Hikmah Hari Ini :

"Kaya yang Sebenarnya Adalah Ketenangan Jiwa"

Rabu, 23 Mei 2012

Manisnya Sebuah perjuangan

Seperti biasa, aku bangun pagi dengan penuh perjuangan. Setelah semalaman begadang, aku tetap harus bangun pagi, aku harus semangat mengajar lagi. Ya, mengoreksi soal, mengisi raport, dan membuat laporan bulanan adalah tugas-tugas yang harus aku selesaikan dalam waktu dekat ini. Sungguh, sebuah tugas yang harus aku selesaikan dengan penuh perjuangan, perjuangan melawan kantuk, capek, malas dan rasa pegal-pegal yang terasa menusuk tulang belulang. Namun, pagi ini dengan sisa semangat yang melekat di dada, kuteruskan langkah kaki menuju taman belajar, taman bermain yang indah dan menyejukkan hati. BKB-PAUD Melati …

Entah kenapa, pagi ini aku merasakan ada hawa yang berbeda. Hawa tanpa semangat biasanya. Hawa yang dipenuhi rasa kekecewaan. Betapa tidak, Sudah lebih dari tiga pekan aku menanti dengan harap-harap cemas sebuah pengumuman beasiswa. Sejak bulan Nopember berganti dengan Desember, hampir setiap malam aku pantengin sebuah situs web bernama www.beasiswajakarta.com. Situs inilah yang memberi harapan dimana aku diterima sebagai penerima beasiswa rekruitmen baru tahun 2011/2012 di Yayasan Beasiswa Jakarta. Dan tadi malam, aku sangat berharap namaku, Aida, dan nama sahabatku, mbak Erlina, terpampang di www.beasiswajakrta.com itu. Namun, hingga aku lelah memantenginnya, beranda di situs itu belum juga berubah, belum ada tanda-tanda penerima beasiswa itu di umumkan. Padahal, ketika aku dan mbak Erlina mengajukan beasiswa itu, Pak Syafi’i, bapak yang mengurusi beasiswa khusus Perguruan Tinggi, mengatakan kepada kami, bahwa pengumuman dapat dilihat sejak awal bulan Desember. Dan saat itu kami sangat optimis pengajuan kami diterima. Namun, diawal bulan Desember, pengumuman belum tertera di web yayasan itu. Beberapa minggu kemudian, mbak Erlina bilang ternyata pengumuman itu akan diberitahukan  dipertengahan bulan Desember ini. Ya, aku merasa sedikit lega karena itu berarti masih ada kesempatan bagiku untuk bersabar menanti pengumuman itu.

Hari-hari pun terlewati. Tibalah saatnya aku melihat pengumuman itu lagi. Namun, tetap saja belum ada pengumuman yang berarti, aneh..! gumamku. Aku semakin resah ketika angka dikalenderku sudah menunjukan bahwa hari ini tanggal 20 Desember. Belum ada pengumuman.. Ditambah lagi, sekarang mbak Erlina pindah kost-an dan belakangan sangat susah dihubungi. Membuat aku gelap informasi tentang baesiswa ini, apa yang sebenarnya terjadi..? Huh, aku mendesah pasrah. Ya Allah, Bila memang beasiswa itu rezeki hamba dari-Mu, dekatkan dan mudahkan hamba dalam meraihnya, namun, jika itu bukan rezeki hamba, jadikan hamba-Mu ini, hamba yang sabar ! Doaku penuh harap.

Masih dalam keadaan kurang semangat, hari ini aku mengajari anak didikku bagaimana menempel kertas di atas gambar dengan tehnik mozaik, aku bersama adik-adik kecil duduk melingkar. Karena bulan ini temanya ‘Tanah Airku’, aku pun menggambar bendera Indonesia, Bendera Merah Putih di buku gambar masing –masing anak. Lalu mereka memenuhi permukaan gambar tersebut dengan robekkan kertas kecil-kecil yang sudah di olesi lem. Kertas warna merah untuk bagian atas, dan kertas putih untuk bagian bawah. Tampaknya, mereka sangat bersemangat mengerjakan mozaik ini. Hingga aku tak perlu berlama-lama mengajari mereka. Mereka, bocah-bocah imut berusia 4-5 tahun ternyata bisa mengerjakannya sendiri dengan baik dan serius. Dengan terampil jari-jari merekapun menempeli kertas demi kertas dengan riang gembira. Bangganya !! J

Ditengah-tengah kesibukan kami, tiba-tiba Alya memanggil namaku,
“Bu Gulu, hape-nya bunyi !“ suara cadelnya membuyarkan konsentrasiku.
Tanpa disuruh, dengan sigapnya bocah manis berpipi tembem itu pun mengambil hapeku yang berada diatas meja kantor.
“ini bu gulu…” Tuturnya halus sembari menyerahkan hape itu.
“Subhanallah, pinter sekali ! Terimakasih ya anak manis !” sambutku tak kalah halus.
“sama-sama bu gulu cantik…” balas Alya sambil memamerkan gigi-giginya yang gupis. Bocah manis ini memang selalu membuatku gemas. Hehhmmmm..

Oh, ada sms masuk. Dari mbak Erlina ?! dengan penasaran aku buka sms itu..
“ Aidaaaaaaaa…. Nama qt da di ya2san beasiswa….”  
Hah, benarkah? Untuk meyakinkan, aku baca sms singkat yang tampak girang itu sekali lagi dengan seksama. Benar, aku tak salah baca.. Alhamdulillaah, pengajuanku diterima.. !!! Tiba-tiba, sms sederhana itu seakan menjadi infuse yang kembali menyegarkan tubuhku yang sejak kemarin seakan kehabisan cairan.
Ya Allah, Subhanallah wal hamdulillah….. terimakasih yaa Allah atas kabar gembira ini. Pengajuan beasiswaku diterima. Kau kembalikan semangat hamba dengan kejutan ini, Engkau sungguh luar biasa….. Ya Allah, terima kasih !

Betapa bahagianya aku. Sungguh hatiku girang, senang bukan kepalang. Perjuanganku tidak sia-sia, pengorbananku dibayar oleh Allah dengan kabar baik ini… Alhamdulillah.. kalimat syukur ini terus menggema di dadaku. Saking bahagianya, aku sampai memeluk dan menciumi murid-murid kecilku. Hingga mereka terbengong-bengong melihat tingkah anehku. Mungkin dalam benak mereka masing-masing saling bertanya-tanya. Ada apa dengan guruku yang baik hati ini…? Hehe… Tapi, aku tetap menciumi kepala mereka satu persatu tanpa menghiraukan kebingungan mereka. Salah satu diantara mereka, Haikal namanya, kemudian bertanya dengan bingung “Ada apa Bu Aida ?” “Tidak ada apa-apa. Ibu sayang kalian..” jawabanku semakin membuat mereka terbingung-bingung…

Bel istirahat berbunyi. Memberi aku kesempatan untuk membalas sms dari Mbak Erlina.
“ Alhamdulillahi robbil ‘alamiin !… trus kapan mbak qt ambil formulirnya?” tanyaku penuh antusias.
“besok ja da, tp aq coba minta izn dlu sama boz…”
“y udh mbak, insyaa Allah bsok yaa…”

Keesokan harinya, aku izin dari mengajar untuk mengambil formulir di Balai Kota Jakarta. Karena mbak Erlina tidak bisa izin, akhirnya aku ditemani ibuku tercinta kesana. Sesampainya disana, kantor Balai Kota tampak sudah dipadati oleh para pelajar yang namanya juga disebutkan sebagai penerima beasiswa. Dari pelajar tingkat SD, SMP, SMA sampai Mahasiswa semua berkerumun disana untuk mengambil formulir. Satu persatu dari mereka bertanda tangan kemudian menerima lembaran formulir. Tiba saatnya aku yang bertanda tangan sebagai bukti pengambilan formulir. Setelah bertanda tangan, pak Syafi’I memberi selamat kepadaku dan menerangkan dengan singkat teknik pengisian dan pengembalian formulir itu.

Setelah keluar dari ruangan, aku tersenyum lega.  Lembaran formulir itu benar-benar membuat hatiku bahagia. Sebuah kebahagiaan yang sulit untukku lukiskan. Bagiku, beasiswa ini sangatlah berarti. Karena beasiswa inilah yang akan membantuku melunasi tunggakan-tunggakan biaya kuliah yang sudah menggunung seabreg dan selama ini belum bisa ku cicil. Tentu ini akan menambah semangatku dalam menimba ilmu di kampus tercinta, kampus STAI Imam Syafi’I Jakarta.

Kebahagiaan yang sama ternyata juga dirasakan oleh mbak Erlina. Ia yang belakangan ini vacuum dari kuliah, mulai merintis semangatnya lagi. Semoga, semangat yang ia dapat kali ini tidak akan luntur lagi. Karena bagaimanapun, selalu ada jalan ketika kita bersemangat dalam meraih sesuatu. Walau ditengah perjalanan nanti, akan ada rintangan dan masalah yang menantang dan menguji kesabaran, namun, semangat itulah yang akan selalu menguatkan. Di tambah dengan iman yang akan menjaga kita dari keterpurukan. Harapanku, dan harapan kita semua ( SahabaT ImAm Syafi’I_STAI ) semoga mbak Erlina dan sahabat kami yang masih belum aktif, bisa semangat dan aktif kembali dalam mengikuti perkuliahan seperti dulu. Aamiin …

Mengenang kebahagiaan ini, aku teringat tentang sebuah perjuangan cukup panjang ketika kami berusaha mengajukan beasiswa, sampai akhirnya kami berhasil mendapatkannya. Sekadar flashback yaa !!! ini dia cerita kami…

Waktu itu, sekitar bulan Juli ketika kami masih duduk di semester dua, Kak Sholeh menawarkan sebuah brosur beasiswa dari Yayasan Beasiswa Jakarta. Dari brosur itu dapat kami ketahui bahwa persyaratan untuk mendapatkan beasiswa tersebut ialah sebagai berikut :

Persyaratan Umum :
-          Mengajukan surat permohonan yang di tujukan kepada ketua umum Yayasan Beasiswa Jakarta, dengan melampirkan kartu keluarga dan kartu mahasiswa
-          Bertempat tinggal di DKI Jakarta minimal tiga tahun dan bersekolah/kuliah di Jakarta
-          Berkelakuan baik, rajin dan jujur, tidak terlibat penggunaan narkoba dan obat terlarang serta tidak mengikuti program sebagai penerima beasiswa dan lembaga/instansi lain.
-          Surat keterangan tidak mampu
-          Surat persetujuan orang tua
-          Surat pernyataan tertulis dari siswa untuk mematuhi semua peraturan yang ditetapkan

Persyaratan khusus :
-          Usia maksimal 25 tahun
-          Memiliki Index Prestasi Komulatif ( IPK ) minimal 2,8 untuk mata pelajaran social, dan IPK minimal 3,0 untuk mata pelajaran exsact.
-          Melampirkan surat keterangan belum menikah

Setelah membaca persyaratan itu, tampak sedikit sekali yang berminat untuk mengajukan beasiswa tersebut. Mengingat banyak diantara kami yang merasa tidak bisa memenuhi persyaratan itu, seperti : Fitri yang belum mempunyai KTP DKI, Babay yang sudah menikah, pak Aiman yang umurnya sudah diatas batas maksimal ( Hehe, nyuwun pangapuntene pak Aiman… J ), Susan yang tidak ada waktu untuk mondar-mandir ke RT, RW, kelurahan, kecamatan karena sibuk bekerja. Dan masih banyak sahabat yang lain yang saat itu tidak mengajukan, karena telah menerima beasiswa dari instansi lain. Mungkin itu semua menjadi kendala. Namun, aku dan mbak Erlina begitu antusias untuk bisa mendapatkan beasiswa ini. Kami bersemangat dan yakin bisa berusaha memperoleh beasiswa ini. Setelah merasa yakin, dengan Bismillah kami berdua pun bertekad untuk bersama-sama memenuhi berkas-berkas yang  menjadi persyaratan itu.

Langkah pertama yang kami lakukan ialah membuat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), Surat Keterangan Belum Menikah (SKBM), dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Untuk membuat itu semua, kami harus mendatangi ketua RT dan RW untuk meminta Surat Pengantar. Tentu tidak mudah, karena pak RT dan pak RW ini sangat susah ditemui. Terkadang aku harus menunggu berjam-jam, namun tak kunjung datang. Akupun terpaksa pulang dengan tangan hampa dan esok kembali menunggu lagi.

Langkah selanjutnya ialah membuat SKTM, SKBM, dan SKCK di kelurahan. Setelah mendapat Surat Pengantar, esoknya kami meluncur kekelurahan dengan membawa Surat Pengantar disertai fotokopi Kartu Keluarga (KK) dan fotokopi KTP orang tua. Dalam proses ini kami juga menemui kendala, yakni KK kami belum ditandatangani oleh Lurah setempat. Hal itu membuat petugas kelurahan enggan meladeni kami.
“ Ini sudah menjadi peraturan, setiap KK harus ditandatangani oleh Lurah. Kalau tidak ada, ya berarti KK ini palsu dan tidak berlaku…” bantah seorang petugas berkumis tebal.
“ Tapi Pak, KK ini asli, hanya saja saat pembuatan KK, pak Lurah tidak ada ditempat. Tolonglah Pak, kami sangat butuh surat keterangan itu untuk keperluan kuliah kami ?” jawabku penuh iba.
“ Pokoknya, kalian urus dulu KK itu sampai ada tanda tangannya pak Lurah yang asli, tidak boleh atas nama. Baru akan saya buatkan…” tukasnya, tak mau tahu.

Mendengar jawaban itu, kami berdua saling berpandangan dan akhirnya bergegas mencari tanda tangan pak Lurah. Namun, setelah menelusuri setiap sudut dan bertanya sana sini, ternyata pak Lurah sedang tidak ada di tempat. Entah apa alasannya. Yang jelas kami agak kecewa, kenapa setiap kali di butuhkan, beliau tidak ada ditempat. Apa sebenarnya tugas seorang Lurah ? bukankah melayani masyarakat ? apa harus selalu sibuk dengan urusan diluar ??? maafkan kami…

Untuk kedua kalinya, kami kembali memohon kepada petugas kelurahan agar membuatkan kami SKTM dan SKMB hari ini juga. Karena, bagi kami yang memiliki tanggung jawab untuk bekerja, hanya memiliki waktu hari ini. Izin satu haripun rasanya sangat berat dan butuh perjuangan ketika menghadap Kepala Sekolah tempat aku mengajar. Kami tidak mungkin izin lagi. Namun, petugas itu tidak mau tahu apapun alasan kami, dia tetap kukuh tidak mau membuatkan, sebelum KK kami ditandatangani pak Lurah. Kami terus merengek dan berjanji setelah ini akan meminta tanda tangannya. Tapi, sama sekali tak digubrisnya.
Gleeg… kami hanya bisa menelan ludah. Sebegitu pentingnyakah tanda tangan seorang Lurah ? sebegitu berartinyakah tanda tangannya. Hingga KK kami dianggap tak berlaku tanpa tanda tangan itu? Sampai-sampai permohonan kami tak berarti apa-apa tanpa tanda tangan itu ?

“Nggak apa-apa Da. Inilah perjuangan ! kita harus semangat. Besok kita kesini lagi minta tanda tangan itu.. Semoga pak Lurahnya ada ! “ kata-kata mbak Erlina menularkan semangat kepadaku. Aku mengangguk mantap.

Besoknya, kami meminta izin lagi. Meski berat namun kami tetap harus izin. Dan karena keyakinan dan keoptimisan kami, hari ini pun menjadi hari yang lebih baik dari kemarin. Pak Lurah ada, SKTM, SKBM, dan pun selesai dibuat. Sejurus kemudian kami menuju Polsek Penjaringan untuk membuat SKCK dan dilanjutkan meluncur ke Kecamatan untuk meminta tanda tangan pak Camat. Walau melelahkan, namun kami bahagia karena hari ini semua urusan berjalan mulus. Alhamdulillahi robbil ‘alamiin..

Perjalanan kami tidak berhenti sampai disitu. Masih ada beberapa berkas yang harus kami penuhi dan tak kalah pentingnya, yakni Transkip Nilai, Surat Keterangan berkelakuan baik dari pihak kampus, Keterangan sedang aktif kuliah di STAI-Imam Syafi’I Jakarta, dan keterangan tidak sedang menerima beasiswa dari instansi lain. Namun, karena saat itu perkuliahan sedang libur bulan Ramadhan, maka sudah dipastikan para dosen tidak hadir di kampus. Untunglah, dosen kami, Bapak Hasan Luthfy Attamimy, M.A selaku ketua jurusan PAI dibantu dengan putranya, Kak Obby, bersedia dengan setulus  hati membantu kami membuat semua berkas tersebut. Dalam hitungan hari, semua berkas tersebut selesai dibuat dengan baik. Alhamdulillahi robbil ‘alamiiin...
Pak Luthfy dan Kak Obby, kami ucapkan Jazakumullah khairan khairul jazaa. Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan kalian dengan balasan yang jauh lebih baik. Aamiin yaa Mujibbatsaailiin…

Yak, semua persyaratan lengkap dan beress ! kami siap mengantarkannya ke Balkot (Balai Kota Jakarta). Namun, lagi lagi tentang perjuangan. Dalam keadaan berpuasa, ditengah terik mentari yang begitu panas membakar kulit, kami berjuang menemukan alamat Balkot itu. Maklumlah, biarpun sudah lama di Jakarta, kami tetap seorang anak daerah yang tak tahu jalan karena jarang sekali keluar. Akibatnya, “nyasar” menjadi sesuatu yang tak bisa terhindarkan. Apalagi ketika kami bertanya kepada seseorang yang tak dikenal, kami justru mendapat alamat palsu, (tapi kami kan bukan Ayu ting-ting , hehee…) Namun pada akhirnya, kami bisa melewati ini semua dan bisa kembali pulang dengan hati puas lagi yakin diterimanya pengajuan ini. Tinggallah kami menunggu pengumuman dengan berserah diri kepada Allah dan berdoa. Hamba tahu, Engkau Maha Melihat perjuangan kami Ya Allah !
Demikianlah pengalaman kami kawan…

Sampai saat ini, kami selalu tertawa terpingkal-pingkal ketika kami mengingat pengalaman nyasar ini. Dan bertambahlah rasa syukur kami ketika kami mengingat hasil dari perjuangan ini. Sungguhlah manis, kawan…
Semoga, pengalaman ini mampu menguatkan keyakinan kita tentang janji Allah bahwa siapa saja yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkan apa yang menjadi harapannya. Kami telah membuktikan, ketika kami bersungguh-sungguh meraih beasiswa dengan segenap usaha, doa, keyakinan,  dan pantang menyerah, akhirnya dengan seizin Allah, kamipun mendapatkannya.  Kami bisa, kalian pun pasti bisa !!!

Minggu, 20 Mei 2012

Ketika Cinta Memanggil


            Senja yang indah bergelut dengan kabut yang mengulum diatas awan. Membuat senja tampak gelap sebelum waktunya. Gemuruh petir terdengar mencekam dari seluruh penjuru langit. Hal itu menandakan mungkin hujan akan segera turun. Dengan berlindung di balik jas hujannya yang lusuh, Yardan terus melajukan motor Matic-nya, ia berharap sebelum maghrib tiba, ia sudah sampai di rumah. Hujan kemudian turun dengan derasnya, membuat pandangannya terhalang oleh tetesan air hujan yang semakin rapat dan padat. Tanpa di sadari, hampir saja Yardan menubruk seorang wanita yang tengah melintas dihadapannya. Wanita itu memakai gamis hijau lumut dengan jilbab hijau muda yang berkibaran tersapu angin.  Payung merah mudanya pun tampak terseok-seok melawan laju angin. Ia menjinjing seikat kain dan dipunggungnya melekat sebuah tas ransel berukuran besar, ia tampak kerepotan dan terburu-buru.

Cccccrrrrrrttttttttt…..! Yardan mengerem motornya mendadak. “Astaghfirullaah..!!” Ia kaget dan panik. Kontanlah, wanita itu terhempas di atas kerikil aspal yang basah dan  licin.
 “Aduuh, mbak ini… kalau mau nyebrang hati-hati donk. Lihat kanan kiri. Jangan asal nyebrang saja, kan bahaya. Kalau sampai mbak kenapa-kenapa bisa-bisa saya dibawa ke kantor polisi. Saya paling nggak mau berurusan dengan yang namanya polisi. Ayo cepat bangun..!!!” Cerocos Yardan karena panik sembari mengulurkan tangan kanannya bermaksud menolong wanita itu. Namun, wanita itu bersusah payah untuk bangun sendiri.
“Tidak apa-apa kok mas, saya Cuma kaget saja..” suara lembut nan tegas itu terdengar dari balik payung merah mudanya.

“Maaf mas, ini memang salah saya. Saya sedang buru-buru, sampai-sampai saya tidak tahu kalau di depan saya ada motor.” Kata gadis itu lagi sembari berusaha bangkit dengan tertatih.
Mendengar suara lembut itu, kepanikan Yardan mulai sirna dan tak tega telah berkata seperti itu padanya. Yardan kemudian tercenung sesaat. Suara itu sangat ia kenal dan tak asing lagi ditelinganya. Tapi siapa ? Hatinya bertanya-tanya.

Wanita itu beringsut merapikan buku-bukunya yang berserakan dan basah terkena air hujan akibat ikatan kainnya terlepas. Sementara Yardan hanya mematung memikirkan siapa gerangan wanita yang suaranya bersenandung itu. Angin tiba-tiba berhembus lebih kencang hingga menerbangkan payung milik gadis itu. Seketika, terlihatlah wajahnya oleh Yardan. Yardan terbelalak, tak percaya bahwa yang dilihatnya itu gadis bermata teduh yang sangat ia kenal dan telah lama menghilang.

“Sarah.. benarkah itu kau?!” Tanya Yardan dalam hati. Untuk meyakinkan, dia mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali. Matanya masih belum percaya, namun hatinya sudah yakin dan mantap bahwa gadis itu ialah gadis yang selama ini di rindukannya. “Mungkin kah gadis itu bernama Sarah An-Nurillah?” Hatinya terus meraba.

Menyadari bahwa hujan semakin deras, sementara payungnya telah lenyap di terpa angin, gadis itu mulai panik dan berlari mencari tempat untuk berteduh. Yardan bingung tak tahu apa yang mesti dilakukan. Akhirnya ia memutuskan mengikuti gadis yang dia yakini bernama Sarah itu hingga sampai ke sebuah halte bus. Sesaat lamanya, Yardan mencoba mencuri pandangan gadis itu. Ia ingin sekali memastikan bahwa gadis itu memang Sarah, gadis yang dulu di cintainya ketika mereka kuliah di Perguruan Tinggi yang sama, tiga tahun yang silam.
Gadis itu masih tampak sibuk dengan buku-buku yang tadi sempat berjatuhan. Untuk memalingkan perhatiannya, Yardan berdehem beberapa kali. Gadis itu pun kemudian bangkit dan memelingkan wajahnya kepada Yardan. Seketika, kedua mata mereka saling bertemu, mereka bertatapan.

“Yardan…?!!!” Lirih gadis itu dengan bibir bergetar.
“Iya, Sarah.. ini aku, Yardan” jawab Yardan tak kalah gemetarnya.
“Ini bukan mimpi kan?” Tanya Sarah lagi, memastikan.
Yardan hanya mampu menggelengkan kepala. Ia tak menyangka akan bertemu gadis itu di senja bertabur gerimis ini. Nafasnya naik turun, jantungnya berdebar-debar, keringat dingin pun keluar melalui pori-pori kulitnya, ia mendadak gugup dan salah tingkah. Sementara Sarah, ia juga tak kalah gugupnya, namun ia berusaha sekuat tenaga menguasai hati dan perasaannya, hingga kegugupannya pun tak begitu tampak di depan Yardan. Dengan senyumannya yang khas, Sarah tampak begitu tenang. Namun, sejujurnya ia ingin menunjukkan kerinduan yang selama ini terpendam. Namun, Sarah terlalu malu.
Yardan tertunduk bahagia. Hatinya seakan bersenandung seirama dengan gemericik air hujan di senja yang menawan itu. Hawa sejuk pun bertiup pelan kerelung hatinya. Air hujan terasa menyirami taman bunga di dasar jiwanya hingga bunga-bunga cinta yang dulu pernah bersemi, kini serasa bermekaran kembali. “Astaghfirullah..” Yardan beristighfar di dalam hati. Ia masih belum bisa menguasai perasaannya. Ia baru merasakan betapa rindunya Yardan dengan Sarah selama ini setelah mereka di pisahkan cukup lama. Ternyata Mereka saling memendam rindu yang sama.

“Kamu baik-baik saja kan Yardan?” Tanya Sarah membuka suara.
“Alhamdulillah Sarah. Aku.. aku baik. Kemana saja kamu selama ini? Kenapa kamu menghilang begitu saja, Sarah?”
 “Ceritanya panjang Yardan..” mata Sarah menerawang. “Setelah kelulusan itu, tiba-tiba ayahku jatuh sakit. Beliau minta dirawat di kampung saja. Akhirnya kami memutuskan pulang ke Jogja. Tapi, ketika dalam perjalanan, kami mendapat musibah, kami dirampok. Semua barang-barang bawaan kami ludes. HP dan uang ku raib. Itu sebabnya aku tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Untungnya kami masih bisa melanjutkan perjalanan hingga sampai ke Jogja. Dan sekarang bisa kembali lagi ke Jakarta dengan selamat. Ketika tinggal disana, aku mendapat banyak pelajaran berharga Yar. Hingga aku yakin, bahwa apa pun mimpi kita, bisa kita wujudkan, selama kita benar-benar berusaha mewujudkannya. Disana aku berhasil mengejar mimpi-mimpiku. Yang ternyata mimpi itu sama dengan mimpimu. Apa kau masih ingat dengan mimpi itu ?”

“Iya Sarah, aku tentu ingat. Mimpi kita yang menjadi pengusaha sukses dan mendirikan sekolah gratis itu kan?! Apakah sekarang kamu sudah bisa mewujudkan mimpi itu?”
“Alhamdulillah. Aku sedang merintisnya Yar. Disamping aku berjualan buku-buku ini, aku juga membuka sebuah Taman Belajar gratis bagi anak-anak yang belum berkesempatan mengenyam pendidikan formal. Taman Belajar ini aku beri nama Taman Belajar An-Nurillah. Tidak begitu jauh kok dari rumahku dan baru berjalan sekitar tiga bulan ini. Doakan ya Yar, semoga usahaku ini di berkahi Allah…”

“Subhanallah, ternyata kamu serius dan tidak main-main dengan mimpi itu..”
“Jelas lah Yardan, aku serius. Aku ingat kata-katamu waktu kita masih kuliah dulu. Waktu aku suka iseng-iseng berjualan kue atau sekadar membantu Mayang ketika belajar, kamu selalu bilang ‘kalau kita punya hobi, jangan hanya iseng-iseng, tapi cobalah di tekuni dengan sungguh-sungguh meskipun hanya hobi yang sederhana . Siapa tahu suatu saat bisa menjadi sesuatu yang besar’. Ingat tidak dengan kata-kata itu?”
Yardan tersenyum bangga. Kegagumannya pada gadis itu belum juga pupus sampai saat ini, bukan kali ini saja dia kagum padanya. Tetapi sejak dulu. Sejak pertama kali mereka dipertemukan, Yardan kagum pada gadis pemimpi yang gigih itu. Gadis yang memberinya semangat, gadis yang melukiskan mimpi di setiap malam-malamnya. Dan dia gadis yang telah memberi warna dalam hidupnya. Namun sayang, hingga kini gadis itu belum juga mengetahui rahasia yang tersimpan di hati Yardan. Yardan pun pernah berpikir, mungkin setelah perpisahan itu, harapan untuk bertemu lagi hanyalah  angan-angan kosong. Ah, ia masih mengira bahwa pertemuan ini hanya mimpi.

“Oh iya, bagaimana dengan Mayang. Apa dia sudah melanjutkan ke Perguruan Tinggi?” pertanyaan Sarah membuyarkan lamunannya.
“Alhamdulillaah. Dia melanjutkan di perguruan tinggi swasta di daerah Bekasi. Dia ambil jurusan Bahasa dan Sastra. Sekarang sudah semester lima..”
“Oh ya? Subhanallah.. ternyata dia juga serius menekuni hobi menulisnya ya? Aku rindu sekali sama si kutu buku itu. Hehe.. Kalau kamu sendiri bagaimana? Kenapa waktu itu kamu cuti dan tidak ikut wisuda ?”
“Ehmm, iya. Aku memang tidak ikut. Sebagai seorang kakak yang mengemban amanah besar, aku harus rela mengorbankan pendidikanku demi pendidikan adikku satu-satunya, si Mayang.  Saat itu, dia benar-benar harus kuliah. Tapi karena terbentur masalah biaya, akhirnya aku saja yang mengalah. Tapi Alhamdulillah, sekarang aku sudah semester akhir dan  sedang sibuk menggarap skripsi.”
“Subhanallah, kamu bukan Yardan yang dulu. Kau sudah berubah menjadi Yardan yang dewasa dan penuh tanggung jawab.. sungguh aku salut padamu..” Tanpa sadar Sarah mengucapkan kata-kata itu. Namun sayang, ia hanya bisa membatin. Ia terlalu malu mengutarakan isi hatinya. Hanya hatinya dan Allah saja yang mendengar kata-kata itu.
“Syukurlah kalau begitu. Lha ini kamu dari mana Yar?” Tanya Sarah mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya, Aku dari  warung nasi goreng pakde ku. Sudah setengah tahun ini aku membantu beliau. Ya, hitung-hitung untuk latihan berwirausaha, merintis mimpi-mimpi kita. Hehe..”
“Wah, hebat juga kau rupanya. Mungkin kita bisa bekerja sama ya untuk mewujudkan lukisan mimpi itu?”
“Tentu, Insya Allah. Eh iya, aku antar kamu pulang ya. Hari sudah gelap. Tidak baik wanita pulang sendiri”
Sarah menyerngitkan dahi…

“Eits, jangan heran kalau sekarang aku berani menawarkan diri untuk mengantar kamu. Kalau dulu aku memang tidak berani, karena aku sendiri saja masih harus naik angkot kemana-mana. Tapi sekarang.. lihat tuh, aku sudah punya si Merah yang siap mengantarkanku kemana pun aku pergi…Heheeheh..” kata Yardan bangga sambil menunjuk motor matic warna merahnya yang ia parkir didepan halte..”
“Bukan begitu Yardan, tapi… aku takut……”
“Takut apa? Fitnah. Tenang saja, insya Allah tidak akan ada fitnah. Lagi pula memangnya kamu mau nanti kehujanan lagi atau malah kesrempet motor lagi? Tak mau kan? Makanya lebih baik aku antar kamu pulang, sekalian aku sowan sama bapakmu. Boleh kan?”
“Emmm. Ya sudah. Tapi tidak boleh macam-macam yaa..” Kata Sarah malu-malu.
“Masa tidak percaya sama orang seperti aku… semua orang juga tahu. Hehe…”

Adzan maghrib bergema mengiringi perjalanan mereka. Setibanya dirumah, Pak Maksum sudah menanti putri semata wayangnya. Beliau berbincang-bincang seperlunya dengan Yardan. Setelah itu Yardan pamit pulang. Di ujung pintu, Sarah memberikan sesuatu padanya, sebuah catatan kecil berjudul “Suara Hati Seorang Ukhti”. “Aku titip catatan ini untuk Mayang ya.. Catatan ini aku tulis sendiri, isinya kurang lebih tentang pengalaman hidupku selama aku tinggal di Jogja. Semoga Mayang suka membacanya…” ucap Sarah ketika menyerahkan catatan itu.
“Terima Kasih ya. Aku yakin, Mayang pasti suka. Apalagi ini dari kamu. Dia juga sangat merindukan kamu. Kalau dia ada waktu, nanti aku suruh dia main kemari. Insya Allah..” ujar Yardan turut senang.
Sarah mengangguk sambil tersenyum.

“Nduk, si Dadan sudah pulang?” Tanya pak Maksum begitu melihat Yardan pergi dengan si Merahnya.
“Yardan namanya Pak, bukan Dadan..”
“Ya, siapa itulah namanya. Dia itu si bocah ingusan yang dulu suka pinjam buku pelajaran kamu itu kan? Ngapain dia kesini?”
“Kenapa Bapak bertanya seperti itu? Yardan itu bukan anak ingusan Pak. Dia sudah dewasa, dia mandiri sudah bisa membiayai hidup dirinya dan juga adiknya. Dia kesini ya untuk silaturrahmi sama Bapak. Memangnya salah ya Pak?”
“Salah sih tidak. Hanya saja bapak kurang suka dengan sikapnya..”
“Sikap Yardan yang mana Pak?”
“Ya pokoknya Bapak kurang suka dengannya..”
“Tapi dia sudah berubah Pak. Buktinya, dia rela berhenti kuliah demi adiknya. Sekarang sambil kuliah dia juga berjualan nasi goreng dan dia sama sekali tidak gengsi. Coba Bapak bayangkan, jarang sekali kan ada pemuda di zaman sekarang yang mau bekerja seperti itu ?”
“Sudah nduk, sudah.. kamu jangan berlebihan menilai dia. Itu baru sebatas penilaian indrawi. Kamu belum tahu betul bagaimana kehidupannya yang sebenarnya. Ingat, yang harus kamu pikirkan adalah jawaban untuk Fadli. Minggu depan dia akan kesini lagi menerima jawaban itu. Bapak harap kamu bisa memberikan jawaban terbaik. Kasihan dia kalau harus menunggu terlalu lama tanpa kepastian yang jelas…”

“Jujur Pak, Sarah belum siap menerima dia. Sarah masih ragu meskipun sudah istikharah..”
“Bapak mohon jangan kecewakan bapak lagi, Nduk. Bapak sudah sering merasa malu karena setiap orang yang datang melamar kamu selalu kamu tolak. Mau menunggu yang bagaimana lagi kamu, Nduk?”
“Sarah tidak menunggu yang bagaimana-bagaimana pak. Sarah hanya menunggu laki-laki yang saleh, pas dihati Sarah dan mendukung cita-cita Sarah. Itu saja..”
“Memangnya kurang saleh apa Fadli? Dia kan lulusan pondok dan sudah bertahun-tahun belajar ilmu agama disana. Bapak saja sampai sekarang belum bisa menyekolahkan kamu ke pondok..”

Sarah merendahkan diri di hadapan ayahnya. Ia merasa, memang agak susah memahamkan ayahnya bahwa kesalehan seseorang tidak dilihat dari lulusan pondok atau bukan. Tidak dilihat dari pakai baju koko atau tidak. Tidak juga dilihat dari pakai peci putih atau yang lainnya. Betapa banyak lulusan pondok di negeri ini tapi belum tentu setelah keluar pondok ia mengamalkan dengan baik semua yang telah ia pelajari. Dan ia merasa hatinya belum cocok dengan Fadli. Ayahnya tidak akan nyambung bila diajak dialog masalah itu.
“Beri Sarah sedikit waktu lagi untuk berfikir ya Pak..”
“Mau sampai kapan?”
“Tenang saja pak, nanti kalau waktunya sudah tepat, Sarah juga akan bicara dan menentukkan pilihan yang Insya Allah terbaik..”
“Ya sudah lah. Kita bicarakan nanti lagi. Bapak sholat dulu. Sana kamu siap-siap..!” kata pak Maksum sambil berjalan menuju tempat sholat. Gurat kekecewaan tampak terlihat jelas di wajahnya, Sarah hanya bisa beristighfar dan berdoa semoga ayahnya bisa mengerti.

***
Sementara itu di tempat lain, yakni di rumah Yardan. Mayang, adik Yardan tampak terheran-heran melihat sikap Yardan yang tak biasanya. Dia terlihat begitu bahagia bahkan di kamar mandi pun dia bernyanyi-nyanyi seperti seorang penyanyi yang tak kesampaian.
“Kelihatannya bahagia sekali kak? Ada apa nih?” selidik Mayang begitu Yardan keluar dari kamarnya.
“Coba tebak, kenapa kakak bisa sebahagia ini?” jawab Yardan membuat Mayang semakin penasaran.
“Emmm, aku tahu. Pasti kakak habis naik gaji ya dari pakde. Aaah, iya kan??”
“Yah, tebakanmu kurang tepat. Siapa bilang naik gaji, baru juga pertengahan bulan..”
“Aha, kalau yang ini pasti benar. Kakak habis ketemu Mbak Alika kan? Ayo ngaku ! biasanya tidak ada yang bikin kakak senang selain ketemu Mbak Alika..”
“Ah, tebakanmu salah semua. Kalau ketemu Alika itu sudah biasa, tapi kali ini, percaya tidak? Kakak baru saja ketemu bidadari. Bidadari dari Jogja. Ha..ha. Kalau tidak percaya nih kakak punya buktinya..” kata Yardan sambil menyodorkan sebuah buku kecil yang dia ambil dari tas kecil warna hitamnya.
Suara Hati Seorang Ukhti.. karangan Sarah An-Nurillah.. Hah? Maksud kakak, kakak ketemu Mbak Sarah? Ya Allah, benarkah? Ketemu dimana kak?” Tanya Mayang dengan perasaan girang.
“Kakak kerumahnya langsung. Kapan-kapan kakak antar kamu kesana, ya… pasti ada banyak hal yang akan ia ceritakan padamu.” Ujar Yardan sembari berjalan keluar menuju Masjid.
Tiba-tiba handphone-nya berdering. “Kak, ada telepon tuh…” kata Mayang setengah berteriak.
“Dari siapa?” Tanya Yardan kemudian.
“Dari Mbak Alika” jawab Mayang lagi.
“Biarkan saja. Kakak mau salat. Kalau memang penting nanti juga dia telepon lagi” Ujar Yardan sekenanya, lalu berlalu mengikuti alunan adzan maghrib dari Masjid yang berada di ujung jalan.
“Tak biasanya Kak Yardan  seperti itu, aneh. Pasti karena Mbak Sarah nih. Hmm, kak Yardan masih cinta rupanya. Baguslah…” gumam Mayang, senyum-senyum sendiri.

Usai sholat maghrib berjamaah dan membaca kitab suci, Sarah bergegas menuju Taman Belajar rintisannya yang hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari rumahnya. Taman Belajar itu bernama An-Nurillah, yang diambil dari nama belakangnya, Sarah An-Nurillah. Taman belajar itu baru berdiri sekitar tiga bulan lalu, namun anak didiknya sudah mencapai seratus anak. Dari seratus anak itu, ia bagi menjadi lima kelas. Dua kelas pertama berlangsung dari pukul delapan pagi sampai setengah dua belas siang. Dua kelas yang kedua berlangsung dari pukul dua siang sampai lima sore. Sedangkan satu kelas lagi berlangsung dari pukul tujuh sampai setengah Sembilan malam. Untuk mengelola taman belajarnya ini, Sarah mempercayakan kepada Mbak Ulmi dan Mbak Ruqoyah sebagai tenaga pendidik yang membantunya. Mbak Ulmi dan Mbak Ruqoyah ini teman seperjuangan Sarah ketika bertahan hidup di Jogja selama  tiga tahun itu.

Dalam membagi tugas, Sarah sebagai kepala taman belajar hanya mengajar kelas malam, karena siangnya dia sibuk berjualan buku-buku. Kadang dia berjualan dirumah sembari menulis berbagai artikel atau naskah yang dia kirimkan secara rutin ke media-media lokal di Jakarta. Terkadang juga dia berjualan sambil berpetualang mengelilingi ibukota. Sedangkan Mbak Ulmi mengajar kelas siang dan Mbak Ruqoyah kelas pagi. Dengan mengandalkan usaha menulis dan dagang bukunya, Sarah mampu membayar gaji kedua gurunya itu.
Setelah melaksanakan tugas mendidiknya, Sarah kembali kerumah dengan perasaan sejuk. Ia seakan lupa dengan persoalan yang dihadapi dengan ayahnya. Justru dia teringat pertemuannya dengan Yardan. Sebuah pertemuan yang tak terduga namun memberi kesan luar biasa. Perasaannya sulit untuk dilukiskan. Namun yang pasti, ia kembali bahagia. Ia seperti menemukan titik terang atas harapan yang selama ini dipendamnya. Tiba-tiba saja ia berkhayal, ia mengajar murid-murid di Taman belajarnya dengan Yardan. Dia tersenyum-senyum sendiri mengingat khayalannya yang aneh itu.

Tess.. sebuah cairan merah bernama darah menetes dari hidungnya, di susul dengan tetesan yang semakin banyak. Sarah kaget dan tersadar, sejak pagi dia belum minum obat. Dia terlalu bahagia hari ini, sampai-sampai dia lupa ternyata obatnya telah habis. Sejak dokter memfonis dirinya terkena Leokimia setahun lalu, ia menjadi orang yang ketergantungan dengan obat untuk sekadar mengurangi rasa sakitnya. Walaupun sebenarnya dia tahu, Leokimia adalah salah satu penyakit mematikan yang sampai saat ini belum di temukan  obat yang mujarab untuk penyakit kanker darah itu. Dan dokter pun pernah memfonis bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Namun karena  semangat hidupnya yang tinggi, ia mampu bertahan hidup sampai detik ini. Terlebih hari ini setelah bertemu Yardan, harapan kecilnya menjadi hidup.
Matanya berkaca-kaca. Kini ia sadari hanya Allah yang ada di sisinya. Hanya Allah yang mendengar rintihan kalbunya,

”Ya Allah, layak kah bagi seorang pesakitan seperti hamba ini berharap cinta yang lebih dari hamba-Mu..? Jika tidak, mohon rendahkan rindu ini di jalan-Mu yang terbaik untuk dunia dan akhirat hamba. Bila kerabat dan teman tak cukup lagi menemani sisa hidupku, maka hari itu adalah hari yang aku tunggu, hari di saat dia datang mengkhitbahku…”.

 Ya, mungkin itu menjadi salah satu harapan terakhirnya. Harapan yang tak ada seorangpun yang tahu selain dirinya dan Allah saja. Namun tega kah ia, bila harus meminta Yardan yang meminangnya. Sampai hatikah ia melihat Yardan bernasib buruk bila harus di sandingkan dengan wanita pesakitan seperti dirinya..?? Sungguh, orang sebaik Yardan, tak layak di sandingkan dengan Sarah, gadis yang kini tinggal menanti ajalnya tiba.

Wajahnya semakin pucat pasi, rasa nyeri di sekujur tubuhnya sungguh tak tertahan lagi. Ia merasa harus mengubur dalam-dalam harapan yang sempat menguatkan dirinya, karena kini ia tinggal menunggu hari, hari dimana malaikat Izail menjemputnya, hari dimana ia meninggalkan segalanya, hari dimana menjadi kunci agar ia bisa bertemu dengan Ilahi. Ia kembali meneteskan air mata.

Dimalam yang sama, namun ditempat yang berbeda, Yardan pun merasakan gejolak jiwa yang sama. Entah kenapa sejak pertemuannya dengan Sarah senja tadi, perasaannya menjadi tak menentu. Ia galau. Ia bimbang dalam menentukan perasaannya. Ia seperti menemukan cinta yang hilang. “Apakah ini yang di namakan cinta, Cinta Lama Bersemi Kembali? Benarkah aku masih mencintai Sarah? Lalu bagaimana dengan Alika??? Ah, entahlah..” hati dan pikirannya terus merancau. HP-nya kembali berdering. Alika menelponnya lagi. Ia mengabarkan Yardan bahwa dirinya akan segera meluncur ke Bandung beberapa hari untuk melakukan studi banding.

Ya, Sarah dan Alika. Dua wanita yang kini tengah sama-sama memenuhi relung hatinya. Sebelum mengenal Sarah, Yardan sudah lebih dulu mengenal Alika. Sosok wanita cerdas, pandai bergaul, baik, dan tentunya… ia cantik. Namun sayang, ada yang kurang dari diri Alika. Ia belum begitu lembut dan belum berjilbab. Tidak seperti Sarah. Meskipun, penampilannya biasa-biasa saja, namun ia lembut dan tampak bersahaja dengan balutan jilbabnya. Tak bisa ia pungkiri, bahwa sosok seperti Sarah lah yang selama ini ia dambakan. Terlebih setelah ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan maut enam tahun silam. Ia pernah berjanji pada dirinya sendiri, ketika waktunya tiba, ia ingin mencari pendamping hidup yang bisa menjadi ibu bagi Mayang, yang bisa menjadi teman, teladan dan panutan bagi Mayang, adiknya satu-satunya dan tentu panutan bagi dirinya sendiri. Dan semenjak bertemu Sarah, Yardan merasa Sarahlah wanita yang selama ini ia cari. Namun, entah kenapa dihatinya masih ada Alika yang selama ini juga berperan membatu semua usahanya. Ia rasa tak ada alasan untuk meninggalkan Alika. Tapi, sungguh ia mengharapkan Sarah karena kini yang ia cari bukan hanya dunia, akhirat juga ingin ia raih. “Ya tuhan, berilah hamba petunjuk…”
Untuk melegakan pikirannya, Yardan keluar kamar. Ia rasa hanya Mayang yang bisa diajaknya bicara. Yardan membuka pintu kamar Mayang, tampak ia sedang bersiap-siap tidur. “May, tolong kakak. Kakak sedang bingung. Mana yang harus kakak pilih, Sarah atau Alika?” Tanya Yardan tanpa basa-basi.
“Apa kak? Mbak Sarah atau Mbak Alika? Memangnya ada apa dengan mereka?” Tanya Mayang tercengang.

“Kakak rasa, sudah saatnya kakak menentukan masa depan. Kakak ingin segera menyempurnakan separuh agama. Namun kakak masih bingung dengan siapa..” keluh Yardan.
“Diantara mereka, mana yang lebih kakak cintai?” Tanya Mayang.
Yardan hanya terdiam.
“Kakak sudah istikhoroh?” Tanya Mayang lagi. Kali ini Yardan hanya menggeleng, ia ingin  mendengarkan saran adiknya itu. “Istikhoroh dulu kak, temukan jawabannya atas petunjuk Allah. Yang jelas pilihlah yang paling baik agamanya diantara mereka.. pasti kakak sudah lebih  paham tentang itu”. Jawab Mayang mencoba demokratis. Walau sebenarnya ia lebih condong pada Sarah.
“Ya. Baiklah. Kakak akan istikhoroh..” Yardan kembali ke kamarnya. Ia mengambil air wudhu lalu sholat istikhoroh memohon petunjuk Tuhannya yang Maha Mendengar segala keluh kesah hamba-Nya.

Wahai Robbi, yang menggenggam cinta…
Ku tunggu ia dalam penantian sujud malamku..
Ku tunggu ia dalam untaian doaku pada-Mu…
Ku tunggu ia dalam tiap tangis istikhorohku..
Wahai munajat cinta, Engkaulah yang menggenggam hati kami...
Engkau yang maha membolak-balikan setiap perasaan ini..
Maka, saat hati ini mulai meridukannya, damaikanlah hati ini..
Sematkanlah cinta ini di atas sajadah cinta-Mu yang tak akan lekang oleh waktu..
Karena cinta-Mu aku kuat, karena cinta-Mu aku tegar..
Maka tolonglah aku..”

Setelah merasa tenang, kini Yardan mulai yakin. Ia akan memilih Sarah. Ia akan melamar Sarah secepatnya. Yardan tidak mau kehilangan kesempatan lalu berubah pikiran. Niat baik harus segera di wujudkan agar tak ada setan yang berusaha menggoyahkan.
Esok harinya, kondisi Sarah belum juga membaik. Ia memutuskan untuk tidak berjualan hari ini. Ia ingin membeli obat dan istirahat total. Kali ini ia ingin sembuh, ia merasa optimis tatkala ia menyaksikan di pagi yang masih buta, anak-anak didiknya berjalan beriringan menuju taman belajar mereka yang sederhana, fasilitas seadanya, dan dengan tenaga pengajar yang biasa-biasa saja. Semuanya memang serba ala kadarnya. Namun, semangat mereka bukan semangat biasa. Semangat mereka ialah semangat anak bangsa yang menuntut janji kemerdekaan atas hak mereka dalam memperoleh pendidikan yang sama. Diam-diam Sarah bangga, dan di sisi lain ia malu. Ia malu ketika tahu kini ia lemah dan mulai menyerah dengan keadaan.

Dengan tekad kuatnya, Sarah berjalan ke apotek untuk membeli beberapa obat yang ia butuhkan. Ia berharap Allah meridhoi usahanya untuk tetap sehat, ia ingin terus menyaksikan semangat para anak didiknya, ia ingin terus merasakan hangatnya mentari di pagi yang cerah, ia ingin terus merasakan kebersamaannya dengan orang-orang yang ia cintai, dan ia belum ingin meninggalkan mimpi-mimpinya. Bila sudah begini, rasanya ia ingin tetap hidup seperti orang-orang di sekelilingnya. Ia tidak ingin mempedulikan fonis mati yang di jatuhkan pada dirinya “Ya Rabb, hidupkanlah aku selama hidup itu dalam kebaikan. Dan wafatkanlah aku jika kematian itu baik bagi ku..” Sebait doa pun terucap dari bibirnya.

Walau telah meminum obat dan istirahat, kondisinya belum menunjukan ada perubahan yang berarti. Justru Sarah merasa keadaannya semakin memburuk. Pak Maksum, ayah Sarah, sampai tidak keluar rumah. Ia menemani putrinya sehari penuh. Namun sampai saat ini beliau belum mengetahui bahwa putrinya tengah menderita Leokimia.

Malam harinya, usai sholat isya, Yardan mengajak Mayang bertandang ke rumah Sarah. Sebenarnya ia ingin lebih dulu menemui Alika dan menjelaskan keputusan bulatnya, namun saat ini Alika sedang berada di luar kota. Akhirnya, ia hanya bisa berdoa, semoga semua akan baik-baik saja. Dengan mengenakan kemeja kotak-kotak warna biru, celana panjang hitam dan sepatu hitam kesukaanya, ia tampak lebih rapi dan gagah dari biasanya. Ia pun siap melamar Sarah. “Wah, beruntung sekali gadis yang akan kakak lamar” Komentar Mayang begitu melihat penampilan Yardan malam ini. “Ya, semoga. Doanya saja May, semoga Allah meridhoi usaha kakak dan lamaran kakak diterima…” jawab Yardan optimis.

Sesampainya di rumah Sarah, hanya pak Maksum yang menyambut kedatangan mereka. Pak Maksum pula yang menyiapkan jamuan ala kadarnya. Sarah hanya bisa mendengarkan percakapan mereka dari balik kamarnya, ia tidak ingin mereka tahu keadaannya yang sebenarnya. Tanpa basa-basi lagi Yardan mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya, yakni menyambung silaturahmi dengan melamar Sarah. Sarah terkejut luar biasa. Ada perasaan haru dan bahagia yang menelusup lembut. Inilah saat-saat yang paling dinantikannya dan ia pun harap-harap cemas mendengar jawaban ayahnya. Ia berharap besar ayahnya akan menyambut baik niat dan kesungguhan Yardan untuk melamar anak gadisnya itu. Namun tak disangka tak dinyana, ayahnya berkata, “Sebelumnya, saya berterima kasih dan menyambut baik keseriusan nak Yardan melamar putri saya, terus terang saya bangga melihat keberanian nak Yardan, tetapi saya sarankan lebih baik nak Yardan selesaikan dulu kuliahnya dan fokuslah pada usahamu saat ini biar lebih berkembang. Lagi pula sudah ada seseorang yang datang melamar Sarah. Jadi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya belum bisa memenuhi permohonan nak Yardan.”

Perlahan tapi pasti. Ucapan pak Maksum bagaikan sebuah paku beton berkarat yang menghunus hati Yardan berkali-kali. Hatinya kini hancur berkeping-keping. Ia tak menyangka akan sepahit ini kenyataan yang harus ia hadapi. Terlebih bagi Sarah, hatinya bukan lagi hancur tapi kini telah jadi serpihan-serpihan kecil yang sulit terbentuk lagi. Sebuah kesempatan emas yang paling ditunggunya, kini dimusnahkan begitu saja. Melihat pemandangan menyedihkan ini, Mayang turut merasakan hancurnya perasaan kakaknya. Ia hanya bisa menahan tangis dan berdoa memohon kekuatan untuk kakaknya. Dengan hati yang dikuat-kuatkan Yardan berusaha menjawab dengan kelapangan hati. “Terima kasih pak sudah memberi saya kesempatan bersilaturrahmi dengan keluarga bapak. Semoga laki-laki itu jodoh yang tepat untuk Sarah…” “Ya, Saya yakin nak Yardan juga akan menemukan jodoh yang jauh lebih baik.” Kata pak Maksum sambil menepuk pundak Yardan. Yardan pulang dengan hati yang masygul.

 “Pak, kenapa bapak tolak Yardan tanpa mempedulikan perasaan Sarah” lirih Sarah sore itu.
“Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik buat anaknya. Dan bapak merasa sudah melakukan yang terbaik untuk kamu nduk. Bapak sudah mengenal betul siapa Fadli dan keluarganya. Bapak yakin dia bisa membahagiakanmu..”
Usai dialog singkat itu, entah ada kekuatan dari mana Sarah meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan ayahnya. Ia ingin bertemu Yardan dan meminta maaf sebelum ia memberi jawaban kepada Fadli.

“Untuk apa kamu kemari?” Tanya Yardan begitu melihat Sarah berdiri di depan pintu rumahnya. “Mau mentertawakan aku, karena penjual nasi goreng seperti aku tidak layak melamar gadis seperti kamu? Iya?” bentak Yardan dengan nada tinggi. “Yardan, dengarkan aku. Aku hanya ingin meminta maaf atas kejadian ini. Aku sendiri sangat bahagia menerima lamaran kamu, tapi sungguh ini diluar kuasaku….” “Ah sudah, tidak perlu berkata seperti itu. Lebih baik kamu pergi dari sini sekarang juga. cepat…!” Yardan tak memberi kesempatan Sarah bicara.

“Bukan kah kau mencintaiku, Yardan? Apakah kamu tidak tahu bahwa aku juga mencintaimu? Kalau kamu mau, aku tawarkan satu hal padamu, kita perjuangkan cinta kita bersama, kita buktikan pada ayahku bahwa kita saling mencintai…”
“Dengar Sarah, wanita didunia ini bukan hanya kau. Masih ada Alika yang lebih mencintaiku dengan tulus. Dan asal kamu tahu, aku juga bisa mencintainya...” kata-kata Yardan semakin murka. Rasa sakit hatinya seakan mengalahkan rasa cintanya pada Sarah.
“Apa? Alika?” Tanya Sarah tak percaya.

“Ya. Memangnya kenapa? Kamu pikir yang bisa lembut dan berjilbab Cuma kamu saja? Aku juga bisa membuat Alika berjilbab dan lebih lembut dari pada kau…”
Tak terasa mata Sarah kembali berkaca-kaca, tapi ia tahan supaya tidak sampai keluar. Kata-kata itu begitu menggores hatinya yang ringkih itu. Mungkin jika tidak ada kekuatan iman di hatinya, ia sudah memilih sirna dari dunia saat ini juga. Ujian yang harus dilaluinya terasa semakin berat. Tapi ia berusaha kuat. “Baiklah Yardan, jika Alika sudah menjadi pilihan terakhirmu, semoga itu menjadi pilihan terbaik menurut Allah. Dan sekarang tak ada alasan lagi bagiku untuk tidak menerima Fadli. Terima kasih atas keputusan ini..”
Mendengar kata-kata itu, Yardan kembali merasakan penyesalan, ia tak sadar dengan apa yang baru saja keluar dari mulutnya. Itu tidak sesuai dengan apa yang ada didalam hatinya. Dasar bodoh, kenapa aku biarkan orang yang aku cintai menikah dengan orang lain, padahal dia juga mencintaiku. Jangan tinggalkan aku, Sarah, kumohon… Yardan menghujat dirinya sendiri dalam hati.

Sarah melangkah keluar, tiba-tiba Mayang datang dan memanggilnya. “Mbak Sarah, tunggu, tolong jangan pergi..” Sarah menoleh dan mereka saling berpelukan. “Kakakmu sudah memilihkan keputusan ini untuk mbak. Mbak harus ikhlas” Mayang menangis di pelukan Sarah, sementara Yardan hanya bisa terdiam dengan hati berdesir-desir. “Tetapi walaupun demikian, mbak tetap menganggapmu sebagai adik kandungku. Kakak tidak akan meninggalkanmu. Oh iya, satu hal lagi. Mbak titip taman belajar mbak sama kamu ya. Kamu bersedia kan May meneruskan perjuangan mbak? Nanti ada mbak Ulmi dan Mbak Ruqoyah yang akan membantu kamu”
“Memangnya Mbak Sarah mau kemana?”
“Mungkin nanti mbak tidak tinggal di Jakarta lagi. Ya sudah mbak pulang ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.  Mbak, aku mencintaimu karena Allah” ucap Mayang menitikkan air mata. “Iya sayang, mbak juga mencintaimu karena Allah.” Mereka kembali berpelukan lalu melepasnya dengan penuh kesedihan. Sarah pun berlalu meninggalkan mereka dengan tetesan air mata. Yardan turut menangis merasakan keharuan yang mendalam ini.

Sarah membanting tubuhnya diatas kasur begitu sampai di rumah. Ia menangis sejadi-jadinya dan memohon kekuatan kepada Allah. Tiba-tiba ia teringat almarhumah ibunya yang kini telah tenang di alam sana. “Ibu, andai saja engkau masih ada di sisiku pasti engkaulah orang pertama yang paling mengerti perasaanku… Sarah butuh ibu, Sarah ingin bertemu ibu…” Pak Maksum terenyuh mendengar tangis putrinya. Ia langsung tersadar bahwa ia telah menghancurkan kebahagiaan yang sempat mewarnai hati Sarah. Ia merasa berdosa karena tindakan yang dilakukannya justru membuat Sarah menderita seperti sekarang. Ia sadar bahwa cinta dan kebahagiaan tak bisa di paksakan. Pak Maksum kemudia mendekati Sarah dan membelainya dengan lembut. “Nduk, apa kamu sungguh-sungguh mencintai Yardan? Kalau kamu memang mencintainya dan kamu bahagia bersamanya, kejarlah ia. Bapak akan merestui kalian..”

“Sakit pak, sakit sekali rasanya ketika kita tahu bahwa orang yang kita cintai justru tidak mencintai kita lagi bahkan dia lebih mencintai orang lain…” ucap Sarah sambil memeluk ayahnya. “Ini pasti karena bapak, ini salah bapak nduk..” jawab pak Maksum turut menangis. “Tidak pak, ini bukan salah bapak. Mungkin Yardan memang  bukan jodoh Sarah. Sekarang apa pun kata bapak akan Sarah ikuti, Sarah tidak akan lagi menentang pilihan bapak, karena Sarah tahu bapak pasti menginginkan yang terbaik. Jika menerima Fadli adalah hal terakhir yang bisa Sarah lakukan untuk membahagiakan bapak, Sarah akan siap menerima Fadli pak.” “Subhanallah, nduk. Bapak bangga padamu. Bapak bahagia memiliki  anak sepertimu. Ya sudah, biar hati kita tenang, ayuk kita salat maghrib berjamaah. Bapak wudhu dulu ya nduk..” “Iya pak, Sarah juga.”

Sarah dan ayahnya salat dengan khusyuk. Mereka tenggelam dalam segala perasaan yang melebur menjadi satu, ada rasa sedih, haru, bahagia dan ada rindu. Terlebih setelah mendengar ayat-ayat Qur’an yang pak Maksum baca. Mengalir ke relung hati mereka yang haus akan rahmat dan hidayah Allah. Tak terasa air mata Sarah terus mengalir membasahi wajahnya yang sayu dan di penuhi gurat kesedihan. Ia merasa, hanya Allah-lah satu-satunya sumber kekuatan, Dia-lah satu-satunya tempat bergantung dan menyandarkan hati yang terluka.

Ketika cinta berpaling, ketika hati menjadi serpihan-serpihan kecil, ketika ujian demi ujian terasa begitu berat untuk ditanggung sendiri. Maka kemanakah diri berlari mencari kekuatan agar hati mampu terus bertasbih? Ya, Allah lah sumber kekuatan itu. Kepada-Nya lah semua bermuara.
Usai mengucap salam, Sarah berdoa pada Tuhannya,“Wahai pemilik nyawaku, betapa lemahnya diriku ini. Berat ujian dari-Mu ku pasrahkan semua pada-Mu. Kini, hanya kuharap cinta dan ridho-Mu. Sakit yang kurasa biar menjadi penawar dosa-dosaku. Butir-butir air mataku teringat semua yang telah Kau beri untukku, ampuni khilaf dan dosaku ya Allah. Kuatkan lah aku dan jika aku harus mati pertemukanlah aku dengan-Mu yaa Robbii..”
Blek.. Sarah terjatuh dan pingsan. Pak maksum kaget dan dengan sigatnya membawa Sarah ke rumah sakit. Di perjalanan pak Maksum menelepon beberapa orang yang beliau kenal, seperti mbak Ulmi dan mbak Ruqoyah serta keluarga Fadli. Yardan dan adiknya juga turut beliau kabari.

Lima jam sudah berlalu. Sarah telah melewati masa kritisnya. Kini semua yang ada di rumah sakit sudah berkumpul menemani Sarah yang tergolek tak berdaya. Yardan menangis melihat keadaan Sarah yang selama ini tak diketahuinya sama sekali. “Sarah, maafkan aku. Sekarang bangunlah. Aku mencintaimu, aku tidak ingin kehilanganmu untuk kesekian kalinya. Tadi kamu bilang kita akan berjuang bersama, ayo bangun. Buktikan pada semua orang bahwa kau wanita yang kuat. Ayo bangun Sarah…” Jeritan Yardan menyayat hati siapa saja yang mendengarnya.
Sarah membuka matanya, ia hendak berbicara. Dengan terbata ia berkata, “Yardan, maafkan aku ya. jika kau lebih mencintai Allah dan rasul-Nya dari pada mencintaiku, ikhlaskanlah aku. Buktikan bahwa kau mampu menjadikan Alika muslimah sejati. Sungguh itu lebih baik bagimu…”
“Bapak, maafkan Sarah belum bisa membahagiakan bapak. Sarah capek pak, Sarah mau istirahat… Laa…ilaaha…illallaaah” perlahan mata teduh itu mulai terpejam dengan sebongkah  senyum yang terbit dari bibir mungilnya. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, telah tiba saatnya cinta itu memanggil. Di saat ia di hadapkan dengan dua pilihan yang sulit, ia lebih memilih ikhlas, ia lebih Allah sebagai cinta sejatinya yang abadi. Ia lebih memilih bertemu Tuhannya. Kini iapun telah pergi untuk selama-lamanya. Tetapi semoga semangatnya tak akan pernah mati. Taman belajar itulah yang kini menjadi bukti sejarah bahwa semangat dan cintanya tak pernah mati. Selamat jalan Sarah an-Nurillah.

 "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhamu dengan hati yang puas lagi diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu. Dan masuklah ke dalam surgaKu" (QS Al-Fajr :27-30)