Hilangkan kabut gelap yang bersemayam..
Hiasi indah pekatnya malam..
Tuk temani sepi sang rembulan..
Biarkan diri tenang dalam lelap..
Dan tenggelam dalam mimpi indah..
Terhapus semua kenangan dalam lelah..
Tertatih bahagia menyusup di hati..
Bahagia pun tak pernah berhenti..
Tuk pupuskan semua beban ini..
Pukul delapan malam, cuaca
diluar masih terasa begitu bersahabat.
Seperti biasa, usai belajar bersama, aku dan Hawa beristirahat sejenak
dengan duduk diteras depan. Kami selalu menikmati keindahan malam terlebih
dahulu sebelum kami beranjak tidur. Sambil sesekali menguap, Hawa tampak
tersenyum-senyum memandang kearah langit. Entah apa yang sedang ia pikirkan.
Namun, malam ini memang langit tampak begitu terang bersama hiasan jutaan bintang
yang bertaburan. Mata kami benar-benar dimanjakan oleh keindahan panorama
langit dimalam ini. Udara sejuk pun berhembus-hembusan membelai jilbab kami silih berganti. Sejuk dan bersemilir…
“Dan sebagian dari tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah malam dan siang.” (Fushshilat: 37)
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (al-Anbiyaa: 33)
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya.” (al-Anbiyaa: 33)
Subhanallah, ampunkanlah kami semua,
Yaa Allah, para hamba-Mu yang kadang tak pandai mengambil I’tibar dan dan
pelajaran serta bukti nyata dari seluruh bentuk ke-Mahabesaran dan Kuasa-Mu. Kami
terlalu sibuk dengan urusan duniawi kami, hingga kami lalai dan menganggap ini
semua terlalu biasa-biasa saja dimata kami.. Astaghfirullah ‘adziim..
Aku kembali melirik Hawa. Ia
tampak semakin takjub dan tenggelam dalam keindahan lukisan malam ini. Matanya
tak mau berkedip sejenak pun dari memandang bintang-bintang dan rembulan yang
sama indahnya. Aku mendekati Hawa lalu mendekapnya erat-erat.
“Kita harus seperti bintang, Dek. Jangan seperti
bulan.. !” bisikku kepada Hawa berusaha memecah kesunyian.
“Kenapa Mbak?” Hawa menyerngitkan dahi dan
menatapku heran. “Bukankah cahaya bulan lebih terang dari pada bintang? Bintang
hanya berkelip-kelip. Ukurannyapun kecil. Tapi bulan.. lihat tuh Mbak, bulat,
besar, indah dan terang..” protes Hawa.
“Hmm, ya sekilas memang tampak begitu, tapi tahu
tidak Dek? Sinar bulan itu bukanlah sinar yang datang dari bulan itu sendiri.
Tapi dia mendapatkan sinar itu dari benda langit yang lain, yakni pantulan sinar matahari yang dipantulkan ketika
matahari bersinar di siang hari. Sedangkan bintang.. sinarnya itu adalah sinar
yang terpancar dari dirinya sendri, bukan berasal dari sokongan benda langit lainnya..”
“Oya?? Berarti sebenarnya bintang itu lebih
indah dari pada bulan ya Mbak !
“Iya.. tapi banyak diantara kita yang
menganggapnya tidak demikian.”
“Apa kita bisa bersinar seperti bintang itu
mbak?”
“Tentu dek. Kenapa tidak? Kita tentu bisa
bersinar dari dalam diri kita sendiri seperti bintang itu.”
“Tapi mbak…...”
grngggggrrrrrnggnngg..
Belum sempat melanjutkan,
tiba-tiba pertanyaan Hawa terpotong dengan sebuah suara yang terdengar begitu
bising di telinga kami. Seseorang dengan bersepeda motor Mega Pro, melintas dihadapan kami dan
memarkirkan sepeda motornya dua meter dari teras tempat kami duduk. Setelah
membuka helm dan mengunci motornya, laki-laki separuh baya itu menghampiri kami.
“Permisi Mbak, Maaf. Apa betul ini rumahnya Mbak
Wardah Khoirunnisa?”
Aku terperanjat, laki-laki itu menyebut namaku.
Ada apa gerangan? Gumamku dalam hati. Hawa yang tak kalah bingungnya pun hanya
bisa bersembunyi di balik punggungku.
“Ya, ini saya sendiri orangnya. Ada apa ya pak?”
Walaupun ragu dan cemas, aku berusaha menjawabnya dengan tetap berusaha tenang.
“Maaf sebelumnya Mbak, saya Rohmat dari
Tangerang. Mungkin mbak memang belum pernah mengenal saya, tapi pasti mbak
kenal ‘kan sama Pak Roni? Saya teman dekatnya yang ingin membantu menyampaikan
amanatnya kepada mbak Nisa ini” katanya begitu serius.
Aku semakin terperanjat
mendengar nama yang baru saja disebutkan. Nama itu memang tak asing lagi
bagiku, namun entah kenapa mendengar nama itu membuat telingaku terasa sakit,
terlebih hatiku. Begitu nyeri tiap kali nama itu disebutkan.
Setelah mempersilahkan duduk di
kursi tamu, aku meminta Hawa untuk memanggil ibu sekaligus membuatkan air minum.
Sejurus kemudian ibu datang dengan tergopoh-gopoh disusul dengan Hawa yang
ditangannya membawa secangkir teh. Ibu duduk disampingku lalu menggegam
tanganku erat-erat. Sepertinya beliau juga merasakan kekhawatiran dan kecemasan
yang sama aku rasakan. Hawa masuk keruangan dan hanya bisa mengintip
pembicaraan kami dari balik pintu. Setelah mempersilahkan minum, akhirnya ibu
membuka pertanyaan.
“Maaf Pak, sebenarnya anda ini
siapa, dari mana, dan ada perlu apa malam-malam begini kerumah kami?”
“Iya, tadi saya sempat
memperkenalkan diri kepada mbak ini, bahwa nama saya Rohmat. Saya dari
Tanggerang bermaksud ingin mengabari ibu sekeluarga bahwa pak Roni sedang sakit
parah…..”
“Tunggu sebentar pak, Maaf saya
potong, yang bapak maksud pak Roni itu siapa ya?” Tanya ibuku memotong kalimat
pak Rohmat begitu mendengar nama pak Roni.
“Sebelumnya saya mohon maaf bu,
karena kedatangan saya ada kaitannya dengan pak Roni.. tapi saya yakin ibu
sekeluarga sangat mengenal pak Roni dan tak perlu saya jelaskan siapa dia. Saya
hanya ingin menyampaikan amanat dari pak Roni yang sekarang sedang sakit bahwa
dia ingin sekali bertemu dengan kedua putrinya. Wardah Khoirunnisa dan Hawa
Sakinah.”
Mendengar penjelasan itu, aku tertunduk
pilu dan segera menyadari bahwa yang sedang dibicarakan pak Rohmat ini adalah
ayahku. Ya, pak Roni itulah ayahku. Orang yang selama ini kurindukan. Orang
yang selama bertahun-tahun kuharapkan. Orang yang sekian lama kunantikan
kedatangannya. Dan seorang ayah yang tak pernah ku tahui dimana rimbanya.
Padahal kami sangat menginginkan kehadirannya sebagai seorang ayah yang menjadi
panutan bagi keluarga. Kami merasa dahaga akan kasih sayangnya. Kami rindu akan
teguran, nasihat, dan petuah-petuahnya. Dan sejatinya kami sangat membutuhkan
kehadirannya sejak lima belas tahun yang lalu.. Namun, mengapa kini beliau
hanya bisa mengabarkan kepada kami bahwa ia sakit dan mengharapkan kedatangan
kami. Kemana saja dia selama ini ya Allah…
Mengenang semua ini, perasaanku
begitu tersayat. Mataku panas, namun hatiku sudah basah oleh air mata. Aku
hanya bisa menangis didalam hati teringat semua penderitaan yang telah kami
lalui dulu. Betapa beratnya beban seorang ibu yang harus merawat dan
membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran seorang suami di sisinya. Ibuku harus
berjuang mati-matian dalam melakoni tugasnya mendidik, merawat, menjaga, dan
membesarkan kami, anak-anaknya. Namun, disaat yang sama ia pun harus bekerja
ekstra keras agar berhasil menghidupi dan menafkahi kami. Aku yakin, semua itu
tidak mudah untuk ibu lalui. Dan bagi kami pula, sungguh bukan perkara gampang melewati hari-hari tanpa iringan kaki sang
ayah disaat kami mulai tumbuh dan berkembang.
Kabar ini sungguh membuat
hatiku tak terbentuk lagi. Seperti luka lama yang sudah mengering dan perlahan
sembuh, tiba-tiba disiram lagi dengan berliter-liter cairan spiritus. Perih,
pedih, tak terperi lagi. Tapi, bagaimana dengan ibuku. Bagaimana perasaannya.
Sehancur hati ini kah?? Atau bahkan biasa-biasa saja?? Ya.. Ia masih sanggup
tersenyum dan tampak begitu tenang. Apakah hatinya setenang itu. Apakah luka
itu telah sirna dan tak berbekas lagi..?
“Sakit apa dia pak?” Tanya ibuku.
“Dia terkena diabetes bu”
“Sekarang dirawat?”
“Tidak.. hanya beberapa hari
saja dirawat. Sekarang hanya bisa terbaring dirumah karena kekurangan biaya. Apakah
ibu mengizinkan putrid-putri ibu menjenguk ayahnya? Tanya pak Rohmat lagi.
Ibu menoleh kearahku dan
bertanya, “kamu bersedia menjenguk ayahmu, Nis?” Pertanyaan ibu membuyarkan
lamunanku. Namun aku hanya bisa terdiam, rasanya butuh waktu untuk menjawab
pertanyaan itu. Tak mudah rasanya mendatangi orang yang sekian lama
meninggalkan kami dalam kesia-sian, tiba-tiba memaksa kami kesana.
“Saya mengerti perasaanmu
Nisa.. tapi tolonglah, jenguk ayahmu walau sebentar. Saya khawatir inilah
saat-saat terakhir dia melihat anak-anak yang sudah lama ditinggalkannya. Barang
kali kedatangan kalian akan menjadi obat bagi penyakitnya.. ” imbuh pak Rohmat
berusaha membujuk.
Aku tetap diam. Tapi sungguh,
hati ini ingin berontak. Kenapa dulu dia menyia-nyiakan kami ketika masih merasa gagah dan kuat. Dan kenapa tanpa
merasa berdosa dia menyuruh kami menemuinya ketika ia sudah tak lagi berdaya. Dimana
perasaanmu ayah..??
Seharusnya ibukulah yang paling
merasa sakit atas semua ini, tapi ibu sangat pandai menyembunyikan perasaan
sakitnya dan selalu bisa mengerti perasaanku, hingga dia tahu apa yang mesti ia
katakan. “Mohon maaf, pak. Insya Allah saya izinkan. Tapi sepertinya tidak bisa
malam ini juga. Lagi pula malam sudah cukup larut. Mungkin besok atau lusa
anak-anak saya akan kesana, insya Allah..”
“Baiklah, kalau begitu saya tinggalkan
alamatnya, dan ini nomor telepon saya kalau ada apa-apa. Tapi, sekali lagi saya
mohon, jenguklah dia. Karena sampai kapanpun dia tetap ayah dari anak-anak ibu.
Iya kan Bu?” ibu hanya membalasnya dengan senyum dan mempersilahkannya pamit.
Entah apa arti dari senyum itu…
“Allah telah menunjukan
ke-Mahaadilan-Nya pada kita sayang…” Lirih ibu berusaha menenangkan hatiku. “Bersyukurlah
karena Allah masih menyelamatkan kita dari kejamnya ujian yang pernah kita
lalui. Jangan sekalipun kita menyesali apa-apa yang telah menimpa kita. Tapi
kembalikan semuanya hanya kepada Allah. Karena akhirnya janji Allahpun datang
disaat yang tepat… iya kan, Nisa?” Aku mengerti maksud ibu dan hanya bisa
mengangguk pelan. Kata-kata itu begitu menyejukkan hati. Antara sedih dan
bahagia pun mewarnai perasaanku. Perlahan hatiku lega melihat senyuman manis yang
terbit dari wajah ibuku, Subhanallah…
Sebening
tetesan embun, secerah cahaya mentari dan bintang..
Bila
kutatap wajahmu, Ibu..
Ada
kehangatan yang menyelusup lembut kedalam hatiku..
Kami masuk menemui Hawa. Kulihat wajahnya
yang tadi cerah dan berbinar kini telah berubah menjadi kusut dan layu. Diatas
kasur tipis tempat tidur kami satu-satunya, kami berpelukan, berusaha
menguatkan satu sama lain.
“Besok kalian jenguk ayah ya !” pinta ibu
sambil mengelus lembut kepala kami.
“Apa Bu, jenguk ayah? Nggak ! Hawa nggak
mau. Dan tepatnya Hawa nggak sudi. memangnya selama ini Hawa punya ayah..?!”
gerutu Hawa dengan nada tinggi.
“Sstt, ibu mohon nak, jangan pernah
berkata seperti itu. Ibu tidak pernah mengajarkan kalian untuk durhaka kepada
orang tua..”
“Apa ibu lupa, dia sudah meninggalkan
kita bu, dia sudah menyakiti dan menyia-nyiakan kita. Dia nggak pantas
dipanggil ayah. Pokoknya sampai kapanpun Hawa nggak sudi menjenguknya. Kalau
kita sampai menjenguknya itu sama saja kita menjatuhkan harga diri kita sendiri..”
rutuk Hawa semakin murka.
“Astaghfirullah, istighfar Hawa. Kamu
tidak boleh mendurhakainya sekalipun dia telah menyakitimu. Sampai kapanpun dia
tetaplah ayahmu yang wajib kamu hormati. Masalah dosa biarlah menjadi urusan
ayahmu dengan Allah. Allah yang akan membalas dan memperhitungkannya. Kita sebagai
manusia hanya bisa memaafkannya dan tak berhak menghukumnya. Sekarang
lihatlah,dia sedang terbaring sakit. Tanyakan pada hati kecilmu, Nak..! Sampai
hatikah kamu membiarkan orang yang membuatmu ada di dunia ini tergolek tak
berdaya ? Mungkin Allah sedang mengganjar apa yang telah diperbuatnya..
jenguklah dia dengan ketulusan hatimu. Lakukanlah ini untuk Allah, dan untuk
ibu. Kalian mau kan?! ” Kata-kata ibu seakan masuk dan merembes kedalam relung
hatiku, menghancur leburkan semua dendam dan ego yang sempat bersemayam di dada
ini. Terlebih Hawa. Seketika perasaannya mencair dan air matanya pecah dalam
pelukkan ibu.
“Apa secepat itu ibu memaafkan kesalahan
ayah?” ku paksakan diri ini untuk bertanya. Lagi-lagi ibu hanya tersenyum lalu
menjawab dengan ringan. “ Hanya dengan memaafkan, luka-luka yang ada dihati ibu
bisa sembuh..” Subhanallah. Bangganya aku miliki orang tua seperti ibu. Sampai
kapanpun aku tak akan bairkan diri ini mengecewakannya.
“Baiklah bu, besok aku akan meminta izin
kepada kepala sekolah dan langsung mencari alamat ayah..” kataku mencoba memantap-mantapkan
hati. Hawa dengan muka kusutpun ikut mengangguk. Anggukan yang mungkin
dipaksakan.
Keesokannya, setelah berhasil meminta
izin kepada kepala sekolah tempat aku mengajar dan dengan meminta restu ibuku,
aku dan adikku memberanikan diri mencari alamat ayahku yang kudapat dari pak
Rohmat kemarin malam. Demi Engkau Ya Allah, dan karena
ibuku, kulangkahkan kaki mungil ini tuk datangi rumah pak Roni. Orang yang sempat
membuat hidup kami menderita, namun orang lain menyebutnya, dia ayahku. Semoga
Engkau ridhoi derap langkah kami menuju kebaikan dan petunjuk-Mu Yaa Allah...Aamiin.
Pukul 13.00 WIB kami berangkat
ke Tanggerang. Dengan menumpangi kopami 84, kulepaskan segala keraguan.
Kususuri jalan-jalan yang akan menjadi saksi bisu pertemuanku dengan orang yang
entah kurindukan ataukah orang yang kubenci. Kuberharap kini tibalah saatnya
Allah tunjukan semua keadilan yang sejak dulu kuimpikan.
Disepanjang jalan, lamunanku
melayang kemasa lima belas tahun yang silam. Ketika aku dan adikku melewati
masa kecil tanpa kasih sayang dan perhatian seorang ayah. Bahkan melihat
wajahnya pun kami tak pernah. Sampai-sampai tak jarang kami mendapat hinaan dan
sebutan “anak haram” atau “anak yang tak punya Ayah” dari teman-teman
sepermainan. Saat itu, dengan hati yang gaduh aku hanya bisa bertanya kepada
ibu, “Anak haram apa sih Bu, apa benar kita gak punya ayah?” Nisa dan Hawa
kecil masih sangat polos. ibu pun menjawab dengan mata berkaca-kaca, “Nisa sama
Hawa itu anak ibu yang pintar. Kalian bukan anak haram. Kalian punya ayah
seperti teman-teman. Tapi ayah sekarang sedang bekerja ditempat yang jauh. Jadi
nggak bisa sering-sering pulang..” Hati kami pun kembali tentram mendengar
jawaban itu, walaupun belakangan aku tahu, jawaban itu tak sepenuhnya benar.
Ayah bukan pergi untuk bekerja menghidupi kami.
Sangat sakit memang hidup
dimasa kecil tanpa hadirnya seorang ayah. Setiap tindakan dianggap salah sekalipun
itu benar. Tak jarang Nisa kecil dimaki-maki karena tak ada yang membela tiap
kali bertengkar dengan sesama teman yang memang usil. Bahkan aku pernah di
fitnah dan menjadi kambing hitam oleh kenakalan teman-temanku. Sementara
ibu-ibu mereka hanya mengolok-olok dan mencibir kami sambil berkata: “Jangan
dekati anak-anak nakal itu, nanti ketularan..!” Ibu-ibu yang lain pun menimpali
: “Pantas saja masih kecil mereka sudah jadi anak nakal, mereka kan nggak punya
ayah!” Astaghfirullah, aku bukan anak nakal, aku nggak mau dipanggil anak
nakal. Ya, Aku hanya bisa pasrah dan berusaha untuk tidak menangisi nasib
ini. Dulu aku hanya berharap ayah akan segera pulang dan datang menjadi pembelaku.
Ketika aku dan
adikku beranjak remaja, ayah datang tanpa disangka-sangka. Aku berharap dengan
datangnya ayah masalah yang selama ini menghampiri kami akan segera sirna. Tapi
nyatanya penderitaan kami tak berhenti sampai disitu. Sosok ayah yang selalu
kami banggai, sebuah senyum dan dekapan kasih sayang yang tak henti-hentinya
kami rindukan, serta sosok panutan yang dalam gambaran hati kecil kami ia
adalah seorang ayah yang berhati lembut dan bermata teduh, ternyata tak kami
dapati dalam dirinya. Dengan fisiknya yang tinggi besar, tulang kekar dan sekuat
baja membuat ia seakan berkuasa menyakiti raga ibuku. Sungguh masih segar dalam
ingatanku, bagaimana cara ia memperlakukan aku, adikku dan ibuku. Bahkan selama
kami hidup bersama ayah, ibu tetap menjadi tulang punggung bagi keluarga. Ayah hanya
menikmati pekerjaanya sebagai pengangguran yang terus menyakiti jiwa dan raga
ibuku. Masyaa Allah, Sebuah perlakuan keji dan kasar yang tak mudah termaafkan.
Dari seluruh
perlakuan kasarnya, ada satu peristiwa yang begitu menyakitkan bagi diriku dan
tak mungkin aku lupakan sepanjang masa hidupku. Saat itu, untuk menambah
penghasilan, selain menjahit, ibu juga bekerja sebagai tukang cuci yang hampir
setiap malam ibu mencuci pakaian milik tetangga. Ketika mencuci, tiba-tiba ibu
batuk dan mengeluarkan darah dari tenggorokannya. Ia kesakitan dan membutuhkan
pertolongan. Namun, apa yang dilakukan ayah. Ia pergi meninggalkan kami dengan
alasan “tak ada uang”. Padahal saat itu bukan uang yang kami permasalahkan.
Tapi keselamatan ibulah yang sangat kami khawatirkan. Kami hanya butuh ayah
membawa ibu kerumah sakit untuk segera ditolong. Namun, dengan angkuhnya ayah
berkata kepada kami, “ Heh, dasar orang miskin, kerjaanya hanya sakit-sakitan
saja. Nyusahin orang ! makanya Nisa, kamu nggak usah sekolah. Kerja saja. Cari
uang yang banyak biar nggak nyusahin orang. Memang dasr miskin, selamnya pun
tetap miskin !”
Glek, kami menelan ludah. Sesak betul rasanya
dada kami. Kami hanya bisa tercengang melihat kepergian ayah yang meninggalkan
setumpuk keperihan dan goresan luka yang memenuhi dada ini. Kami menangis. Apa
salah kami ya Allah..!!
Mengenang
kenangan pahit bersama ayah ini, membuat aku lupa bahwa aku akan menemuinya.
Sudahlah, tiada cara lain untuk menyembuhkan luka ini selain kata maaf. Ya,
memaafkan lebih susah dari pada meminta maaf. Tapi, bukankah memaafkan jauh
lebih mulia dibanding meminta maaf?? Satu nasihat ibu yang kuingat hingga detik
ini. “Kita patut bersyukur kepada Allah atas anugerah-Nya berupa ayah Roni.
Mungkin jika Allah tidak mengirimkan ayah sepertinya, kita akan lalai dan
enggan belajar tentang makna kehidupan ini. Kita patut berterimakasih padanya.
Telah mengajarkan kita tentang pahitnya perjuangan, hingga kita mampu
berhati-hati dalam setiap perbuatan dan akhirnya kita dapatkan kebahagiaan
seperti saat ini dan semoga sampai saat nanti..”
Ya, kini aku dan
keluarga sederhanaku telah hidup bahagia dalam naungan kasih sayang Allah.
Rasanya, semua kepahitan hidup yang dulu kami alami telah dibayar lunas oleh
Allah dengan kebahagiaan yang kami kecap saat ini. Dengan seizin Allah, aku
bisa buktikan pada ayah, bahwa aku mampu sukses mengejar mimpi-mimpiku tanpa
menyusahkan banyak orang. Bahkan bersatunya hati kami dalam menjaga ketaatan
kepada Allah menjadi satu kebahagiaan yang tak bisa dibayar dengan apapun jua
didunia ini.
Tepat pukul 16.00
WIB, aku sampai di Tanggerang. Dengan bertanya kepada salah seorang tukang
ojeg, kami bisa dengan mudah menemukan alamat ayah. Didepan sebuah rumah tua,
aku turun dari ojeg. Ku baca berulang-ulang dan kucocokkan alamat yang tertera
disamping jendela. Tiba-tiba, pak Rohmat muncul dari dalam rumah itu. Ia
mengajak aku dan adikku masuk. Disebuah sudut ruangan, tampak seorang laki-laki
tua dan kurus tengah terbaring diatas dipan.
“Ron, lihat itu
siapa yang datang..” bisik pak Rohmat tepat ditelingannya. Seketika aku dan
adikku terkejut. “Masya Alalh, benarkah itu ayahku??” lirih kami, tak percaya..
“Nis..saa, Haw..wa.. beb.. benarkah itu
kalian, a..anakku???” sambut laki-laki itu dengan suara terbata karena lidanya
yang seakan kelu.
Iya, tak salah lagi itu memang benar ayahku.
Itu ayahku yang dulu gagah pekasa, kuat dan kekar. Itu ayahku yang dulu
menyakiti ibu lalu meninggalkannya..
Iya.. itu ayahku..!!
Hatiku hancur.
Tidak hanya remuk tapi sudah menjadi serpihan.
Betapa tak kuasa kusaksikan semua ini. Pedih, sungguh pedih melihat
orang yang dirindukan kini menghadapi masa tuanya dalam keadaan tragis. Mataku
pun serasa tak kuat lagi menahan bendungan air mata yang sebentar lagi tumpah.
Namun, ku berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis. Aku tak mau dia
melihatku sebagai wanita cengeng dan lemah seperti dulu. Kini, antara rindu,
iba, cinta dan dendam melebur menjadi satu didalam hati ini.
Keadaannya yang
begitu memilukan, seakan membabat habis seluruh kebencian yang pernah singgah
dihati kami. Sedikitpun aku tak bisa membencinya. Justru dengan penuh
ketulusan, kupanjatkan doa untuknya, Robbighfirlii wali wali dayya warhamhumaa
kamaa robbayaanii shoghiiroo..” Ampunilah dosa ibu dan ayahku Yaa Allah..
“Kami sudah memaafkanmu, ayah. Semoga Allah memberikan ampunan dan hidayah-Nya
padamu. Ohya, yah. Alhamdulillah, Nisa sudah bisa melanjutkan kuliah dengan
keringat Nisa sendiri. Bahkan Nisa sudah
bisa membantu ibu menyekolahkan Hawa. Itu karena mimpi Nisa menjadi guru sudah
terwujud. Semua itu berkat kemahabaikan Allah, dan mungkin berkat doa ayah
disini untuk kami. Terima kasih ayah, sudah mengajarkan kami banyak hal sebagai
bekal untuk menempuh perjalan kami yang masih cukup panjang. Oh, iya. Ini ada
sedikit rezeki. Semoga bisa membantu ayah membeli obat…”
Tak terasa air mata ini mengalir begitu derasnya. Ada kebahagiaan yang
dulu terpendam sekarang terkuak mengalir bersama aliran air mata ini. Kami
berpelukan, tenggelam dalam keharuan luar biasa. Semua yang menyaksikan adegan
pilu ini, pak Rohmat dan para tetangga ikut hanyut dan meneteskan air mata.
***
“Apakah kami masih bisa bersinar seperti bintang, Bu?” pertanyaan
lirih Hawa membuatku tercengang. Tak percaya Hawa akan bertanya itu lagi.
“ Dengarkan ibu, Nak. Kalian adalah dua bintang yang selalu
bersinar terang di hati ibu, yang cahayanya tak pernah redup. Ibu bangga pada
kalian, anak-anak sholeh yang selalu menjaga dan merawat ibu dengan tulus.
Kalian adalah anugerah dari Allah paling berharga yang pernah ibu miliki…” perlahan
air mata itu tumpah. Air mata yang sudah sekian
lama dibendungnya, namun baru kali ini ibu tak kuasa menahan bendungan
itu.
“Tahukah anak-anakku…” dalam tangis yang terdengar semakin pilu,
ibu melanjutkan.. “ibu bisa bertahan sampai detik ini, itu karena Allah masih
menitipkan kalian. Rasanya, tiada lagi yang lebih berharga dari kalian..”
Tesss, cairan bening
meluncur dari mataku dan membasahi pipi ini. Betapa beruntungnya aku memiliki
seorang ibu yang penuh kasih dan penyabar. Betapa bahagianya aku memiliki
seorang ibu yang tegar dan pantang menyerah. Padahal aku tahu, beban yang
selama ini ditanggungnya begitu berat dan pelik. Namun, ia jarang meneluhkakannya
pada kami. Ia tak ingin ada yang tahu
deritanya. Ia selalu bisa menutupi kesedihan didepan kami, anak-anaknya. Tapi
kali ini aku sungguh ingin mendengar tangisnya. Aku ingin sekali mendengar
keluh kesah yang selama ini di simpannya dengan rapi.
Menangislah
ibu, menangislah… Jika itu yang membuat lukamu sedikit terobati. Jangan takut kami
akan menganggapmu lemah karena engkau menangis. Bagi kami, engkau tetaplah
wanita tertangguh yang pernah kami miliki…”
Ibu menyeka air matanya sambil berkata, “Semoga tangis ini menjadi
tangis kebahagiaan. Kita harus bahagia karena Allah menyatukan kita..” perlahan
wajah ibu mulai mengembangkan senyumnya kembali..
Terima kasih yaa Allah, Engkau telah
anugerahi kami ibu yang berhati lembut namun kuat dibalik tubuhnya yang kurus.
Beri kami kekuatan untuk selalu bisa merawat, menjaga dan membahagiakannya, yaa
Allah..
Duhh, ibu. Kami akan berusaha menjadi
yang terbaik untukmu dimata Allah. Dan kami akan berjuang agar terus bersinar.
Seterang bintang untukmu, ibu..
Yuk, sambil kita mengingat kasih sayang
ibu, kita bernyanyi-nyanyi kecil lagu ini..!
Kubuka album biru Penuh debu dan usang Ku pandangi semua gambar diri Kecil bersih belum ternoda Pikirkupun melayang Dahulu penuh kasih Teringat semua cerita orang Tentang riwayatku Kata mereka diriku slalu dimanja Kata mereka diriku slalu dtimang Nada nada yang indah Slalu terurai darinya Tangisan nakal dari bibirku Takkan jadi deritanya Tangan halus dan suci Tlah mengangkat diri ini Jiwa raga dan seluruh hidup Rela dia berikan Oh bunda ada dan tiada dirimu Kan slalu ada di dalam hatiku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar