Senja yang indah bergelut
dengan kabut yang mengulum diatas awan. Membuat senja tampak gelap sebelum
waktunya. Gemuruh petir terdengar mencekam dari seluruh penjuru langit. Hal itu
menandakan mungkin hujan akan segera turun. Dengan berlindung di balik jas
hujannya yang lusuh, Yardan terus melajukan motor Matic-nya, ia berharap
sebelum maghrib tiba, ia sudah sampai di rumah. Hujan kemudian turun dengan
derasnya, membuat pandangannya terhalang oleh tetesan air hujan yang semakin
rapat dan padat. Tanpa di sadari, hampir saja Yardan menubruk seorang wanita
yang tengah melintas dihadapannya. Wanita itu memakai gamis hijau lumut dengan
jilbab hijau muda yang berkibaran tersapu angin. Payung merah mudanya pun tampak terseok-seok
melawan laju angin. Ia menjinjing seikat kain dan dipunggungnya melekat sebuah
tas ransel berukuran besar, ia tampak kerepotan dan terburu-buru.
Cccccrrrrrrttttttttt…..! Yardan
mengerem motornya mendadak. “Astaghfirullaah..!!” Ia kaget dan panik. Kontanlah,
wanita itu terhempas di atas kerikil aspal yang basah dan licin.
“Aduuh, mbak ini… kalau mau nyebrang hati-hati
donk. Lihat kanan kiri. Jangan asal nyebrang saja, kan bahaya. Kalau sampai
mbak kenapa-kenapa bisa-bisa saya dibawa ke kantor polisi. Saya paling nggak
mau berurusan dengan yang namanya polisi. Ayo cepat bangun..!!!” Cerocos Yardan
karena panik sembari mengulurkan tangan kanannya bermaksud menolong wanita itu.
Namun, wanita itu bersusah payah untuk bangun sendiri.
“Tidak apa-apa kok mas, saya
Cuma kaget saja..” suara lembut nan tegas itu terdengar dari balik payung merah
mudanya.
“Maaf mas, ini memang salah
saya. Saya sedang buru-buru, sampai-sampai saya tidak tahu kalau di depan saya
ada motor.” Kata gadis itu lagi sembari berusaha bangkit dengan tertatih.
Mendengar suara lembut itu,
kepanikan Yardan mulai sirna dan tak tega telah berkata seperti itu padanya.
Yardan kemudian tercenung sesaat. Suara itu sangat ia kenal dan tak asing lagi
ditelinganya. Tapi siapa ? Hatinya bertanya-tanya.
Wanita itu beringsut merapikan
buku-bukunya yang berserakan dan basah terkena air hujan akibat ikatan kainnya
terlepas. Sementara Yardan hanya mematung memikirkan siapa gerangan wanita yang
suaranya bersenandung itu. Angin tiba-tiba berhembus lebih kencang hingga menerbangkan
payung milik gadis itu. Seketika, terlihatlah wajahnya oleh Yardan. Yardan
terbelalak, tak percaya bahwa yang dilihatnya itu gadis bermata teduh yang
sangat ia kenal dan telah lama menghilang.
“Sarah.. benarkah itu kau?!”
Tanya Yardan dalam hati. Untuk meyakinkan, dia mengerjap-ngerjapkan matanya
berkali-kali. Matanya masih belum percaya, namun hatinya sudah yakin dan mantap
bahwa gadis itu ialah gadis yang selama ini di rindukannya. “Mungkin kah gadis
itu bernama Sarah An-Nurillah?” Hatinya terus meraba.
Menyadari bahwa hujan semakin
deras, sementara payungnya telah lenyap di terpa angin, gadis itu mulai panik dan
berlari mencari tempat untuk berteduh. Yardan bingung tak tahu apa yang mesti
dilakukan. Akhirnya ia memutuskan mengikuti gadis yang dia yakini bernama Sarah
itu hingga sampai ke sebuah halte bus. Sesaat lamanya, Yardan mencoba mencuri
pandangan gadis itu. Ia ingin sekali memastikan bahwa gadis itu memang Sarah, gadis
yang dulu di cintainya ketika mereka kuliah di Perguruan Tinggi yang sama, tiga
tahun yang silam.
Gadis itu masih tampak sibuk
dengan buku-buku yang tadi sempat berjatuhan. Untuk memalingkan perhatiannya,
Yardan berdehem beberapa kali. Gadis itu pun kemudian bangkit dan memelingkan
wajahnya kepada Yardan. Seketika, kedua mata mereka saling bertemu, mereka
bertatapan.
“Yardan…?!!!” Lirih gadis itu
dengan bibir bergetar.
“Iya, Sarah.. ini aku, Yardan”
jawab Yardan tak kalah gemetarnya.
“Ini bukan mimpi kan?” Tanya
Sarah lagi, memastikan.
Yardan hanya mampu
menggelengkan kepala. Ia tak menyangka akan bertemu gadis itu di senja bertabur
gerimis ini. Nafasnya naik turun, jantungnya berdebar-debar, keringat dingin
pun keluar melalui pori-pori kulitnya, ia mendadak gugup dan salah tingkah.
Sementara Sarah, ia juga tak kalah gugupnya, namun ia berusaha sekuat tenaga
menguasai hati dan perasaannya, hingga kegugupannya pun tak begitu tampak di
depan Yardan. Dengan senyumannya yang khas, Sarah tampak begitu tenang. Namun,
sejujurnya ia ingin menunjukkan kerinduan yang selama ini terpendam. Namun,
Sarah terlalu malu.
Yardan tertunduk bahagia. Hatinya
seakan bersenandung seirama dengan gemericik air hujan di senja yang menawan
itu. Hawa sejuk pun bertiup pelan kerelung hatinya. Air hujan terasa menyirami
taman bunga di dasar jiwanya hingga bunga-bunga cinta yang dulu pernah bersemi,
kini serasa bermekaran kembali. “Astaghfirullah..” Yardan beristighfar di dalam
hati. Ia masih belum bisa menguasai perasaannya. Ia baru merasakan betapa
rindunya Yardan dengan Sarah selama ini setelah mereka di pisahkan cukup lama.
Ternyata Mereka saling memendam rindu yang sama.
“Kamu baik-baik saja kan
Yardan?” Tanya Sarah membuka suara.
“Alhamdulillah Sarah. Aku.. aku
baik. Kemana saja kamu selama ini? Kenapa kamu menghilang begitu saja, Sarah?”
“Ceritanya panjang Yardan..” mata Sarah
menerawang. “Setelah kelulusan itu, tiba-tiba ayahku jatuh sakit. Beliau minta
dirawat di kampung saja. Akhirnya kami memutuskan pulang ke Jogja. Tapi, ketika
dalam perjalanan, kami mendapat musibah, kami dirampok. Semua barang-barang
bawaan kami ludes. HP dan uang ku raib. Itu sebabnya aku tidak bisa
berkomunikasi dengan siapapun. Untungnya kami masih bisa melanjutkan perjalanan
hingga sampai ke Jogja. Dan sekarang bisa kembali lagi ke Jakarta dengan
selamat. Ketika tinggal disana, aku mendapat banyak pelajaran berharga Yar.
Hingga aku yakin, bahwa apa pun mimpi kita, bisa kita wujudkan, selama kita
benar-benar berusaha mewujudkannya. Disana aku berhasil mengejar mimpi-mimpiku.
Yang ternyata mimpi itu sama dengan mimpimu. Apa kau masih ingat dengan mimpi
itu ?”
“Iya Sarah, aku tentu ingat.
Mimpi kita yang menjadi pengusaha sukses dan mendirikan sekolah gratis itu kan?!
Apakah sekarang kamu sudah bisa mewujudkan mimpi itu?”
“Alhamdulillah. Aku sedang
merintisnya Yar. Disamping aku berjualan buku-buku ini, aku juga membuka sebuah
Taman Belajar gratis bagi anak-anak yang belum berkesempatan mengenyam
pendidikan formal. Taman Belajar ini aku beri nama Taman Belajar An-Nurillah.
Tidak begitu jauh kok dari rumahku dan baru berjalan sekitar tiga bulan ini.
Doakan ya Yar, semoga usahaku ini di berkahi Allah…”
“Subhanallah, ternyata kamu
serius dan tidak main-main dengan mimpi itu..”
“Jelas lah Yardan, aku serius.
Aku ingat kata-katamu waktu kita masih kuliah dulu. Waktu aku suka iseng-iseng berjualan
kue atau sekadar membantu Mayang ketika belajar, kamu selalu bilang ‘kalau kita
punya hobi, jangan hanya iseng-iseng, tapi cobalah di tekuni dengan
sungguh-sungguh meskipun hanya hobi yang sederhana . Siapa tahu suatu saat bisa
menjadi sesuatu yang besar’. Ingat tidak dengan kata-kata itu?”
Yardan tersenyum bangga.
Kegagumannya pada gadis itu belum juga pupus sampai saat ini, bukan kali ini
saja dia kagum padanya. Tetapi sejak dulu. Sejak pertama kali mereka
dipertemukan, Yardan kagum pada gadis pemimpi yang gigih itu. Gadis yang
memberinya semangat, gadis yang melukiskan mimpi di setiap malam-malamnya. Dan
dia gadis yang telah memberi warna dalam hidupnya. Namun sayang, hingga kini
gadis itu belum juga mengetahui rahasia yang tersimpan di hati Yardan. Yardan
pun pernah berpikir, mungkin setelah perpisahan itu, harapan untuk bertemu lagi
hanyalah angan-angan kosong. Ah, ia
masih mengira bahwa pertemuan ini hanya mimpi.
“Oh iya, bagaimana dengan
Mayang. Apa dia sudah melanjutkan ke Perguruan Tinggi?” pertanyaan Sarah
membuyarkan lamunannya.
“Alhamdulillaah. Dia
melanjutkan di perguruan tinggi swasta di daerah Bekasi. Dia ambil jurusan
Bahasa dan Sastra. Sekarang sudah semester lima..”
“Oh ya? Subhanallah.. ternyata
dia juga serius menekuni hobi menulisnya ya? Aku rindu sekali sama si kutu buku
itu. Hehe.. Kalau kamu sendiri bagaimana? Kenapa waktu itu kamu cuti dan tidak
ikut wisuda ?”
“Ehmm, iya. Aku memang tidak
ikut. Sebagai seorang kakak yang mengemban amanah besar, aku harus rela
mengorbankan pendidikanku demi pendidikan adikku satu-satunya, si Mayang. Saat itu, dia benar-benar harus kuliah. Tapi
karena terbentur masalah biaya, akhirnya aku saja yang mengalah. Tapi
Alhamdulillah, sekarang aku sudah semester akhir dan sedang sibuk menggarap skripsi.”
“Subhanallah, kamu bukan Yardan
yang dulu. Kau sudah berubah menjadi Yardan yang dewasa dan penuh tanggung
jawab.. sungguh aku salut padamu..” Tanpa sadar Sarah mengucapkan kata-kata
itu. Namun sayang, ia hanya bisa membatin. Ia terlalu malu mengutarakan isi
hatinya. Hanya hatinya dan Allah saja yang mendengar kata-kata itu.
“Syukurlah kalau begitu. Lha ini
kamu dari mana Yar?” Tanya Sarah mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya, Aku dari warung nasi goreng pakde ku. Sudah setengah
tahun ini aku membantu beliau. Ya, hitung-hitung untuk latihan berwirausaha,
merintis mimpi-mimpi kita. Hehe..”
“Wah, hebat juga kau rupanya.
Mungkin kita bisa bekerja sama ya untuk mewujudkan lukisan mimpi itu?”
“Tentu, Insya Allah. Eh iya,
aku antar kamu pulang ya. Hari sudah gelap. Tidak baik wanita pulang sendiri”
Sarah menyerngitkan dahi…
“Eits, jangan heran kalau
sekarang aku berani menawarkan diri untuk mengantar kamu. Kalau dulu aku memang
tidak berani, karena aku sendiri saja masih harus naik angkot kemana-mana. Tapi
sekarang.. lihat tuh, aku sudah punya si Merah yang siap mengantarkanku kemana
pun aku pergi…Heheeheh..” kata Yardan bangga sambil menunjuk motor matic warna
merahnya yang ia parkir didepan halte..”
“Bukan begitu Yardan, tapi… aku
takut……”
“Takut apa? Fitnah. Tenang
saja, insya Allah tidak akan ada fitnah. Lagi pula memangnya kamu mau nanti
kehujanan lagi atau malah kesrempet motor lagi? Tak mau kan? Makanya lebih baik
aku antar kamu pulang, sekalian aku sowan sama bapakmu. Boleh kan?”
“Emmm. Ya sudah. Tapi tidak boleh
macam-macam yaa..” Kata Sarah malu-malu.
“Masa tidak percaya sama orang
seperti aku… semua orang juga tahu. Hehe…”
Adzan maghrib bergema
mengiringi perjalanan mereka. Setibanya dirumah, Pak Maksum sudah menanti putri
semata wayangnya. Beliau berbincang-bincang seperlunya dengan Yardan. Setelah
itu Yardan pamit pulang. Di ujung pintu, Sarah memberikan sesuatu padanya,
sebuah catatan kecil berjudul “Suara Hati Seorang Ukhti”. “Aku titip
catatan ini untuk Mayang ya.. Catatan ini aku tulis sendiri, isinya kurang
lebih tentang pengalaman hidupku selama aku tinggal di Jogja. Semoga Mayang
suka membacanya…” ucap Sarah ketika menyerahkan catatan itu.
“Terima Kasih ya. Aku yakin,
Mayang pasti suka. Apalagi ini dari kamu. Dia juga sangat merindukan kamu.
Kalau dia ada waktu, nanti aku suruh dia main kemari. Insya Allah..” ujar
Yardan turut senang.
Sarah mengangguk sambil
tersenyum.
“Nduk, si Dadan sudah pulang?”
Tanya pak Maksum begitu melihat Yardan pergi dengan si Merahnya.
“Yardan namanya Pak, bukan
Dadan..”
“Ya, siapa itulah namanya. Dia
itu si bocah ingusan yang dulu suka pinjam buku pelajaran kamu itu kan? Ngapain
dia kesini?”
“Kenapa Bapak bertanya seperti
itu? Yardan itu bukan anak ingusan Pak. Dia sudah dewasa, dia mandiri sudah
bisa membiayai hidup dirinya dan juga adiknya. Dia kesini ya untuk silaturrahmi
sama Bapak. Memangnya salah ya Pak?”
“Salah sih tidak. Hanya saja
bapak kurang suka dengan sikapnya..”
“Sikap Yardan yang mana Pak?”
“Ya pokoknya Bapak kurang suka
dengannya..”
“Tapi dia sudah berubah Pak.
Buktinya, dia rela berhenti kuliah demi adiknya. Sekarang sambil kuliah dia
juga berjualan nasi goreng dan dia sama sekali tidak gengsi. Coba Bapak
bayangkan, jarang sekali kan ada pemuda di zaman sekarang yang mau bekerja
seperti itu ?”
“Sudah nduk, sudah.. kamu
jangan berlebihan menilai dia. Itu baru sebatas penilaian indrawi. Kamu belum
tahu betul bagaimana kehidupannya yang sebenarnya. Ingat, yang harus kamu
pikirkan adalah jawaban untuk Fadli. Minggu depan dia akan kesini lagi menerima
jawaban itu. Bapak harap kamu bisa memberikan jawaban terbaik. Kasihan dia
kalau harus menunggu terlalu lama tanpa kepastian yang jelas…”
“Jujur Pak, Sarah belum siap
menerima dia. Sarah masih ragu meskipun sudah istikharah..”
“Bapak mohon jangan kecewakan
bapak lagi, Nduk. Bapak sudah sering merasa malu karena setiap orang yang
datang melamar kamu selalu kamu tolak. Mau menunggu yang bagaimana lagi kamu, Nduk?”
“Sarah tidak menunggu yang
bagaimana-bagaimana pak. Sarah hanya menunggu laki-laki yang saleh, pas dihati
Sarah dan mendukung cita-cita Sarah. Itu saja..”
“Memangnya kurang saleh apa
Fadli? Dia kan lulusan pondok dan sudah bertahun-tahun belajar ilmu agama
disana. Bapak saja sampai sekarang belum bisa menyekolahkan kamu ke pondok..”
Sarah merendahkan diri di hadapan
ayahnya. Ia merasa, memang agak susah memahamkan ayahnya bahwa kesalehan
seseorang tidak dilihat dari lulusan pondok atau bukan. Tidak dilihat dari
pakai baju koko atau tidak. Tidak juga dilihat dari pakai peci putih atau yang
lainnya. Betapa banyak lulusan pondok di negeri ini tapi belum tentu setelah
keluar pondok ia mengamalkan dengan baik semua yang telah ia pelajari. Dan ia
merasa hatinya belum cocok dengan Fadli. Ayahnya tidak akan nyambung bila
diajak dialog masalah itu.
“Beri Sarah sedikit waktu lagi
untuk berfikir ya Pak..”
“Mau sampai kapan?”
“Tenang saja pak, nanti kalau
waktunya sudah tepat, Sarah juga akan bicara dan menentukkan pilihan yang Insya
Allah terbaik..”
“Ya sudah lah. Kita bicarakan
nanti lagi. Bapak sholat dulu. Sana kamu siap-siap..!” kata pak Maksum sambil
berjalan menuju tempat sholat. Gurat kekecewaan tampak terlihat jelas di
wajahnya, Sarah hanya bisa beristighfar dan berdoa semoga ayahnya bisa mengerti.
***
Sementara itu di tempat lain,
yakni di rumah Yardan. Mayang, adik Yardan tampak terheran-heran melihat sikap
Yardan yang tak biasanya. Dia terlihat begitu bahagia bahkan di kamar mandi pun
dia bernyanyi-nyanyi seperti seorang penyanyi yang tak kesampaian.
“Kelihatannya bahagia sekali
kak? Ada apa nih?” selidik Mayang begitu Yardan keluar dari kamarnya.
“Coba tebak, kenapa kakak bisa
sebahagia ini?” jawab Yardan membuat Mayang semakin penasaran.
“Emmm, aku tahu. Pasti kakak
habis naik gaji ya dari pakde. Aaah, iya kan??”
“Yah, tebakanmu kurang tepat.
Siapa bilang naik gaji, baru juga pertengahan bulan..”
“Aha, kalau yang ini pasti
benar. Kakak habis ketemu Mbak Alika kan? Ayo ngaku ! biasanya tidak ada yang
bikin kakak senang selain ketemu Mbak Alika..”
“Ah, tebakanmu salah semua. Kalau
ketemu Alika itu sudah biasa, tapi kali ini, percaya tidak? Kakak baru saja
ketemu bidadari. Bidadari dari Jogja. Ha..ha. Kalau tidak percaya nih kakak
punya buktinya..” kata Yardan sambil menyodorkan sebuah buku kecil yang dia
ambil dari tas kecil warna hitamnya.
“Suara Hati Seorang Ukhti.. karangan
Sarah An-Nurillah.. Hah? Maksud kakak, kakak ketemu Mbak Sarah? Ya
Allah, benarkah? Ketemu dimana kak?” Tanya Mayang dengan perasaan girang.
“Kakak kerumahnya langsung.
Kapan-kapan kakak antar kamu kesana, ya… pasti ada banyak hal yang akan ia
ceritakan padamu.” Ujar Yardan sembari berjalan keluar menuju Masjid.
Tiba-tiba handphone-nya
berdering. “Kak, ada telepon tuh…” kata Mayang setengah berteriak.
“Dari siapa?” Tanya Yardan
kemudian.
“Dari Mbak Alika” jawab Mayang
lagi.
“Biarkan saja. Kakak mau salat.
Kalau memang penting nanti juga dia telepon lagi” Ujar Yardan sekenanya, lalu
berlalu mengikuti alunan adzan maghrib dari Masjid yang berada di ujung jalan.
“Tak biasanya Kak Yardan seperti itu, aneh. Pasti karena Mbak Sarah
nih. Hmm, kak Yardan masih cinta rupanya. Baguslah…” gumam Mayang,
senyum-senyum sendiri.
Usai sholat maghrib berjamaah
dan membaca kitab suci, Sarah bergegas menuju Taman Belajar rintisannya yang
hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari rumahnya. Taman Belajar itu
bernama An-Nurillah, yang diambil dari nama belakangnya, Sarah An-Nurillah.
Taman belajar itu baru berdiri sekitar tiga bulan lalu, namun anak didiknya
sudah mencapai seratus anak. Dari seratus anak itu, ia bagi menjadi lima kelas.
Dua kelas pertama berlangsung dari pukul delapan pagi sampai setengah dua belas
siang. Dua kelas yang kedua berlangsung dari pukul dua siang sampai lima sore.
Sedangkan satu kelas lagi berlangsung dari pukul tujuh sampai setengah Sembilan
malam. Untuk mengelola taman belajarnya ini, Sarah mempercayakan kepada Mbak
Ulmi dan Mbak Ruqoyah sebagai tenaga pendidik yang membantunya. Mbak Ulmi dan
Mbak Ruqoyah ini teman seperjuangan Sarah ketika bertahan hidup di Jogja
selama tiga tahun itu.
Dalam membagi tugas, Sarah
sebagai kepala taman belajar hanya mengajar kelas malam, karena siangnya dia
sibuk berjualan buku-buku. Kadang dia berjualan dirumah sembari menulis
berbagai artikel atau naskah yang dia kirimkan secara rutin ke media-media
lokal di Jakarta. Terkadang juga dia berjualan sambil berpetualang mengelilingi
ibukota. Sedangkan Mbak Ulmi mengajar kelas siang dan Mbak Ruqoyah kelas pagi.
Dengan mengandalkan usaha menulis dan dagang bukunya, Sarah mampu membayar gaji
kedua gurunya itu.
Setelah melaksanakan tugas
mendidiknya, Sarah kembali kerumah dengan perasaan sejuk. Ia seakan lupa dengan
persoalan yang dihadapi dengan ayahnya. Justru dia teringat pertemuannya dengan
Yardan. Sebuah pertemuan yang tak terduga namun memberi kesan luar biasa.
Perasaannya sulit untuk dilukiskan. Namun yang pasti, ia kembali bahagia. Ia
seperti menemukan titik terang atas harapan yang selama ini dipendamnya.
Tiba-tiba saja ia berkhayal, ia mengajar murid-murid di Taman belajarnya dengan
Yardan. Dia tersenyum-senyum sendiri mengingat khayalannya yang aneh itu.
Tess.. sebuah
cairan merah bernama darah menetes dari hidungnya, di susul dengan tetesan yang
semakin banyak. Sarah kaget dan tersadar, sejak pagi dia belum minum obat. Dia terlalu
bahagia hari ini, sampai-sampai dia lupa ternyata obatnya telah habis. Sejak
dokter memfonis dirinya terkena Leokimia setahun lalu, ia menjadi orang yang
ketergantungan dengan obat untuk sekadar mengurangi rasa sakitnya. Walaupun
sebenarnya dia tahu, Leokimia adalah salah satu penyakit mematikan yang sampai
saat ini belum di temukan obat yang
mujarab untuk penyakit kanker darah itu. Dan dokter pun pernah memfonis bahwa
hidupnya tidak akan lama lagi. Namun karena
semangat hidupnya yang tinggi, ia mampu bertahan hidup sampai detik ini.
Terlebih hari ini setelah bertemu Yardan, harapan kecilnya menjadi hidup.
Matanya berkaca-kaca. Kini ia
sadari hanya Allah yang ada di sisinya. Hanya Allah yang mendengar rintihan
kalbunya,
”Ya Allah, layak kah bagi
seorang pesakitan seperti hamba ini berharap cinta yang lebih dari hamba-Mu..?
Jika tidak, mohon rendahkan rindu ini di jalan-Mu yang terbaik untuk dunia dan
akhirat hamba. Bila kerabat dan teman tak cukup lagi menemani sisa hidupku,
maka hari itu adalah hari yang aku tunggu, hari di saat dia datang
mengkhitbahku…”.
Ya, mungkin itu menjadi salah
satu harapan terakhirnya. Harapan yang tak ada seorangpun yang tahu selain
dirinya dan Allah saja. Namun tega kah ia, bila harus meminta Yardan yang
meminangnya. Sampai hatikah ia melihat Yardan bernasib buruk bila harus di
sandingkan dengan wanita pesakitan seperti dirinya..?? Sungguh, orang sebaik
Yardan, tak layak di sandingkan dengan Sarah, gadis yang kini tinggal menanti
ajalnya tiba.
Wajahnya semakin pucat pasi,
rasa nyeri di sekujur tubuhnya sungguh tak tertahan lagi. Ia merasa harus
mengubur dalam-dalam harapan yang sempat menguatkan dirinya, karena kini ia
tinggal menunggu hari, hari dimana malaikat Izail menjemputnya, hari dimana ia
meninggalkan segalanya, hari dimana menjadi kunci agar ia bisa bertemu dengan
Ilahi. Ia kembali meneteskan air mata.
Dimalam yang sama, namun
ditempat yang berbeda, Yardan pun merasakan gejolak jiwa yang sama. Entah
kenapa sejak pertemuannya dengan Sarah senja tadi, perasaannya menjadi tak
menentu. Ia galau. Ia bimbang dalam menentukan perasaannya. Ia seperti menemukan
cinta yang hilang. “Apakah ini yang di namakan cinta, Cinta Lama Bersemi
Kembali? Benarkah aku masih mencintai Sarah? Lalu bagaimana dengan Alika??? Ah,
entahlah..” hati dan pikirannya terus merancau. HP-nya kembali berdering. Alika
menelponnya lagi. Ia mengabarkan Yardan bahwa dirinya akan segera meluncur ke
Bandung beberapa hari untuk melakukan studi banding.
Ya, Sarah dan Alika. Dua wanita
yang kini tengah sama-sama memenuhi relung hatinya. Sebelum mengenal Sarah,
Yardan sudah lebih dulu mengenal Alika. Sosok wanita cerdas, pandai bergaul,
baik, dan tentunya… ia cantik. Namun sayang, ada yang kurang dari diri Alika. Ia
belum begitu lembut dan belum berjilbab. Tidak seperti Sarah. Meskipun,
penampilannya biasa-biasa saja, namun ia lembut dan tampak bersahaja dengan
balutan jilbabnya. Tak bisa ia pungkiri, bahwa sosok seperti Sarah lah yang
selama ini ia dambakan. Terlebih setelah ayah dan ibunya meninggal dalam
kecelakaan maut enam tahun silam. Ia pernah berjanji pada dirinya sendiri,
ketika waktunya tiba, ia ingin mencari pendamping hidup yang bisa menjadi ibu
bagi Mayang, yang bisa menjadi teman, teladan dan panutan bagi Mayang, adiknya
satu-satunya dan tentu panutan bagi dirinya sendiri. Dan semenjak bertemu
Sarah, Yardan merasa Sarahlah wanita yang selama ini ia cari. Namun, entah
kenapa dihatinya masih ada Alika yang selama ini juga berperan membatu semua
usahanya. Ia rasa tak ada alasan untuk meninggalkan Alika. Tapi, sungguh ia
mengharapkan Sarah karena kini yang ia cari bukan hanya dunia, akhirat juga
ingin ia raih. “Ya tuhan, berilah hamba petunjuk…”
Untuk melegakan pikirannya,
Yardan keluar kamar. Ia rasa hanya Mayang yang bisa diajaknya bicara. Yardan
membuka pintu kamar Mayang, tampak ia sedang bersiap-siap tidur. “May, tolong
kakak. Kakak sedang bingung. Mana yang harus kakak pilih, Sarah atau Alika?”
Tanya Yardan tanpa basa-basi.
“Apa kak? Mbak Sarah atau Mbak
Alika? Memangnya ada apa dengan mereka?” Tanya Mayang tercengang.
“Kakak rasa, sudah saatnya
kakak menentukan masa depan. Kakak ingin segera menyempurnakan separuh agama.
Namun kakak masih bingung dengan siapa..” keluh Yardan.
“Diantara mereka, mana yang
lebih kakak cintai?” Tanya Mayang.
Yardan hanya terdiam.
“Kakak sudah istikhoroh?” Tanya
Mayang lagi. Kali ini Yardan hanya menggeleng, ia ingin mendengarkan saran adiknya itu. “Istikhoroh
dulu kak, temukan jawabannya atas petunjuk Allah. Yang jelas pilihlah yang
paling baik agamanya diantara mereka.. pasti kakak sudah lebih paham tentang itu”. Jawab Mayang mencoba
demokratis. Walau sebenarnya ia lebih condong pada Sarah.
“Ya. Baiklah. Kakak akan
istikhoroh..” Yardan kembali ke kamarnya. Ia mengambil air wudhu lalu sholat
istikhoroh memohon petunjuk Tuhannya yang Maha Mendengar segala keluh kesah
hamba-Nya.
“Wahai
Robbi, yang menggenggam cinta…
Ku tunggu ia dalam penantian
sujud malamku..
Ku tunggu ia dalam untaian
doaku pada-Mu…
Ku tunggu ia dalam tiap tangis
istikhorohku..
Wahai munajat cinta, Engkaulah
yang menggenggam hati kami...
Engkau yang maha
membolak-balikan setiap perasaan ini..
Maka, saat hati ini mulai
meridukannya, damaikanlah hati ini..
Sematkanlah cinta ini di atas
sajadah cinta-Mu yang tak akan lekang oleh waktu..
Karena cinta-Mu aku kuat,
karena cinta-Mu aku tegar..
Maka tolonglah aku..”
Setelah merasa tenang, kini
Yardan mulai yakin. Ia akan memilih Sarah. Ia akan melamar Sarah secepatnya.
Yardan tidak mau kehilangan kesempatan lalu berubah pikiran. Niat baik harus
segera di wujudkan agar tak ada setan yang berusaha menggoyahkan.
Esok harinya, kondisi Sarah
belum juga membaik. Ia memutuskan untuk tidak berjualan hari ini. Ia ingin
membeli obat dan istirahat total. Kali ini ia ingin sembuh, ia merasa optimis
tatkala ia menyaksikan di pagi yang masih buta, anak-anak didiknya berjalan
beriringan menuju taman belajar mereka yang sederhana, fasilitas seadanya, dan
dengan tenaga pengajar yang biasa-biasa saja. Semuanya memang serba ala
kadarnya. Namun, semangat mereka bukan semangat biasa. Semangat mereka ialah
semangat anak bangsa yang menuntut janji kemerdekaan atas hak mereka dalam
memperoleh pendidikan yang sama. Diam-diam Sarah bangga, dan di sisi lain ia
malu. Ia malu ketika tahu kini ia lemah dan mulai menyerah dengan keadaan.
Dengan tekad kuatnya, Sarah
berjalan ke apotek untuk membeli beberapa obat yang ia butuhkan. Ia berharap
Allah meridhoi usahanya untuk tetap sehat, ia ingin terus menyaksikan semangat
para anak didiknya, ia ingin terus merasakan hangatnya mentari di pagi yang
cerah, ia ingin terus merasakan kebersamaannya dengan orang-orang yang ia
cintai, dan ia belum ingin meninggalkan mimpi-mimpinya. Bila sudah begini,
rasanya ia ingin tetap hidup seperti orang-orang di sekelilingnya. Ia tidak
ingin mempedulikan fonis mati yang di jatuhkan pada dirinya “Ya Rabb,
hidupkanlah aku selama hidup itu dalam kebaikan. Dan wafatkanlah aku jika
kematian itu baik bagi ku..” Sebait doa
pun terucap dari bibirnya.
Walau telah meminum obat dan istirahat, kondisinya belum
menunjukan ada perubahan yang berarti. Justru Sarah merasa keadaannya semakin
memburuk. Pak Maksum, ayah Sarah, sampai tidak keluar rumah. Ia menemani
putrinya sehari penuh. Namun sampai saat ini beliau belum mengetahui bahwa
putrinya tengah menderita Leokimia.
Malam harinya, usai sholat
isya, Yardan mengajak Mayang bertandang ke rumah Sarah. Sebenarnya ia ingin
lebih dulu menemui Alika dan menjelaskan keputusan bulatnya, namun saat ini
Alika sedang berada di luar kota. Akhirnya, ia hanya bisa berdoa, semoga semua
akan baik-baik saja. Dengan mengenakan kemeja kotak-kotak warna biru, celana panjang
hitam dan sepatu hitam kesukaanya, ia tampak lebih rapi dan gagah dari biasanya.
Ia pun siap melamar Sarah. “Wah, beruntung sekali gadis yang akan kakak lamar”
Komentar Mayang begitu melihat penampilan Yardan malam ini. “Ya, semoga. Doanya
saja May, semoga Allah meridhoi usaha kakak dan lamaran kakak diterima…” jawab
Yardan optimis.
Sesampainya di rumah Sarah,
hanya pak Maksum yang menyambut kedatangan mereka. Pak Maksum pula yang
menyiapkan jamuan ala kadarnya. Sarah hanya bisa mendengarkan percakapan mereka
dari balik kamarnya, ia tidak ingin mereka tahu keadaannya yang sebenarnya. Tanpa
basa-basi lagi Yardan mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya, yakni menyambung
silaturahmi dengan melamar Sarah. Sarah terkejut luar biasa. Ada perasaan haru
dan bahagia yang menelusup lembut. Inilah saat-saat yang paling dinantikannya
dan ia pun harap-harap cemas mendengar jawaban ayahnya. Ia berharap besar
ayahnya akan menyambut baik niat dan kesungguhan Yardan untuk melamar anak
gadisnya itu. Namun tak disangka tak dinyana, ayahnya berkata, “Sebelumnya,
saya berterima kasih dan menyambut baik keseriusan nak Yardan melamar putri
saya, terus terang saya bangga melihat keberanian nak Yardan, tetapi saya
sarankan lebih baik nak Yardan selesaikan dulu kuliahnya dan fokuslah pada
usahamu saat ini biar lebih berkembang. Lagi pula sudah ada seseorang yang
datang melamar Sarah. Jadi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya belum bisa
memenuhi permohonan nak Yardan.”
Perlahan tapi pasti. Ucapan pak
Maksum bagaikan sebuah paku beton berkarat yang menghunus hati Yardan
berkali-kali. Hatinya kini hancur berkeping-keping. Ia tak menyangka akan
sepahit ini kenyataan yang harus ia hadapi. Terlebih bagi Sarah, hatinya bukan
lagi hancur tapi kini telah jadi serpihan-serpihan kecil yang sulit terbentuk
lagi. Sebuah kesempatan emas yang paling ditunggunya, kini dimusnahkan begitu
saja. Melihat pemandangan menyedihkan ini, Mayang turut merasakan hancurnya
perasaan kakaknya. Ia hanya bisa menahan tangis dan berdoa memohon kekuatan
untuk kakaknya. Dengan hati yang dikuat-kuatkan Yardan berusaha menjawab dengan
kelapangan hati. “Terima kasih pak sudah memberi saya kesempatan
bersilaturrahmi dengan keluarga bapak. Semoga laki-laki itu jodoh yang tepat
untuk Sarah…” “Ya, Saya yakin nak Yardan juga akan menemukan jodoh yang jauh
lebih baik.” Kata pak Maksum sambil menepuk pundak Yardan. Yardan pulang dengan
hati yang masygul.
“Pak, kenapa bapak tolak Yardan tanpa
mempedulikan perasaan Sarah” lirih Sarah sore itu.
“Setiap orang tua pasti
menginginkan yang terbaik buat anaknya. Dan bapak merasa sudah melakukan yang
terbaik untuk kamu nduk. Bapak sudah mengenal betul siapa Fadli dan
keluarganya. Bapak yakin dia bisa membahagiakanmu..”
Usai dialog singkat itu, entah
ada kekuatan dari mana Sarah meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan ayahnya. Ia
ingin bertemu Yardan dan meminta maaf sebelum ia memberi jawaban kepada Fadli.
“Untuk apa kamu kemari?” Tanya
Yardan begitu melihat Sarah berdiri di depan pintu rumahnya. “Mau mentertawakan
aku, karena penjual nasi goreng seperti aku tidak layak melamar gadis seperti
kamu? Iya?” bentak Yardan dengan nada tinggi. “Yardan, dengarkan aku. Aku hanya
ingin meminta maaf atas kejadian ini. Aku sendiri sangat bahagia menerima
lamaran kamu, tapi sungguh ini diluar kuasaku….” “Ah sudah, tidak perlu berkata
seperti itu. Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang juga. cepat…!” Yardan tak
memberi kesempatan Sarah bicara.
“Bukan kah kau mencintaiku,
Yardan? Apakah kamu tidak tahu bahwa aku juga mencintaimu? Kalau kamu mau, aku
tawarkan satu hal padamu, kita perjuangkan cinta kita bersama, kita buktikan
pada ayahku bahwa kita saling mencintai…”
“Dengar Sarah, wanita didunia
ini bukan hanya kau. Masih ada Alika yang lebih mencintaiku dengan tulus. Dan
asal kamu tahu, aku juga bisa mencintainya...” kata-kata Yardan semakin murka.
Rasa sakit hatinya seakan mengalahkan rasa cintanya pada Sarah.
“Apa? Alika?” Tanya Sarah tak
percaya.
“Ya. Memangnya kenapa? Kamu
pikir yang bisa lembut dan berjilbab Cuma kamu saja? Aku juga bisa membuat
Alika berjilbab dan lebih lembut dari pada kau…”
Tak terasa mata Sarah kembali
berkaca-kaca, tapi ia tahan supaya tidak sampai keluar. Kata-kata itu begitu
menggores hatinya yang ringkih itu. Mungkin jika tidak ada kekuatan iman di
hatinya, ia sudah memilih sirna dari dunia saat ini juga. Ujian yang harus
dilaluinya terasa semakin berat. Tapi ia berusaha kuat. “Baiklah Yardan, jika
Alika sudah menjadi pilihan terakhirmu, semoga itu menjadi pilihan terbaik
menurut Allah. Dan sekarang tak ada alasan lagi bagiku untuk tidak menerima
Fadli. Terima kasih atas keputusan ini..”
Mendengar kata-kata itu, Yardan
kembali merasakan penyesalan, ia tak sadar dengan apa yang baru saja keluar
dari mulutnya. Itu tidak sesuai dengan apa yang ada didalam hatinya. Dasar
bodoh, kenapa aku biarkan orang yang aku cintai menikah dengan orang lain,
padahal dia juga mencintaiku. Jangan tinggalkan aku, Sarah, kumohon… Yardan
menghujat dirinya sendiri dalam hati.
Sarah melangkah keluar,
tiba-tiba Mayang datang dan memanggilnya. “Mbak Sarah, tunggu, tolong jangan
pergi..” Sarah menoleh dan mereka saling berpelukan. “Kakakmu sudah memilihkan
keputusan ini untuk mbak. Mbak harus ikhlas” Mayang menangis di pelukan Sarah,
sementara Yardan hanya bisa terdiam dengan hati berdesir-desir. “Tetapi
walaupun demikian, mbak tetap menganggapmu sebagai adik kandungku. Kakak tidak
akan meninggalkanmu. Oh iya, satu hal lagi. Mbak titip taman belajar mbak sama
kamu ya. Kamu bersedia kan May meneruskan perjuangan mbak? Nanti ada mbak Ulmi
dan Mbak Ruqoyah yang akan membantu kamu”
“Memangnya
Mbak Sarah mau kemana?”
“Mungkin
nanti mbak tidak tinggal di Jakarta lagi. Ya sudah mbak pulang ya.
Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Mbak, aku mencintaimu karena Allah” ucap
Mayang menitikkan air mata. “Iya sayang, mbak juga mencintaimu karena Allah.”
Mereka kembali berpelukan lalu melepasnya dengan penuh kesedihan. Sarah pun berlalu
meninggalkan mereka dengan tetesan air mata. Yardan turut menangis merasakan
keharuan yang mendalam ini.
Sarah
membanting tubuhnya diatas kasur begitu sampai di rumah. Ia menangis
sejadi-jadinya dan memohon kekuatan kepada Allah. Tiba-tiba ia teringat
almarhumah ibunya yang kini telah tenang di alam sana. “Ibu, andai saja engkau
masih ada di sisiku pasti engkaulah orang pertama yang paling mengerti
perasaanku… Sarah butuh ibu, Sarah ingin bertemu ibu…” Pak Maksum terenyuh
mendengar tangis putrinya. Ia langsung tersadar bahwa ia telah menghancurkan
kebahagiaan yang sempat mewarnai hati Sarah. Ia merasa berdosa karena tindakan
yang dilakukannya justru membuat Sarah menderita seperti sekarang. Ia sadar
bahwa cinta dan kebahagiaan tak bisa di paksakan. Pak Maksum kemudia mendekati
Sarah dan membelainya dengan lembut. “Nduk, apa kamu sungguh-sungguh mencintai
Yardan? Kalau kamu memang mencintainya dan kamu bahagia bersamanya, kejarlah
ia. Bapak akan merestui kalian..”
“Sakit
pak, sakit sekali rasanya ketika kita tahu bahwa orang yang kita cintai justru
tidak mencintai kita lagi bahkan dia lebih mencintai orang lain…” ucap Sarah
sambil memeluk ayahnya. “Ini pasti karena bapak, ini salah bapak nduk..” jawab
pak Maksum turut menangis. “Tidak pak, ini bukan salah bapak. Mungkin Yardan
memang bukan jodoh Sarah. Sekarang apa
pun kata bapak akan Sarah ikuti, Sarah tidak akan lagi menentang pilihan bapak,
karena Sarah tahu bapak pasti menginginkan yang terbaik. Jika menerima Fadli
adalah hal terakhir yang bisa Sarah lakukan untuk membahagiakan bapak, Sarah
akan siap menerima Fadli pak.” “Subhanallah, nduk. Bapak bangga padamu. Bapak
bahagia memiliki anak sepertimu. Ya
sudah, biar hati kita tenang, ayuk kita salat maghrib berjamaah. Bapak wudhu
dulu ya nduk..” “Iya pak, Sarah juga.”
Sarah
dan ayahnya salat dengan khusyuk. Mereka tenggelam dalam segala perasaan yang
melebur menjadi satu, ada rasa sedih, haru, bahagia dan ada rindu. Terlebih
setelah mendengar ayat-ayat Qur’an yang pak Maksum baca. Mengalir ke relung
hati mereka yang haus akan rahmat dan hidayah Allah. Tak terasa air mata Sarah
terus mengalir membasahi wajahnya yang sayu dan di penuhi gurat kesedihan. Ia
merasa, hanya Allah-lah satu-satunya sumber kekuatan, Dia-lah satu-satunya
tempat bergantung dan menyandarkan hati yang terluka.
Ketika
cinta berpaling, ketika hati menjadi serpihan-serpihan kecil, ketika ujian demi
ujian terasa begitu berat untuk ditanggung sendiri. Maka kemanakah diri berlari
mencari kekuatan agar hati mampu terus bertasbih? Ya, Allah lah sumber kekuatan itu. Kepada-Nya
lah semua bermuara.
Usai
mengucap salam, Sarah berdoa pada Tuhannya,“Wahai pemilik nyawaku, betapa
lemahnya diriku ini. Berat ujian dari-Mu ku pasrahkan semua pada-Mu. Kini,
hanya kuharap cinta dan ridho-Mu. Sakit yang kurasa biar menjadi penawar
dosa-dosaku. Butir-butir air mataku teringat semua yang telah Kau beri untukku,
ampuni khilaf dan dosaku ya Allah. Kuatkan lah aku dan jika aku harus mati
pertemukanlah aku dengan-Mu yaa Robbii..”
Blek.. Sarah terjatuh dan pingsan. Pak maksum kaget dan
dengan sigatnya membawa Sarah ke rumah sakit. Di perjalanan pak Maksum
menelepon beberapa orang yang beliau kenal, seperti mbak Ulmi dan mbak Ruqoyah
serta keluarga Fadli. Yardan dan adiknya juga turut beliau kabari.
Lima
jam sudah berlalu. Sarah telah melewati masa kritisnya. Kini semua yang ada di
rumah sakit sudah berkumpul menemani Sarah yang tergolek tak berdaya. Yardan
menangis melihat keadaan Sarah yang selama ini tak diketahuinya sama sekali.
“Sarah, maafkan aku. Sekarang bangunlah. Aku mencintaimu, aku tidak ingin
kehilanganmu untuk kesekian kalinya. Tadi kamu bilang kita akan berjuang
bersama, ayo bangun. Buktikan pada semua orang bahwa kau wanita yang kuat. Ayo
bangun Sarah…” Jeritan Yardan menyayat hati siapa saja yang mendengarnya.
Sarah
membuka matanya, ia hendak berbicara. Dengan terbata ia berkata, “Yardan,
maafkan aku ya. jika kau lebih mencintai Allah dan rasul-Nya dari pada mencintaiku,
ikhlaskanlah aku. Buktikan bahwa kau mampu menjadikan Alika muslimah sejati.
Sungguh itu lebih baik bagimu…”
“Bapak,
maafkan Sarah belum bisa membahagiakan bapak. Sarah capek pak, Sarah mau
istirahat… Laa…ilaaha…illallaaah” perlahan mata teduh itu mulai terpejam dengan
sebongkah senyum yang terbit dari bibir
mungilnya. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, telah tiba saatnya cinta
itu memanggil. Di saat ia di hadapkan dengan dua pilihan yang sulit, ia lebih
memilih ikhlas, ia lebih Allah sebagai cinta sejatinya yang abadi. Ia lebih
memilih bertemu Tuhannya. Kini iapun telah pergi untuk selama-lamanya. Tetapi
semoga semangatnya tak akan pernah mati. Taman belajar itulah yang kini menjadi
bukti sejarah bahwa semangat dan cintanya tak pernah mati. Selamat jalan Sarah
an-Nurillah.
"Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhamu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu. Dan masuklah
ke dalam surgaKu" (QS Al-Fajr :27-30)