“Wa’alaikum salam” jawab kami hampir bersamaan.
“Loh, ngapain sampean-sampean disini?” tanyaku sambil terus menata hati. Antara percaya dan tidak percaya aku bertemu Ainun di majlis ini.
“Yo kita ikut pengajian lah, Kang, masa iya kita shoping..” jawab Siti enteng.
“Eh si Eneng, kapan datang? Bukannya sampean di Sukabumi? Kamu pergi ndak pamit-pamit sih? Kami juga ndak diundang-undang? Eh ya, mana suamimu?”
“Oalah Mar, kalau nanya mbok ya satu-satu, si Ainun kan jadi bingung jawabnya” Ujar Pak’e menjawil tanganku.
“Eh, maaf ya, Neng. Hehe..”

“Ainun teu jadi nikah, Kang..” lirih Ainun
“Masya Allah, memangnya kenapa?” tanyaku amat penasaran.
“Ainun tertunduk, matanya seperti menahan butiran air yang tertahan dikelopak mata. Tampaknya ia tengah bersedih, mungkin pertanyaanku hanya akan menambah kesedihannya.
“Emm, yo wis, kalau sampean ada masalah ceritalah sama kami, Insya Allah kami akan jadi pendengar yang baik. Dan kalau sampean mau, kami tunggu di warung nanti siang. Bagaimana?”
“Baiklah, insya Allah nanti siang Ainun ke warung, nyak !” jawab Ainun dengan mata berbinar.
“Aku diajak ndak nih?” Selang Siti tak mau kalah.
“Iyo, pasti…” Jawabku dengan perasaan bahagia.

Waktu berjalan terasa semakin cepat. Tanpa ku sadari Allah baru saja menunjukan kekuasaan-Nya padaku, bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini. Semua bisa terjadi atas kehendak-Nya. Bahkan dengan cara yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Hari ini, Allah menyatukan kami dalam ikatan suci yang membuat hati kami semakin cinta pada-Nya. Semua orang turut berbahagia dalam haru. Pak’e dan Siti juga menitikkan air mata, air mata penuh kebahagiaan. Dan bakso cinta ini, kupersembahkan untuk Ainun seorang. Duh, aku bahagia ketika dia tersenyum. Terima kasih ya Allah atas anugerah cinta ini.



[1] kamu
[2] Mengolok-olok
[3] iya
[4] Ada apa
[5] Aku
[6] kamu
[7] Jangan marah
[8] Makan lagi
[9] Tidak apa-apa

Sabtu, 11 Agustus 2012

MENJAGA UKHUWAH ISLAMIYAH


"Sesungguhnya orang-orang mumin adalah bersaudara. Maka damaikanlah antara saudara kamu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat".

Ayat ke sepuluh surat al-Hujurat ini merupakan ayat yang paling populer untuk menganjurkan ukhuwah islamiyah. Setidaknya, ayat ini mengandung empat point di dalamnya. Pertama, penegasan bahwa seluruh umat Islam itu bersaudara dan penegasan adanya kesejajaran antara keimanan dan persaudaraan. Kedua, perintah untuk mendamaikan dua orang yang berselisih. Ketiga, perintah untuk bertakwa kepada Allah, menjaga pesan-pesan agama ketika terjebak dalam perselisihan dan keempat, berita tentang rahmat Allah yang disediakan khusus bagi mereka yang selalu menjaga nilai-nilai persaudaraan.

Nilai persaudaraan dalam Islam
Mantan rektor universitas al-Azhar Mesir, Dr. Abdul Halim Mahmud dalam bukunya, fiqh al-ukhuwaah fi al-Islam, mengutip pendapat imam Quthubi dan Ibnu Katsir, bahwa ukhuwah dalam ayat sepuluh surat al-Hujurat ini adalah persaudaraan seagama sesuai dengan sabda Nabi: "seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya". (HR. Bukhari)

Ketika Rasulullah dan para sahabatnya tiba di Medinah, langkah pertama yang dirintis Rasulullah adalah muakhah (mempersaudarakan) antara seorang anggota Muhajirin dengan seorang anggota Anshar. Sejarah mencatat betapa kuatnya persaudaraan yang terjalin di antara kedua golongan Muhajirin dan Anshar ini sampai terjadi tawaruts (saling mewarisi) bila satu di antara dua sahabat tersebut meninggal dunia. Tradisi tawaruts ini kemudian dihapus setelah turun ayat "Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin (QS al-Ahzab [33] : 6). Indahnya persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar ini juga diabadikan dalam al-Quran, "Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung. (QS al-Hasyr [59] : 9).

Ukhuwah dalam Islam menempati posisi yang sangat tinggi. Ia merupakan batu bata bagi tegaknya bangunan perjuangan Islam. Rasulullah selalu menekankan terjaganya nilai-nilai persaudaraan di hati para sahabat. Beliau bersabda: "janganlah kalian saling mendengki, saling membenci, saling memusuhi, dan jangan membeli barang yang sedang ditawar orang lain, hendaklah kalian menjadi hamba-hamba Allah yang saling bersaudara", (HR. Muslim)

Ketika ukhuwah Islamiyah tercederai
Minggu, 1 Juni 2008 adalah hari kelabu bagi umat Islam Indonesia. Hari itu –dan hari hari setelahnya-- berita utama di hampir semua media cetak dan media elektronik diisi berita penyerangan FPI terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB). Tak penting untuk menunjuk siapa yang benar dan siapa yang salah dalam tragedi ini, yang sangat penting adalah hadirnya perasaan pilu yang mendalam ketika kita menyaksikan saudara-saudara kita saling 'memakan' antara sesama. Lebih pilu lagi ketika setelah hari itu, kita menyaksikan betapa mendalamnya rasa benci, dendam dan permusuhan yang berkecamuk di antara para pemimpin dan pengikut kedua belah pihak.

Dalam segala hal, Indonesia adalah negara mejemuk yang penuh warna warni. Islam di Indonesia pun begitu banyak bingkainya, ada Islam tradisionalis, modernis, liberalis, fundamentalis, puritanis, revivalis, formalis, substantifistis dan lain-lain. Keberagaman ini, bila bersinergi akan menghasilkan hasil seindah hiasan mozaik. Islam juga akan perkasa bilamana setiap keragaman ini bekerja maksimal sesuai dengan jalurnya masing-masing. Namun yang terlihat ke permukaan adalah betapa kuatnya fanatisme golongan dan fanatisme terhadap pendapat dan pola pikir yang sudah tumbuh dan mengakar, yang menutupi rasionalitas al-Quran dan sabda Nabi (hadits) sebagai landasan agama dalam menghadapi perbedaan.

Mendamaikan saudara yang bertikai
Tak nyaman rasanya, bila ada dua saudara kita yang bertikai, dan kita berada di salah satu pihak, lantas kita tergugah atau menggugah orang lain menanam, menyiram memupuk dan menyuburkan benih-benih permusuhan terhadap pihak musuh. Tapi lebih jelek lagi ketika kita ada di luar dua pihak yang bertikai tadi lantas kita bertepuk tangan untuk menyemangati pertikaian itu. Tapi yang terbaik adalah melangkah untuk mendamaikan. Ayat sepuluh dari surat al-Hujurat ini, juga ayat sebelumnya (ayat 9) menegaskan perintah Allah agar kita, dengan cara apapun dan bagaimanapun bekerja untuk mendamaikan pertikaian, terlebih-lebih bila yang bertikai itu saudara-saudara kita sendiri. Minimalnya, kita sendiri tidak terjebak dalam posisi di mana kita membiarkan diri kita larut dalam perasaan membenci sesama.

Kalau dalam ayat ini Allah menjanjikan rahmat-Nya bagi siapapun yang menjaga ukhuwah Islamiyah, mendamaikan dua pihak yang bertikai, dan menjaga nilai-nilai ketakwaan ketika bertikai, maka dalam ayat yang lain Allah menjajikan pahala yang besar, yaitu surga, "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keredhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. (QS al-Nisa [4] :114)

Penutup
Cinta dan kasih sayang adalah benih yang ditanamkan Allah di hati sanubari manusia. Sedangkan benci, dendam dan sikap bermusuhan adalah benih yang terus ditanamkan setan di dada setiap manusia, "Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu" (QS al-Maidah [5] : 96). Maka, mari kita terus kobarkan ukhuwah Islamiyah di tengah keragaman yang ada, sehingga Islam senantiasa memperlihatkan keindahannya, seindah-indahnya. Wallahu A'lam.

Filsafat dan Kontroversi



A. PENDAHULUAN

FILSAFAT DAN KONTROVERSI

Kehidupan tak akan pernah lepas dari yang namanya filsafat, karena manusia sebagai makhluk yang berakal senantiasa berpikir. Manusia selalu menggunakan akalnya untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya. Filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yakni philosophia merupakan kata majemuk dari kata philos (kekasih, sahabat) dan sophia (kebijaksanaan, pengetahuan), sehingga filsafat dapat didefinisikan dengan mencintai kebijaksanaan, sahabat kebijaksanaan, atau mencintai pengetahuan(yang benar). Jadi seorang filosof selalu mencintai kebijaksanaan dan senantiasa cinta pengetahuan. Segala hal yang dihadapinya selalu dipecahkan dengan berfilsafat hingga mendapat jawaban yang sebenar-benarnya. Sedangkan secara terminologi filsafat mempunyai devinisi yang bervariasi. Setiap ilmuwan mendefinisikan dengan definisi berbeda, namun hakikatnya adalah sama. Poedjawijatna mengatakan bahwa filsafat adalah Ilmu yang mencari sebab sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Descartes mendefinisikannya sebagai himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan manusia.
Dalam arti sederhana, filsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya untuk mencari kebenaran atas suatu hal.
Filsafat berperan sebagai pendobrak, pembebas dan pembimbing. Dikatakan sebagai pendobrak karena mampu mendobrak pintu ke-mitos-an dan membawanya ke arah ke-logis-an. Tradisi mitos yang tadinya sakral dan stagnan menjadi dinamis bersamaan dengan hadirnya filsafat. Ia juga pembebas manusia dari kebodohan, ketidaktahuan, berfikir primitif, dan tidak kritis. Ia menjadikan manusia memfungsikan akal dan hati yang dianugerahkanNya secara optimal. Selain dua peran tersebut, filsafat juga dikenal sebagai pembimbing manusia. Karenanya manusia berpikir maju, dan menghasilkan produk luar biasa yang menjadi pondasi berbagai macam ilmu saat ini.[1]
Selanjutnya, Dr.Syamsuddin Arif. Dosen International Islamic University Malaysia (IIUM) menjelaskan bahwa filsafat itu disiplin ilmu dan bukan teknologi. Menurutnya, manusia tak bisa meletakkan filsafat di atas meja sebab filsafat ada dalam akal manusia itu sendiri. Beliau juga mengkritik sejumlah kalangan yang mengharamkan belajar filsafat dengan berpendapat bahwa kekhawatiran belajar filsafat yang dianggap dapat menyesatkan pikiran itu tidak didukung oleh fakta, sebab Ibnu Taimiyah dan Imam Ghazali adalah ahli filsafat.
 Filsafat Islam adalah sebuah keniscayaan dan termasuk tradisi intelektual Islam. Jika ditelusuri dan diteliti, para ulama telah lama mengembangkan tradisi filsafat islam antara abad ke-5 sampai abad ke-12 H. Berkat jasa para ulama ini, filsafat Islam berkembang pesat dan hingga kini jejaknya masih ada di Iran, India, Asia Tengah, dan Mesir.
Salah seorang ulama yang menggawangi filsafat Islam agar tidak kemasukan ajaran-ajaran sesat adalah Imam Al-Ghazali. Di abad ke-5 Hijriyah, Imam al-Ghazali melepaskan pukulan keras terhadap doktrin-doktrin filsuf dalam karyanya, Tahafut Al-Falasifah, dimana beliau menganggap kufur ajaran para filsuf dalam mengenai tiga hal; pertama, keyakinan mereka bahwa alam ini kekal; kedua, pernyataan mereka bahwa Tuhan tidak mengetahui perkara-perkara detail; dan ketiga, pengingkaran mereka terhadap kebangkitan jasad di hari kiamat.[2]
Namun, meskipun pertanyaan ketiga mampu dijawab oleh para filsuf Islam, menurut Dr.Syamsuddin Arif. Dosen International Islamic University Malaysia (IIUM)  ini ada banyak tantangan bagi perkembangan filsafat Islam, yang berasal dari internal maupun eksternal. Tantangan internal filsafat Islam antara lain gambaran keliru bahwa belajar filsafat itu sulit dan rumit, kesan umum bahwa belajar filsafat itu sia-sia karena tidak mendatangkan manfaat konkrit atau imbalan materi. Sedangkan secara eksternal antara lain intervensi dari paradigm orientalis yang menggunakan pendekatan historis-filologis belaka serta adanya stereotip bahwa berbicara filsafat berarti hanya berbicara pemikiran Al-Kindi hingga Ibnu Rusyd saja.[3]
Kendati termasuk bagian dari tradisi intelektual Islam, tidak sedikit yang antipati terhadap filsafat –bukan sebagai sikap mental, proses nalar dan kearifan, melainkan filsafat sebagai ‘barang impor’ yang mengandung unsur-unsur atheisme, sekularisme, relativisme, pluralisme, dan liberalisme. Filsafat dalam pengertian kedua inilah yang ditolak oleh para ulama Muslim, yaitu filsafat yang menggiring pelakunya kepada sikap anti-Tuhan dan anti-agama, mendewakan akal, melecehkan Nabi, dan sebagainya.[4]

B.     PERUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Pandangan Ulama  Terhadap Filsafat
2.      Faktor-faktor Historis apa saja yang menjadi pendorong lahirnya pemikiran filsafat islam

C.     PEMBAHASAN
1.    Filsafat dalam Pandangan Ulama
Salah seorang pendahulu yang terjun di bidang filsafat ini adalah Al-Kindi (800-868 Masehi). Al-Kindi adalah orang keturunan Arab asli, yang sayang sekali pemikiran-pemikirannya tidak banyak dikenal. Filsuf lain adalah orang berkebangsaan Persia, Abu Bakar Muhammad Ibn Zakariya Al-Razi (meninggal 923 Masehi/32 Hijrah). Al-Razi menulis bukunya yang berjudul The Spiritual Phisick yang telah diuraikan oleh penterjemah ke dalam bahasa Inggris, sebagai eksplorasi dari sikap 'hedonisme intelektual." Filsuf yang lebih penting lagi adalah Al-Farabi (875-950 Masehi). Al-Farabi ini membela apa yang dianggapnya sebagai standar pandangan Islam atas dasar Neoplatonik.
Posisi filsafatnya lebih lanjut didefinisikan kembali oleh Ibnu Sina atau Avicenna (meninggal 1037 Masehi). Ibnu Sina ini adalah salah seorang filsuf besar dunia. Walaupun karyanya dalam Falasifah-nya mempunyai tempat yang penting dalam sejarah umum filsafat, agaknya pemikiran falsafahnya berpengaruh kecil di dunia Islam pada zaman para filsuf muslim itu masih hidup. Standar para ulama Ahli Kalam di kalangan umat Islam kala itu tidak membahas pandangan para filsuf muslim tersebut, sebaliknya mereka malah sampai ada yang menolak pandangan mereka. Boleh dikatakan, karya-karya para filsuf muslim ini hanya baru-baru ini saja dimiliki di tengah para pengikutnya secara langsung.
Dalam buku berjudul Maqasid al-Falasifah ini Al-Ghazali menyatakan bahwa ada tiga pendapat para filsuf yang menjadikan mereka kafir dan tidak muslim lagi. Tiga pendapat para filsuf ini adalah penolakan mereka terhadap adanya kebangkitan jasmani karena yang ada hanyalah kebangkitan ruhani di akhirat nanti; pandangan bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal besar yang bersifat universal dan tidak mengetahui fenomena kejadian-kejadian alam yang kecil-kecil; dan pendirian bahwa alam ini kekal adanya karena berasal dari yang kekal abadi. Al-Ghazali juga tertarik kepada petunjuk yang luas sampai ke ilmu-ilmu falasifah, seperti Matematika, yang menurutnya para filsuf tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan bahkan dapat diakui kebenaran ilmu matematika ini. Secara khusus dia menuliskan pendahuluan buku-buku teksnya tentang logika Aristotelian, dengan contoh-contoh yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh para ulama Kalam dalam Islam.
Salah satu akibat dari karya Al-Ghazali ini adalah adanya beberapa risalah ilmu Kalam pada bagian-bagian yang ekstensif sifatnya berkenaan dengan pendahuluan-pendahuluan filsafi terkemudian. Akibat pandangan ini dapat diilustrasikan pada kontribusi kandungan-kandungan isinya pada salah satu risalah yang paling masyhur dalam bukunya yang berjudul Mawaqif buah pena Al-Iji (meninggal 1355 Masehi). Lalu didapati pula komentarnya yang ditulis oleh Al-Jurjani (meninggal 1413 Masehi) yang terdiri dari 4 jilid besar- besar dari masing-masing jilidnya. Bagian karyanya dibagi sebagai berikut: obyek dan metodologi Ilmu Kalam; wujud dan non-wujud (makhluk dan bukan makhluk), wujud yang mungkin dan wujud yang wajib, sebab dan akibat, dan lain-lain; aksiden, kualitas, kuantitas, hubungan-hubungan, dan lain- lain; substansi, tubuh, jasmani, jiwa, ruh; makhluk, unitas, sifat dan perbuatan mutlak Tuhan; kenabian; alam akhirat dan materi-materi "tradisional" yang lain.
Beberapa risalah yang lain yang hampir mirip adalah yang diuraikan oleh Louis Gardet dan Pere Anawati dalam pengenalannya terhadap teologi Islam. Terhadap contoh-contoh karya tersebut, timbul masalah penting: apakah benar penolakan kepada falasifah itu sebagai penolakan paripurna terhadap pemikiran Yunani oleh para ulama Kalam? Ataukah kita tidak boleh mengatakan bahwa mereka sebenarnya mengakui pemikiran Yunani dan mengadaptasikan dengan kebutuhan-kebutuhannya sendiri?
Di pihak lain, Islam di barat abad kedua puluh ini dapat melahirkan falasifah Arab terbesar, Ibnu Rushd atau Averroes (meninggal 1198 Masehi). Ibnu Rushd ini adalah seorang ahli hukum Islam terpelajar dan sebagian besar hidupnya diabdikannya sebagai seorang hakim. Akan tetapi, Ibnu Rushd juga adalah seorang yang amat mendalami ilmu-ilmu pengetahuan Yunani. Ibnu Rushd terutama mempelajari karya pemikiran Aristotle dan komentar-komentar atas sebagian karya-karya Aristotle. Ibnu Rushd juga mengoreksi beberapa kesalahan interpretasi Neoplatonik di antara para filsuf belakangan. Dia juga menulis penolakannya kepada buku Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah yang ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam bukunya Tahafut al- Tahafut. Selain kemasyhurannya, Ibnu Rushd tidak mempunyai pengganti-penggantinya dalam Islam di barat dan secara tegas sedemikian dikenal di timur. Sekalipun Ibnu Rushd ini adalah seorang hakim, dia mendapat tekanan dari para ulama ahli Hadits pada masa hidupnya. Barangkali prestasi paling besar yang pernah dicapainya adalah pengenalan kembali pemikiran Aristotle yang asli ke bangsa Eropa barat.

2.    Faktor-faktor Historis pendorong lahirnya pemikiran filsafat islam
Lahirnya filsafat sejarah, menurut peneliti modern, karena kecenderungan manusia yang terkenal sebagai “hewan sejarah”. Manusia, sejak zaman kuno tidak henti-hentinya mengamati peristiwa sejarah yang ada dan terjadi disekitarnya. Mereka juga merenungkan maknanya, mencari suatu hubungan yang bisa menguraikan geraknya- dari segi faktor-faktor yang membangkitkannya dan dari akibat-akibat yang dihasilkannya. Sebatas pengalaman yang dimiliki. Rasa ingin tahu dan kesadaran untuk mencari yang dimiliki manusia, merupakan musabab lahirnya filsafat sejarah. Keingintahuan manusia tentang peristiwa yang telah terjadi, dan tergerak pada bangsa, masyarakat atau individual tertentu, bermuara pada pemahaman dan pengkajian peristiwa secara filosofis.
Sebagai akibat dari penaklukan-penaklukan awal dalam Islam, terutama penaklukan atas Iraq, umat Islam sejak pertengahan abad ke delapan, adalah adanya kontak dengan tradisi pemikiran Yunani. Di Iraq ada sekolah-sekolah Kristen atau perguruan-perguruan tinggi Kristen. Lembaga-lembaga pendidikan ini menggunakan bahasa Syria sebagai bahasa pengantar belajar, disana dipelajari ilmu kedokteran, filsafat Yunani, dan ilmu-ilmu pengetahuan Yunani yang lain. Para penguasa dan raja Islam, segera tertarik dengan ilmu kedokteran Yunani dan terutama ilmu astronomi, yang berguna untuk menentukan arah kota Mekah yang harus dihadapi ketika mendirikan ibadah salat. Sampai tahun 870 Masehi, ahli fisika pada masa kekhalifahan Bani Abbasiah adalah orang yang beragama Kristen.
Di awal abad ke sembilan, khalifah Al-Ma'mun mendirikan laboratorium dan pusat penterjemahan buku-buku Yunani, dan pada gilirannya buku-buku dari delapan puluh penulis Yunani itu sudah tersedia dalam sajian bahasa Arab. Satu atau dua dekade terdahulu, sebagian kecil ahli teologi Islam tertarik kepada konsep-konsep filsafat Yunani dan konsep-konsep ilmiah Yunani. Para ahli ilmu Kalam ini pada gilirannya mulai menggunakan konsep-konsep filsafat maupun ilmiah Yunani dalam argumennya menentang para pemeluk kepercayaan non-muslim yang lain, dan menentang umat Islam yang tidak setuju dengan pendapat yang mereka kemukakan. Penggunaan konsepsi Yunani ini juga memperlihatkan kegunaannya kepada murid-murid yang sekolah di lembaga-lembaga pendidikan Kristen tadi, yang telah beragama Islam. Dua ahli ilmu Kalam terdahulu yang tertarik kepada konsepi-konsepsi Yunani adalah Hisham Ibn Hakam dan Dirar Ibn Amr, yang keduanya hidup kira-kira dari tahun 780 sampai 800 Masehi.[5]

D.          KESIMPULAN
Menurut al-Ghazali, filsafat itu ada sesatnya namun ada pula benarnya. Selama tidak bertentangan dengan akidah, maka fisika, logika, matematika, geometri yang merupakan bagian dari ilmu filsafat, bisa diterima. Tapi, jika bertentangan dengan akidah, seperti metafisika, dan unsur-unsur dalam fisika maupun psikologi (saat itu psikologi bagian dari ilmu filsafat), maka bagian dari filsafat tersebut harus ditolak. Al-Ghazali telah meletakkan filsafat pada tempatnya.  
Pengaruh Ibnu Rusyd di Barat telah menyebabkan masyarakat Kristen meninggalkan agamanya. Para pengikut Ibnu Rusyd (Averroisme) meraih kemajuan sains dan teknologi dengan mengorbankan ajaran agamanya. Bagi Averroisme, akal berada di atas Wahyu. Padahal dalam struktur epistemologi Islam, Wahyu adalah sumber epistemologi yang utama. Al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah karena filsafat -- ketika itu -- telah menggeser wahyu sebagai sumber epistemologi yang utama.  Al-Ghazali berusaha meletakkan filsafat pada tempatnya .

Daftar pustaka
2.       Perdana Ahmad, www.almanhaj.or.id
3.       Ainu Amri, www.alsofwah.or.id
4.       Syamsuddin Arif, http://www. insistnet.com
5.        Irmayanti Meliono, dkk. 2007. MPKT Modul 1. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI. hal. 1
Titik Temu Islam dan Kristen Persepsi dan Salah Persepsi William Pratama Jakarta Percetakan
Radar Jaya Jakarta Cetakan 1, 1996 Filsafat Sejarah dalam ISLAM” Drs. Misri A. Muchsin, MA
Pengantar FILSAFAT /Inu Kencana Syafiie. PT. Refika Aditya. 2004



[2] Perdana Ahmad, www.almanhaj.or.id

[4] Syamsuddin Arif, http://www. insistnet.com
[5] Radar Jaya Jakarta Cetakan 1, 1996 Filsafat Sejarah dalam ISLAM” Drs. Misri A. Muchsin, MA