Hikmah Hari Ini :

"Kaya yang Sebenarnya Adalah Ketenangan Jiwa"

Senin, 07 Mei 2012

Bintang Untuk Ibu

Terang bintang sinari malam..
Hilangkan kabut gelap yang bersemayam..
Hiasi indah pekatnya malam..
Tuk temani sepi sang rembulan..

Biarkan diri tenang dalam lelap..
Dan tenggelam dalam mimpi indah..
Terhapus semua kenangan dalam lelah..
Tertatih bahagia menyusup di hati..
Bahagia pun tak pernah berhenti..
Tuk pupuskan semua beban ini.. 

Pukul delapan malam, cuaca diluar masih terasa begitu bersahabat.  Seperti biasa, usai belajar bersama, aku dan Hawa beristirahat sejenak dengan duduk diteras depan. Kami selalu menikmati keindahan malam terlebih dahulu sebelum kami beranjak tidur. Sambil sesekali menguap, Hawa tampak tersenyum-senyum memandang kearah langit. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Namun, malam ini memang langit tampak begitu terang bersama hiasan jutaan bintang yang bertaburan. Mata kami benar-benar dimanjakan oleh keindahan panorama langit dimalam ini. Udara sejuk pun berhembus-hembusan membelai jilbab  kami silih berganti. Sejuk dan bersemilir…

“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam dan siang.” (Fushshilat: 37)
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (al-Anbiyaa: 33)
Subhanallah, ampunkanlah kami semua, Yaa Allah, para hamba-Mu yang kadang tak pandai mengambil I’tibar dan dan pelajaran serta bukti nyata dari seluruh bentuk ke-Mahabesaran dan Kuasa-Mu. Kami terlalu sibuk dengan urusan duniawi kami, hingga kami lalai dan menganggap ini semua terlalu biasa-biasa saja dimata kami.. Astaghfirullah ‘adziim..
Aku kembali melirik Hawa. Ia tampak semakin takjub dan tenggelam dalam keindahan lukisan malam ini. Matanya tak mau berkedip sejenak pun dari memandang bintang-bintang dan rembulan yang sama indahnya. Aku mendekati Hawa lalu mendekapnya erat-erat.

“Kita harus seperti bintang, Dek. Jangan seperti bulan.. !” bisikku kepada Hawa berusaha memecah kesunyian.

“Kenapa Mbak?” Hawa menyerngitkan dahi dan menatapku heran. “Bukankah cahaya bulan lebih terang dari pada bintang? Bintang hanya berkelip-kelip. Ukurannyapun kecil. Tapi bulan.. lihat tuh Mbak, bulat, besar, indah dan terang..” protes Hawa.

“Hmm, ya sekilas memang tampak begitu, tapi tahu tidak Dek? Sinar bulan itu bukanlah sinar yang datang dari bulan itu sendiri. Tapi dia mendapatkan sinar itu dari benda langit yang lain, yakni pantulan  sinar matahari yang dipantulkan ketika matahari bersinar di siang hari. Sedangkan bintang.. sinarnya itu adalah sinar yang terpancar dari dirinya sendri, bukan berasal dari sokongan benda langit lainnya..”
“Oya?? Berarti sebenarnya bintang itu lebih indah dari pada bulan ya Mbak !
“Iya.. tapi banyak diantara kita yang menganggapnya tidak demikian.”
“Apa kita bisa bersinar seperti bintang itu mbak?”
“Tentu dek. Kenapa tidak? Kita tentu bisa bersinar dari dalam diri kita sendiri seperti bintang itu.”
“Tapi mbak…...”
grngggggrrrrrnggnngg..
Belum sempat melanjutkan, tiba-tiba pertanyaan Hawa terpotong dengan sebuah suara yang terdengar begitu bising di telinga kami. Seseorang dengan bersepeda motor  Mega Pro, melintas dihadapan kami dan memarkirkan sepeda motornya dua meter dari teras tempat kami duduk. Setelah membuka helm dan mengunci motornya, laki-laki separuh baya itu menghampiri kami.
“Permisi Mbak, Maaf. Apa betul ini rumahnya Mbak Wardah Khoirunnisa?”
Aku terperanjat, laki-laki itu menyebut namaku. Ada apa gerangan? Gumamku dalam hati. Hawa yang tak kalah bingungnya pun hanya bisa bersembunyi di balik punggungku.
“Ya, ini saya sendiri orangnya. Ada apa ya pak?” Walaupun ragu dan cemas, aku berusaha menjawabnya dengan tetap berusaha tenang.
“Maaf sebelumnya Mbak, saya Rohmat dari Tangerang. Mungkin mbak memang belum pernah mengenal saya, tapi pasti mbak kenal ‘kan sama Pak Roni? Saya teman dekatnya yang ingin membantu menyampaikan amanatnya kepada mbak Nisa ini” katanya begitu serius.
Aku semakin terperanjat mendengar nama yang baru saja disebutkan. Nama itu memang tak asing lagi bagiku, namun entah kenapa mendengar nama itu membuat telingaku terasa sakit, terlebih hatiku. Begitu nyeri tiap kali nama itu disebutkan.
Setelah mempersilahkan duduk di kursi tamu, aku meminta Hawa untuk memanggil ibu sekaligus membuatkan air minum. Sejurus kemudian ibu datang dengan tergopoh-gopoh disusul dengan Hawa yang ditangannya membawa secangkir teh. Ibu duduk disampingku lalu menggegam tanganku erat-erat. Sepertinya beliau juga merasakan kekhawatiran dan kecemasan yang sama aku rasakan. Hawa masuk keruangan dan hanya bisa mengintip pembicaraan kami dari balik pintu. Setelah mempersilahkan minum, akhirnya ibu membuka pertanyaan.
“Maaf Pak, sebenarnya anda ini siapa, dari mana, dan ada perlu apa malam-malam begini kerumah kami?”
“Iya, tadi saya sempat memperkenalkan diri kepada mbak ini, bahwa nama saya Rohmat. Saya dari Tanggerang bermaksud ingin mengabari ibu sekeluarga bahwa pak Roni sedang sakit parah…..”
“Tunggu sebentar pak, Maaf saya potong, yang bapak maksud pak Roni itu siapa ya?” Tanya ibuku memotong kalimat pak Rohmat begitu mendengar nama pak Roni.
“Sebelumnya saya mohon maaf bu, karena kedatangan saya ada kaitannya dengan pak Roni.. tapi saya yakin ibu sekeluarga sangat mengenal pak Roni dan tak perlu saya jelaskan siapa dia. Saya hanya ingin menyampaikan amanat dari pak Roni yang sekarang sedang sakit bahwa dia ingin sekali bertemu dengan kedua putrinya. Wardah Khoirunnisa dan Hawa Sakinah.”
Mendengar penjelasan itu, aku tertunduk pilu dan segera menyadari bahwa yang sedang dibicarakan pak Rohmat ini adalah ayahku. Ya, pak Roni itulah ayahku. Orang yang selama ini kurindukan. Orang yang selama bertahun-tahun kuharapkan. Orang yang sekian lama kunantikan kedatangannya. Dan seorang ayah yang tak pernah ku tahui dimana rimbanya. Padahal kami sangat menginginkan kehadirannya sebagai seorang ayah yang menjadi panutan bagi keluarga. Kami merasa dahaga akan kasih sayangnya. Kami rindu akan teguran, nasihat, dan petuah-petuahnya. Dan sejatinya kami sangat membutuhkan kehadirannya sejak lima belas tahun yang lalu.. Namun, mengapa kini beliau hanya bisa mengabarkan kepada kami bahwa ia sakit dan mengharapkan kedatangan kami. Kemana saja dia selama ini ya Allah…
Mengenang semua ini, perasaanku begitu tersayat. Mataku panas, namun hatiku sudah basah oleh air mata. Aku hanya bisa menangis didalam hati teringat semua penderitaan yang telah kami lalui dulu. Betapa beratnya beban seorang ibu yang harus merawat dan membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran seorang suami di sisinya. Ibuku harus berjuang mati-matian dalam melakoni tugasnya mendidik, merawat, menjaga, dan membesarkan kami, anak-anaknya. Namun, disaat yang sama ia pun harus bekerja ekstra keras agar berhasil menghidupi dan menafkahi kami. Aku yakin, semua itu tidak mudah untuk ibu lalui. Dan bagi kami pula, sungguh bukan perkara gampang  melewati hari-hari tanpa iringan kaki sang ayah disaat kami mulai tumbuh dan berkembang.
Kabar ini sungguh membuat hatiku tak terbentuk lagi. Seperti luka lama yang sudah mengering dan perlahan sembuh, tiba-tiba disiram lagi dengan berliter-liter cairan spiritus. Perih, pedih, tak terperi lagi. Tapi, bagaimana dengan ibuku. Bagaimana perasaannya. Sehancur hati ini kah?? Atau bahkan biasa-biasa saja?? Ya.. Ia masih sanggup tersenyum dan tampak begitu tenang. Apakah hatinya setenang itu. Apakah luka itu telah sirna dan tak berbekas lagi..?
“Sakit apa dia pak?” Tanya ibuku.
“Dia terkena diabetes bu”
“Sekarang dirawat?”
“Tidak.. hanya beberapa hari saja dirawat. Sekarang hanya bisa terbaring dirumah karena kekurangan biaya. Apakah ibu mengizinkan putrid-putri ibu menjenguk ayahnya? Tanya pak Rohmat lagi.
Ibu menoleh kearahku dan bertanya, “kamu bersedia menjenguk ayahmu, Nis?” Pertanyaan ibu membuyarkan lamunanku. Namun aku hanya bisa terdiam, rasanya butuh waktu untuk menjawab pertanyaan itu. Tak mudah rasanya mendatangi orang yang sekian lama meninggalkan kami dalam kesia-sian, tiba-tiba memaksa kami kesana.
“Saya mengerti perasaanmu Nisa.. tapi tolonglah, jenguk ayahmu walau sebentar. Saya khawatir inilah saat-saat terakhir dia melihat anak-anak yang sudah lama ditinggalkannya. Barang kali kedatangan kalian akan menjadi obat bagi penyakitnya.. ” imbuh pak Rohmat berusaha membujuk.
Aku tetap diam. Tapi sungguh, hati ini ingin berontak. Kenapa dulu dia menyia-nyiakan kami ketika  masih merasa gagah dan kuat. Dan kenapa tanpa merasa berdosa dia menyuruh kami menemuinya ketika ia sudah tak lagi berdaya. Dimana perasaanmu ayah..??
Seharusnya ibukulah yang paling merasa sakit atas semua ini, tapi ibu sangat pandai menyembunyikan perasaan sakitnya dan selalu bisa mengerti perasaanku, hingga dia tahu apa yang mesti ia katakan. “Mohon maaf, pak. Insya Allah saya izinkan. Tapi sepertinya tidak bisa malam ini juga. Lagi pula malam sudah cukup larut. Mungkin besok atau lusa anak-anak saya akan kesana, insya Allah..”
“Baiklah, kalau begitu saya tinggalkan alamatnya, dan ini nomor telepon saya kalau ada apa-apa. Tapi, sekali lagi saya mohon, jenguklah dia. Karena sampai kapanpun dia tetap ayah dari anak-anak ibu. Iya kan Bu?” ibu hanya membalasnya dengan senyum dan mempersilahkannya pamit. Entah apa arti dari senyum itu…

“Allah telah menunjukan ke-Mahaadilan-Nya pada kita sayang…” Lirih ibu berusaha menenangkan hatiku. “Bersyukurlah karena Allah masih menyelamatkan kita dari kejamnya ujian yang pernah kita lalui. Jangan sekalipun kita menyesali apa-apa yang telah menimpa kita. Tapi kembalikan semuanya hanya kepada Allah. Karena akhirnya janji Allahpun datang disaat yang tepat… iya kan, Nisa?” Aku mengerti maksud ibu dan hanya bisa mengangguk pelan. Kata-kata itu begitu menyejukkan hati. Antara sedih dan bahagia pun mewarnai perasaanku. Perlahan hatiku lega melihat senyuman manis yang terbit dari wajah ibuku, Subhanallah…
Sebening tetesan embun, secerah cahaya mentari dan bintang..
Bila kutatap wajahmu, Ibu..
Ada kehangatan yang menyelusup lembut kedalam hatiku..

Kami masuk menemui Hawa. Kulihat wajahnya yang tadi cerah dan berbinar kini telah berubah menjadi kusut dan layu. Diatas kasur tipis tempat tidur kami satu-satunya, kami berpelukan, berusaha menguatkan satu sama lain.
“Besok kalian jenguk ayah ya !” pinta ibu sambil mengelus lembut kepala kami.
“Apa Bu, jenguk ayah? Nggak ! Hawa nggak mau. Dan tepatnya Hawa nggak sudi. memangnya selama ini Hawa punya ayah..?!” gerutu Hawa dengan nada tinggi.
“Sstt, ibu mohon nak, jangan pernah berkata seperti itu. Ibu tidak pernah mengajarkan kalian untuk durhaka kepada orang tua..”
“Apa ibu lupa, dia sudah meninggalkan kita bu, dia sudah menyakiti dan menyia-nyiakan kita. Dia nggak pantas dipanggil ayah. Pokoknya sampai kapanpun Hawa nggak sudi menjenguknya. Kalau kita sampai menjenguknya itu sama saja kita menjatuhkan harga diri kita sendiri..” rutuk Hawa semakin murka.
“Astaghfirullah, istighfar Hawa. Kamu tidak boleh mendurhakainya sekalipun dia telah menyakitimu. Sampai kapanpun dia tetaplah ayahmu yang wajib kamu hormati. Masalah dosa biarlah menjadi urusan ayahmu dengan Allah. Allah yang akan membalas dan memperhitungkannya. Kita sebagai manusia hanya bisa memaafkannya dan tak berhak menghukumnya. Sekarang lihatlah,dia sedang terbaring sakit. Tanyakan pada hati kecilmu, Nak..! Sampai hatikah kamu membiarkan orang yang membuatmu ada di dunia ini tergolek tak berdaya ? Mungkin Allah sedang mengganjar apa yang telah diperbuatnya.. jenguklah dia dengan ketulusan hatimu. Lakukanlah ini untuk Allah, dan untuk ibu. Kalian mau kan?! ” Kata-kata ibu seakan masuk dan merembes kedalam relung hatiku, menghancur leburkan semua dendam dan ego yang sempat bersemayam di dada ini. Terlebih Hawa. Seketika perasaannya mencair dan air matanya pecah dalam pelukkan ibu.
“Apa secepat itu ibu memaafkan kesalahan ayah?” ku paksakan diri ini untuk bertanya. Lagi-lagi ibu hanya tersenyum lalu menjawab dengan ringan. “ Hanya dengan memaafkan, luka-luka yang ada dihati ibu bisa sembuh..” Subhanallah. Bangganya aku miliki orang tua seperti ibu. Sampai kapanpun aku tak akan bairkan diri ini mengecewakannya.
“Baiklah bu, besok aku akan meminta izin kepada kepala sekolah dan langsung mencari alamat ayah..” kataku mencoba memantap-mantapkan hati. Hawa dengan muka kusutpun ikut mengangguk. Anggukan yang mungkin dipaksakan.
Keesokannya, setelah berhasil meminta izin kepada kepala sekolah tempat aku mengajar dan dengan meminta restu ibuku, aku dan adikku memberanikan diri mencari alamat ayahku yang kudapat dari pak Rohmat kemarin malam. Demi Engkau Ya Allah, dan karena ibuku, kulangkahkan kaki mungil ini tuk datangi rumah pak Roni. Orang yang sempat membuat hidup kami menderita, namun orang lain menyebutnya, dia ayahku. Semoga Engkau ridhoi derap langkah kami menuju kebaikan dan petunjuk-Mu Yaa Allah...Aamiin.
Pukul 13.00 WIB kami berangkat ke Tanggerang. Dengan menumpangi kopami 84, kulepaskan segala keraguan. Kususuri jalan-jalan yang akan menjadi saksi bisu pertemuanku dengan orang yang entah kurindukan ataukah orang yang kubenci. Kuberharap kini tibalah saatnya Allah tunjukan semua keadilan yang sejak dulu kuimpikan.
Disepanjang jalan, lamunanku melayang kemasa lima belas tahun yang silam. Ketika aku dan adikku melewati masa kecil tanpa kasih sayang dan perhatian seorang ayah. Bahkan melihat wajahnya pun kami tak pernah. Sampai-sampai tak jarang kami mendapat hinaan dan sebutan “anak haram” atau “anak yang tak punya Ayah” dari teman-teman sepermainan. Saat itu, dengan hati yang gaduh aku hanya bisa bertanya kepada ibu, “Anak haram apa sih Bu, apa benar kita gak punya ayah?” Nisa dan Hawa kecil masih sangat polos. ibu pun menjawab dengan mata berkaca-kaca, “Nisa sama Hawa itu anak ibu yang pintar. Kalian bukan anak haram. Kalian punya ayah seperti teman-teman. Tapi ayah sekarang sedang bekerja ditempat yang jauh. Jadi nggak bisa sering-sering pulang..” Hati kami pun kembali tentram mendengar jawaban itu, walaupun belakangan aku tahu, jawaban itu tak sepenuhnya benar. Ayah bukan pergi untuk bekerja menghidupi kami.
Sangat sakit memang hidup dimasa kecil tanpa hadirnya seorang ayah. Setiap tindakan dianggap salah sekalipun itu benar. Tak jarang Nisa kecil dimaki-maki karena tak ada yang membela tiap kali bertengkar dengan sesama teman yang memang usil. Bahkan aku pernah di fitnah dan menjadi kambing hitam oleh kenakalan teman-temanku. Sementara ibu-ibu mereka hanya mengolok-olok dan mencibir kami sambil berkata: “Jangan dekati anak-anak nakal itu, nanti ketularan..!” Ibu-ibu yang lain pun menimpali : “Pantas saja masih kecil mereka sudah jadi anak nakal, mereka kan nggak punya ayah!” Astaghfirullah, aku bukan anak nakal, aku nggak mau dipanggil anak nakal. Ya, Aku hanya bisa pasrah dan berusaha untuk tidak menangisi nasib ini. Dulu aku hanya berharap ayah akan segera pulang dan datang menjadi pembelaku.
Ketika aku dan adikku beranjak remaja, ayah datang tanpa disangka-sangka. Aku berharap dengan datangnya ayah masalah yang selama ini menghampiri kami akan segera sirna. Tapi nyatanya penderitaan kami tak berhenti sampai disitu. Sosok ayah yang selalu kami banggai, sebuah senyum dan dekapan kasih sayang yang tak henti-hentinya kami rindukan, serta sosok panutan yang dalam gambaran hati kecil kami ia adalah seorang ayah yang berhati lembut dan bermata teduh, ternyata tak kami dapati dalam dirinya. Dengan fisiknya yang tinggi besar, tulang kekar dan sekuat baja membuat ia seakan berkuasa menyakiti raga ibuku. Sungguh masih segar dalam ingatanku, bagaimana cara ia memperlakukan aku, adikku dan ibuku. Bahkan selama kami hidup bersama ayah, ibu tetap menjadi tulang punggung bagi keluarga. Ayah hanya menikmati pekerjaanya sebagai pengangguran yang terus menyakiti jiwa dan raga ibuku. Masyaa Allah, Sebuah perlakuan keji dan kasar yang tak mudah termaafkan.
Dari seluruh perlakuan kasarnya, ada satu peristiwa yang begitu menyakitkan bagi diriku dan tak mungkin aku lupakan sepanjang masa hidupku. Saat itu, untuk menambah penghasilan, selain menjahit, ibu juga bekerja sebagai tukang cuci yang hampir setiap malam ibu mencuci pakaian milik tetangga. Ketika mencuci, tiba-tiba ibu batuk dan mengeluarkan darah dari tenggorokannya. Ia kesakitan dan membutuhkan pertolongan. Namun, apa yang dilakukan ayah. Ia pergi meninggalkan kami dengan alasan “tak ada uang”. Padahal saat itu bukan uang yang kami permasalahkan. Tapi keselamatan ibulah yang sangat kami khawatirkan. Kami hanya butuh ayah membawa ibu kerumah sakit untuk segera ditolong. Namun, dengan angkuhnya ayah berkata kepada kami, “ Heh, dasar orang miskin, kerjaanya hanya sakit-sakitan saja. Nyusahin orang ! makanya Nisa, kamu nggak usah sekolah. Kerja saja. Cari uang yang banyak biar nggak nyusahin orang. Memang dasr miskin, selamnya pun tetap miskin !”
Glek, kami menelan ludah. Sesak betul rasanya dada kami. Kami hanya bisa tercengang melihat kepergian ayah yang meninggalkan setumpuk keperihan dan goresan luka yang memenuhi dada ini. Kami menangis. Apa salah kami ya Allah..!!

Mengenang kenangan pahit bersama ayah ini, membuat aku lupa bahwa aku akan menemuinya. Sudahlah, tiada cara lain untuk menyembuhkan luka ini selain kata maaf. Ya, memaafkan lebih susah dari pada meminta maaf. Tapi, bukankah memaafkan jauh lebih mulia dibanding meminta maaf?? Satu nasihat ibu yang kuingat hingga detik ini. “Kita patut bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya berupa ayah Roni. Mungkin jika Allah tidak mengirimkan ayah sepertinya, kita akan lalai dan enggan belajar tentang makna kehidupan ini. Kita patut berterimakasih padanya. Telah mengajarkan kita tentang pahitnya perjuangan, hingga kita mampu berhati-hati dalam setiap perbuatan dan akhirnya kita dapatkan kebahagiaan seperti saat ini dan semoga sampai saat nanti..”
Ya, kini aku dan keluarga sederhanaku telah hidup bahagia dalam naungan kasih sayang Allah. Rasanya, semua kepahitan hidup yang dulu kami alami telah dibayar lunas oleh Allah dengan kebahagiaan yang kami kecap saat ini. Dengan seizin Allah, aku bisa buktikan pada ayah, bahwa aku mampu sukses mengejar mimpi-mimpiku tanpa menyusahkan banyak orang. Bahkan bersatunya hati kami dalam menjaga ketaatan kepada Allah menjadi satu kebahagiaan yang tak bisa dibayar dengan apapun jua didunia ini.

Tepat pukul 16.00 WIB, aku sampai di Tanggerang. Dengan bertanya kepada salah seorang tukang ojeg, kami bisa dengan mudah menemukan alamat ayah. Didepan sebuah rumah tua, aku turun dari ojeg. Ku baca berulang-ulang dan kucocokkan alamat yang tertera disamping jendela. Tiba-tiba, pak Rohmat muncul dari dalam rumah itu. Ia mengajak aku dan adikku masuk. Disebuah sudut ruangan, tampak seorang laki-laki tua dan kurus tengah terbaring diatas dipan.
“Ron, lihat itu siapa yang datang..” bisik pak Rohmat tepat ditelingannya. Seketika aku dan adikku terkejut. “Masya Alalh, benarkah itu ayahku??” lirih kami, tak percaya..
 “Nis..saa, Haw..wa.. beb.. benarkah itu kalian, a..anakku???” sambut laki-laki itu dengan suara terbata karena lidanya yang seakan kelu.
Iya, tak salah lagi itu memang benar ayahku. Itu ayahku yang dulu gagah pekasa, kuat dan kekar. Itu ayahku yang dulu menyakiti ibu lalu meninggalkannya..
Iya.. itu ayahku..!!

Hatiku hancur. Tidak hanya remuk tapi sudah menjadi serpihan.  Betapa tak kuasa kusaksikan semua ini. Pedih, sungguh pedih melihat orang yang dirindukan kini menghadapi masa tuanya dalam keadaan tragis. Mataku pun serasa tak kuat lagi menahan bendungan air mata yang sebentar lagi tumpah. Namun, ku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Aku tak mau dia melihatku sebagai wanita cengeng dan lemah seperti dulu. Kini, antara rindu, iba, cinta dan dendam melebur menjadi satu didalam hati ini.
Keadaannya yang begitu memilukan, seakan membabat habis seluruh kebencian yang pernah singgah dihati kami. Sedikitpun aku tak bisa membencinya. Justru dengan penuh ketulusan, kupanjatkan doa untuknya, Robbighfirlii wali wali dayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo..” Ampunilah dosa ibu dan ayahku Yaa Allah..
“Kami sudah memaafkanmu, ayah. Semoga Allah memberikan ampunan dan hidayah-Nya padamu. Ohya, yah. Alhamdulillah, Nisa sudah bisa melanjutkan kuliah dengan keringat Nisa sendiri.  Bahkan Nisa sudah bisa membantu ibu menyekolahkan Hawa. Itu karena mimpi Nisa menjadi guru sudah terwujud. Semua itu berkat kemahabaikan Allah, dan mungkin berkat doa ayah disini untuk kami. Terima kasih ayah, sudah mengajarkan kami banyak hal sebagai bekal untuk menempuh perjalan kami yang masih cukup panjang. Oh, iya. Ini ada sedikit rezeki. Semoga bisa membantu ayah membeli obat…”
Tak terasa air mata ini mengalir begitu derasnya. Ada kebahagiaan yang dulu terpendam sekarang terkuak mengalir bersama aliran air mata ini. Kami berpelukan, tenggelam dalam keharuan luar biasa. Semua yang menyaksikan adegan pilu ini, pak Rohmat dan para tetangga ikut hanyut dan meneteskan air mata.
***



“Apakah kami masih bisa bersinar seperti bintang, Bu?” pertanyaan lirih Hawa membuatku tercengang. Tak percaya Hawa akan bertanya itu lagi.
“ Dengarkan ibu, Nak. Kalian adalah dua bintang yang selalu bersinar terang di hati ibu, yang cahayanya tak pernah redup. Ibu bangga pada kalian, anak-anak sholeh yang selalu menjaga dan merawat ibu dengan tulus. Kalian adalah anugerah dari Allah paling berharga yang pernah ibu miliki…” perlahan air mata itu tumpah. Air mata yang sudah sekian  lama dibendungnya, namun baru kali ini ibu tak kuasa menahan bendungan itu.
“Tahukah anak-anakku…” dalam tangis yang terdengar semakin pilu, ibu melanjutkan.. “ibu bisa bertahan sampai detik ini, itu karena Allah masih menitipkan kalian. Rasanya, tiada lagi yang lebih berharga dari kalian..”
Tesss, cairan bening meluncur dari mataku dan membasahi pipi ini. Betapa beruntungnya aku memiliki seorang ibu yang penuh kasih dan penyabar. Betapa bahagianya aku memiliki seorang ibu yang tegar dan pantang menyerah. Padahal aku tahu, beban yang selama ini ditanggungnya begitu berat dan pelik. Namun, ia jarang meneluhkakannya pada kami. Ia tak  ingin ada yang tahu deritanya. Ia selalu bisa menutupi kesedihan didepan kami, anak-anaknya. Tapi kali ini aku sungguh ingin mendengar tangisnya. Aku ingin sekali mendengar keluh kesah yang selama ini di simpannya dengan rapi.
Menangislah ibu, menangislah… Jika itu yang membuat lukamu sedikit terobati. Jangan takut kami akan menganggapmu lemah karena engkau menangis. Bagi kami, engkau tetaplah wanita tertangguh yang pernah kami miliki…”

Ibu menyeka air matanya  sambil berkata, “Semoga tangis ini menjadi tangis kebahagiaan. Kita harus bahagia karena Allah menyatukan kita..” perlahan wajah ibu mulai mengembangkan senyumnya kembali..
Terima kasih yaa Allah, Engkau telah anugerahi kami ibu yang berhati lembut namun kuat dibalik tubuhnya yang kurus. Beri kami kekuatan untuk selalu bisa merawat, menjaga dan membahagiakannya, yaa Allah..
Duhh, ibu. Kami akan berusaha menjadi yang terbaik untukmu dimata Allah. Dan kami akan berjuang agar terus bersinar. Seterang bintang untukmu, ibu..

Yuk, sambil kita mengingat kasih sayang ibu, kita bernyanyi-nyanyi kecil lagu ini..!

Kubuka album biru Penuh debu dan usang Ku pandangi semua gambar diri Kecil bersih belum ternoda Pikirkupun melayang Dahulu penuh kasih Teringat semua cerita orang Tentang riwayatku Kata mereka diriku slalu dimanja Kata mereka diriku slalu dtimang Nada nada yang indah Slalu terurai darinya Tangisan nakal dari bibirku Takkan jadi deritanya Tangan halus dan suci Tlah mengangkat diri ini Jiwa raga dan seluruh hidup Rela dia berikan Oh bunda ada dan tiada dirimu Kan slalu ada di dalam hatiku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar